Liputan6.com, Jakarta Risiko kecacatan akbat tekanan darah tinggi (hipertensi) patut diwaspadai. Hipertensi bisa terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun (31,6 persen), umur 45-54 tahun (45,3 persen), umur 55- 64 tahun (55,2 persen)
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018 Kementerian Kesehatan, jumlah kasus hipertensi di Indonesia sebanyak 63.309.620 orang. Angka kematian akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian.
Advertisement
"Jika hipertensi tidak dikelola dengan baik, bukan hanya faktor risiko kematian yang dapat terjadi, tapi juga meningkatnya risiko kecacatan yang ditandai berkembangnya penyakit dan kerusakan organ penting. Misalnya, hipertensi dapat menyebabkan sekitar 50 persen stroke iskemik (penyumbatan) juga meningkatkan risiko stroke hemoragik (perdarahan)," papar Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI) Tunggul D Situmorang kepada Health Liputan6.com melalui keterangan tertulis, ditulis Kamis (19/9/2019).
Sebagian besar pasien mengaku tidak mengetahui dirinya telah menderita tekanan darah tinggi. Ini karena seringkali hipertensi tidak ada muncul gejala. Oleh karena itu, hipertensi sering disebut sebagai pembunuh senyap (silent killer).
Hipertensi merupakan faktor risiko terhadap kerusakan organ penting seperti otak, jantung, ginjal, mata, pembuluh darah besar (aorta) dan pembuluh darah tepi.
Saksikan juga video berikut ini:
Simak Video Menarik Berikut Ini:
Hipertensi dan Stroke
Stroke adalah penyebab utama kematian dan kecacatan jangka panjang yang parah. Pasien yang mengalami stroke juga memiliki riwayat hipertensi. Ketika terjadi tekanan darah tinggi akan merusak arteri di seluruh tubuh.
"Kondisi ini menciptakan arteri menjadi tebal dan kaku lantas pecah atau terjadi penyumbatan-penyumbatan. Hal ini terjadi juga pada pembuluh-pembuluh darah di otak akibat tekanan darah tinggi sehingga akan memperparah risiko stroke jauh lebih tinggi," lanjut Tunggul.
Seseorang dikatakan menderita hipertensi apabila memiliki tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg. Kondisi itu sedikitnya 3 kali pengukuran dengan cara dan alat yang benar selang waktu satu menit.
Tunggul juga menganjurkan untuk mengulang-ulang pengukuran tekanan darah pasien sendiri di rumah (Home Blood Pressure Monitoring/HBPM). Jika tidak ada alat pengukur tekanan darah, seseorang bisa datang ke fasilitas kesehatan yang mengukur tekanan darah dengan alat khusus (Ambulatory Blood Pressure Monitoring/ABPM).
"Pasien harus memahami bahwa hipertensi primer tidak dapat sembuh total, tapi bisa dikendalikan tetap normal secara total,” lanjut Tunggul.
Advertisement