Liputan6.com, Jakarta Tinja bisa mengobati depresi? Para ilmuwan menemukan dengan memindahkan tinja bisa membantu mengobati gangguan kejiwaan seperti depresi. Tapi tinja yang dimaksud dengan cara yang bersih, yakni transplantasi feses.
Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Molecular Psychiatry menunjukkan bahwa pada hewan, transplantasi bakteri usus dari subjek yang tidak stres, dengan mereka yang terpapar stres dapat memperbaiki kondisi mental.
Baca Juga
Menurut peneliti, penemuan ini bisa membantu mengatasi gangguan kejiwaan manusia dengan pengobatan probiotik.
Advertisement
"Pada tikus yang menunjukkan perilaku tipe depresi dalam uji laboratorium, kami menemukan stres mengubah microbiome-populasi bakteri dalam usus-mereka," kata Seema Bhatnagar, ketua peneliti dan ahli saraf di Departemen Anestesiologi dan Perawatan Kritis di Children's Hospital Philadelphia (CHOP), seperti dilansir Medicaldaily.
Keterkaitan antara otak dan usus
Sebelum penelitian, diketahui otak dan usus saling mempengaruhi. Pada manusia, pasien dengan gangguan kejiwaan memiliki mikroba usus yang unik dalam tubuh mereka dibandingkan dengan mikroba pada individu yang sehat.
Dan untuk penelitian ini, tim ilmuwan menganalisis mikrobioma fekal tikus stres, tikus tangguh, kelompok kontrol yang tidak stres dan kelompok plasebo. Hasil menunjukkan, subjek hewan dengan masalah mental memiliki proporsi bakteri tertentu yang lebih tinggi, seperti Clostridia, daripada kelompok lain.
Kelompok yang stres kemudian mendapat transplantasi tinja dari tiga kelompok donor sehat yang tidak pernah mengalami stres. Para peneliti menemukan mikrobioma asing mengubah perilaku depresi pada penerima.
Advertisement
Transplantasi tak berdampak sama terhadap kecemasan
Namun, transplantasi tidak menyebabkan perubahan dalam perilaku tikus yang cemas. Tim menyarankan perilaku tipe depresi lebih diatur oleh mikrobioma usus, sementara perilaku tipe kecemasan mungkin dipengaruhi oleh perubahan aktivitas saraf yang dihasilkan oleh pengalaman stres.
Tim peneliti mengatakan masih banyak penelitian yang harus dilakukan untuk mengetahui lebih dalam lagi interaksi microbiome-otak untuk mengobati gangguan kejiwaan manusia.