11 Juta Orang Indonesia Indonesia Alami Depresi

Jumlah warga negara Indonesia yang terkena depresi yang berujung dengan bunuh diri yaitu sebanyak 6.1 persen atau setara dengan 11 juta orang.

oleh Arie Nugraha diperbarui 13 Okt 2019, 20:00 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2019, 20:00 WIB
Ilustrasi depresi (iStock)
Ilustrasi depresi. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Jumlah warga negara Indonesia yang terkena depresi yang berujung dengan bunuh diri yaitu sebanyak 6.1 persen atau setara dengan 11 juta orang. Angka itu untuk prevalensi warga negara berusia 15 tahun keatas.

Menurut anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Teddy Hidayat, hasil itu merupakan riset kesehatan dasar (riskesdas) Kementerian Kesehatan pada tahun 2018. Teddy mengatakan sedangkan untuk penderita serupa di Jawa Barat mencapai lebih dari 2 juta orang. Namun Teddy mengatakan, yang diobati hanya sebesar sembilan persen dan 91 persen lagi belum tertangani dengan baik. 

“Dan masalahnya korban yang bunuh diri itu, biasanya dalam satu bulan terkahir dia sudah datang ke fasilitas kesehatan dan diperiksa oleh dokter. Tapi fasilitas kesehatan gagal untuk mendeteksinya, stres atau depresi yang mengakibatkan dia bunuh diri. Padahal dia sudah datang (ke fasilitas kesehatan). Mestinya tersaring terdeteksi dari situ,” kata Teddy melalui telepon, Bandung, Minggu, 13 Oktober 2019. 

Teddy menjelaskan gagalnya petugas medis di pusat kesehatan dalam mendeteksi seseorang terkena depresi, akibat minimnya fasilitas kejiwaan di puskesmas atau rumah sakit. Salah satu contohnya di Kota Bandung, sebut Teddy, dapat dihitung dengan jari yang memiliki fasilitas pemeriksaan untuk gangguan kejiwaan.

 

 

Fasilitas penanganan gagguan jiwa tidak mumpuni

Selain fasilitas penanggulangan gangguan kejiwaan yang tidak mumpuni di puskesmas dan rumah sakit, kemungkinan lainnya yang menyebabkan jumlah penderita gangguan jiwa membludak, kurangnya keilmuan petugas medis, atau ketiadaan obat untuk kasus serupa. Sedangkan untuk jumlah ahli kejiwaan seperti dokter jiwa, jelas Teddy, tidak bisa melayani keseluruhan jumlah warga yang terkena gangguan kejiwaan. 

“Pada masa tahun '90-an, psikiater itu berkeliling sebulan sekali ke puskesmas dan rumah sakit di Jawa Barat. Tapi tidak bisa menurunkan angka penderita gangguan jiwa. Sekarang diubah, setiap kabupaten dan kota terdapat psikiater dan rumah sakitnya. Ini pun yang dilayani terbatas, paling seorang psikiater hanya bisa melayani 50 pasien per hari,” ujar Teddy. 

Padahal di Jawa Barat saja terdapat 70 ribu pasien untuk jenis orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), Teddy menerangkan. Sebanyak 7.000 diantaranya memerlukan tindakan rawat inap. Angka itu dianggap oleh Teddy, hampir tidak tertangani dengan baik.

Atas dasar itu, strategi penanganan gangguan kejiwaan harus diubah total dari yang sekarang dilakukan. Caranya dengan melakukan pelayanan berdasarkan komunitas yang harus dikembangkan.

“Untuk obat - obatannya sendiri dipastikan kurang dan itu tanggung jawab pemerintah. Yang harusnya dirawat inap kan 7.000 orang, kasusnya sendiri 70 ribu di Jawa Barat. Sementara yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Cisarua kini ada 200-an, di tempat lain paling 200 juga. Di rumah sakit dan fasilitas lain kalau dijumlahkan total paling 600-an, sisanya lagi yang 6.000 lagi kemana? Siapa yang memungut?” terang Teddy.

Atas dasar data jumlah warga negara yang terkena gangguan jiwa tidak ditangani dengan maksimal itu, menyebabkan banyaknya penderita serupa menggelandang di jalan. Hal itu harus ditangani dengan baik, dan menghindari adanya praktik pemasungan bagi penderita kejiwaan. (Arie Nugraha)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya