Lewat Seni dan Budaya, Masyarakat Hindia Belanda Belajar tentang Pandemi Flu Spanyol

Pendekatan seni dan budaya lokal di masa lalu menjadi salah satu strategi penanganan pandemi Flu Spanyol lewat cara edukasi

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 02 Agu 2020, 12:00 WIB
Diterbitkan 02 Agu 2020, 12:00 WIB
Perawat menyiapkan masker untuk mencegah penyebaran flu Spanyol pada 1918. (foto: National Archives)
Perawat menyiapkan masker untuk mencegah penyebaran flu Spanyol pada 1918. (foto: National Archives)

Liputan6.com, Jakarta Seni menjadi salah satu sarana edukasi kesehatan masyarakat dalam strategi pemerintah menangani pandemi Flu Spanyol yang juga sempat melanda wilayah Hindia Belanda (sekarang Indonesia) di masa lalu.

Syefri Luwis, Peneliti Sejarah Wabah dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa memang pada saat itu, pemerintah Hindia Belanda terlambat dalam menangani Flu Spanyol.

Hal ini karena buku panduan kesehatan masyarakat berjudul "Lelara Influenza" baru diterbitkan di tahun 1920 meski pandemi sudah berlangsung dua tahun sebelumnya.

"Tapi saya sangat mengapresiasi mereka karena menuliskannya dengan bahasa yang sangat lokal, bahasa Jawa, hanacaraka," kata Syefri dalam bincang-bincang dari Graha BNPB, Jakarta beberapa waktu lalu, ditulis Minggu (2/8/2020).

"Di dalamnya dengan tokoh-tokoh wayang, jadi itu mengena ke hati masyarakat," tambahnya.

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini

Sosialisasi dengan Koran

Flu Spanyol pada 1918. (Foto: National Archives)
Flu Spanyol pada 1918. (Foto: National Archives)

Selain di pulau Jawa, Syefri mengungkapkan ada juga panduan kesehatan yang pada saat itu menggunakan bahasa Melayu pasar yang merupakan bahasa penghubung masyarakat di Hindia Belanda saat itu.

Namun, ia mengatakan bahwa tidak semua masyarakat saat itu bisa membaca. Syefri menyebut mungkin kurang dari 10 persen warga yang bisa membaca saat itu.

"Ada beberapa kultur, terutama di pulau Jawa, ketika terjadi sesuatu kejadian ada kebiasaan memajang koran di depan perkampungan dan itu ada orang-orang bisa membaca, membacakan isi koran tersebut," ungkapnya.

Cara sosialisasi serupa juga dilakukan ketika wabah pes yang sempat terjadi di Malang beberapa tahun sebelumnya.

 

Jadi Buku Rujukan Banyak Orang

(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Tradisi Wayang Kulit Gagrak Jawa Timuran khas budaya Suku Arek (Mojokerto, Lamongan, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan bahkan hingga Jombang). (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Dalam bincang-bincang lanjutan dari Graha BNPB, Kresno Brahmantyo, Sejarawan Publik dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia bahwa "Lelara Influenza" saat itu jadi buku rujukan para dalang yang kemudian disampaikannya lewat wayang.

"Dialognya di situ dialognya Punakawan yang kemudian memberikan pencerahan pada masyarakat lewat dalang," kata Kresno. "Tapi saya belum dapat mengenai reaksinya di daerah lain, apakah sama dengan di Jawa atau bagaimana, kami belum melakukan penelitian sampai ke sana."

Kresno mengungkapkan bahwa tingkat peminjaman buku yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu meningkat hingga tiga ribu peminjaman di tahun 1920 hingga 1923.

Adapun, sepenggal isi dari "Lelara Influenza" tersebut, apabila diterjemahkan menjadi Bahasa Indonesia saat ini berisi seperti berikut: "Influenza bisa mengakibatkan sakit panas dan batuk, mudah menular, asalnya dari abu atau debu. Berhati-hatilah jangan sampai bertindak ceroboh yang bisa mengakibatkan munculnya debu. Orang yang terkena panas dan batuk tidak boleh keluar rumah harus tidur atau istirahat saja. Badannya diselimuti sampai rapat, kepalanya dikompres, tidak boleh mandi."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya