NTT Surga Ikan Segar tapi Kasus Stunting Tinggi, Kenapa Ya?

Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kepala BKKBN menyebut angka stunting di NTT masih tinggi

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 01 Okt 2019, 07:00 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2019, 07:00 WIB
Kepala BKKBN, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Hasto Wardoyo, Stunting, Alat Kontrasepsi
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dan Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),Josef Nae Soi dalam diskusi menyambut Hari Kontrasepsi Sedunia Tahun 2019 yang dipusatkan di STFK Ledalero, Maumere, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kamis (26/09).

Liputan6.com, Maumere - Masalah stunting di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menjadi pekerjaan rumah yang harus cepat dibereskan.

Saat ini, angka stunting di daerah yang terkenal dengan keindahan alamnya seperti Labuan Bajo dan Pulau Komodo tersebut masih tinggi. Secara nasional, kedudukannya ada di peringkat ke-2 setelah Papua.

"Stunting di NTT itu 46 persen. Paling tinggi Papua, setelah itu di sini," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo di Maumere, Nusa Tenggara Timur, belum lama ini ditulis Selasa (1/10/2019).

Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur, Josef Nae Soi, tak menampik hal tersebut. Dia sendiri mengaku sangat menyayangkan hal tersebut, mengingat NTT punya banyak sumber ikan. 

"Ikan itu sumber protein. Di sini gampang untuk mendapatkan sumber protein, tapi stunting masih menjadi masalah," kata Josef.

 

 

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini

Faktor Penyebab Stunting

Kepala BKKBN, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Hasto Wardoyo, Stunting, Alat Kontrasepsi
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dan Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),Josef Nae Soi dalam diskusi menyambut Hari Kontrasepsi Sedunia Tahun 2019 yang dipusatkan di STFK Ledalero, Maumere, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kamis (26/09).

Hasto Wardoyo mengingatkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan stunting bisa terjadi. Menurut Hasto, hanya 30 persen yang dipengaruhi oleh nutrisi dan kesehatan. Sedangkan 70 persen sisanya dipengaruhi hal lain, seperti lingkungan dan sanitasi air bersih.

"Pengaruh dari luar saya pikir masih banyak," ujarnya.

Lebih lanjut, Josef menjelaskan bahwa selama ini masyarakat di sana selalu mengabaikan apa yang sudah alam sediakan di pekarangan rumah maupun sekitarnya.

"Dari pekarangan rumah kita ada kelor. Di laut kita ada ikan. Tapi kita selalu mengandalkan dari luar. Ini yang belum dieksplorasi dan eksploitasi," kata Josef.

Ke depan, tambah Josef, tidak boleh lagi angka stunting tinggi karena gizi buruk atau kekurangan gizi.

"Kuncinya adalah pendidikan. Pendidikan itu mulai dari keluarga, lingkungan, sampai sekolah. Sehingga kita lebih memahaminya," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya