Ilmuwan Temukan 293 Gen Baru Terkait Penyebab Depresi

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Cell ini menemukan 700 variasi dalam kode genetik yang berhubungan dengan depresi, hampir setengahnya belum pernah dikaitkan dengan kondisi ini sebelumnya.

oleh Switzy Sabandar Diperbarui 25 Jan 2025, 05:00 WIB
Diterbitkan 25 Jan 2025, 05:00 WIB
ilustrasi depresi, stress, sendiri, kesepian
ilustrasi depresi, stress, sendiri, kesepian. photo by unsplash... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Para ilmuwan telah mengidentifikasi 293 variasi genetik baru yang terkait dengan depresi. Penemuan ini dihasilkan dari analisis data genetik anonim lebih dari 5 juta orang di 29 negara, dengan 25 persen partisipan berasal dari keturunan non-Eropa.

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Cell ini menemukan 700 variasi dalam kode genetik yang berhubungan dengan depresi, hampir setengahnya belum pernah dikaitkan dengan kondisi ini sebelumnya. Hasil ini menyoroti pentingnya inklusi sampel genetik yang beragam dalam penelitian ilmiah.

Melansir laman Science Alert pada Jumat (24/01/2025), temuan ini berpotensi memungkinkan para ilmuwan untuk memprediksi risiko depresi dengan lebih akurat dan mengembangkan opsi pengobatan yang lebih beragam dan efektif. Selain itu, penelitian ini mengidentifikasi obat-obatan seperti Pregabalin dan Modafinil yang mungkin berguna untuk mengobati depresi, meskipun diperlukan studi klinis lebih lanjut.

Para ahli menyatakan bahwa penelitian ini merupakan langkah maju yang signifikan, namun menekankan bahwa pencegahan depresi juga memerlukan penanganan faktor sosial yang lebih luas seperti kemiskinan dan rasisme. Dikutip dari laman WHO, depresi adalah salah satu gangguan kesehatan mental yang paling umum di dunia, memengaruhi lebih dari 280 juta orang setiap tahun menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Kondisi ini dapat menyebabkan gejala yang parah seperti kehilangan minat pada aktivitas sehari-hari, perasaan putus asa, gangguan tidur, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri. Oleh karena itu, memahami penyebab genetik depresi adalah langkah penting untuk menangani beban global penyakit ini.

Penelitian ini juga menyoroti peran penting keragaman genetik dalam mengidentifikasi faktor risiko kesehatan mental. Sebelumnya, sebagian besar studi genetik cenderung berfokus pada populasi keturunan Eropa, yang dapat menyebabkan bias dalam hasil penelitian.

Dengan melibatkan 25 persen partisipan dari keturunan non-Eropa, studi ini memberikan wawasan yang lebih luas dan inklusif tentang faktor genetik yang memengaruhi depresi di berbagai populasi. Salah satu penemuan menarik dari studi ini adalah bahwa beberapa variasi genetik yang ditemukan terkait dengan fungsi neurotransmitter seperti serotonin dan dopamin, yang telah lama diketahui memainkan peran penting dalam kesehatan mental.

Namun, variasi genetik lainnya terkait dengan jalur biologis yang sebelumnya tidak diketahui terlibat dalam depresi, seperti mekanisme inflamasi dan sistem imun tubuh. Penemuan ini membuka peluang baru untuk penelitian lebih lanjut tentang bagaimana faktor-faktor tersebut memengaruhi risiko depresi. Selain itu, identifikasi obat-obatan potensial seperti Pregabalin dan Modafinil menunjukkan bahwa pendekatan berbasis genetika dapat membantu dalam pengembangan terapi baru.

Pregabalin, yang saat ini digunakan untuk mengobati gangguan kecemasan umum dan nyeri neuropatik, serta Modafinil, yang dikenal sebagai obat untuk meningkatkan kewaspadaan pada gangguan tidur, dapat memiliki manfaat tambahan dalam mengatasi gejala depresi. Meskipun demikian, para peneliti menekankan bahwa uji klinis lebih lanjut diperlukan untuk memastikan efektivitas dan keamanan obat-obatan ini dalam konteks pengobatan depresi.

Temuan ini juga memiliki implikasi penting untuk kebijakan kesehatan global. Dengan kemampuan untuk memprediksi risiko depresi secara lebih akurat, pemerintah dan lembaga kesehatan dapat mengembangkan strategi pencegahan yang lebih efektif.

Sebagai contoh, individu yang memiliki risiko genetik tinggi untuk depresi dapat menerima intervensi dini, seperti konseling psikologis atau pengelolaan stres. Selain itu, temuan ini dapat membantu mengurangi stigma terhadap depresi dengan menunjukkan bahwa kondisi ini memiliki dasar biologis yang kuat, sehingga mendorong lebih banyak orang untuk mencari bantuan profesional.

Namun, para ahli mengingatkan bahwa pendekatan genetik saja tidak cukup untuk mengatasi depresi secara keseluruhan. Faktor-faktor sosial seperti kemiskinan, diskriminasi, dan trauma juga memainkan peran besar dalam meningkatkan risiko depresi.

Oleh karena itu, upaya pencegahan dan pengobatan depresi harus mencakup pendekatan multidimensional yang melibatkan intervensi sosial, ekonomi, dan psikologis.

(Tifani)

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya