Kasus Happy Hypoxemia Sudah Ada Sejak COVID-19 di Wuhan, Bagaimana di Indonesia?

Dokter spesialis paru Agus Dwi Susanto mengungkapkan bahwa temuan happy hypoxemia sudah ada sejak wabah COVID-19 di Wuhan, China

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 08 Sep 2020, 12:00 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2020, 12:00 WIB
Gambar ilustrasi Virus Corona COVID-19 ini diperoleh pada 27 Februari 2020 dengan izin dari Centers For Desease Control And Prevention (CDC). (AFP)
Gambar ilustrasi Virus Corona COVID-19 ini diperoleh pada 27 Februari 2020 dengan izin dari Centers For Desease Control And Prevention (CDC). (AFP)

Liputan6.com, Jakarta Kondisi hipoksemia tanpa gejala sesak napas yang dialami pasien COVID-19 sesungguhnya bukan hal yang baru. Menurut dokter spesialis paru Agus Dwi Susanto, temuan tersebut sudah ada sejak wabah di Wuhan, Tiongkok.

"Fenomena 'happy hypoxemia (hipoksemia)' itu memang sebenarnya sudah terjadi ketika kasus di Wuhan," kata Agus saat dihubungi oleh Health Liputan6.com pada Senin kemarin, ditulis Selasa (8/9/2020).

"Ada publikasi di Wuhan ketika pertama kali pneumonia COVID-19 ditemukan di sana, dikatakan ada 18,7 persen pasien itu tidak ada gejalanya, tidak ada keluhan sesak napas, tetapi mengalami hipoksemia."

Agus mengungkapkan bahwa kondisi itu sempat menjadi tanda tanya karena para pasien tidak mengalami keluhan sesak napas meski ditemukan kondisi happy hypoxemia atau "silent hypoxemia" dalam pemeriksaan rontgen dan CT-Scan.

Agus menjelaskan, salah satu teori yang menguat di kalangan peneliti terkait penyebab hal ini adalah karena virus corona penyebab COVID-19 disinyalir mengganggu sistem reseptor dan respons saraf pusat otak terhadap hipoksemia.

Simak juga Video Menarik Berikut Ini

Tidak Semua Kasus COVID-19

[FEATURE] Ancaman Virus Corona
Ilustrasi Novel Coronavirus 2019 (2019-nCoV). Hingga saat ini, wabah virus corona masih belum bisa dimusnahkan. (CDC via AP, File)

"Jadi kalau orang normal, yang tidak kena COVID, kalau terjadi hipoksemia, itu otak akan memberikan respons, 'Kamu kurang oksigen, harus merespons dengan mempercepat napas untuk memasukkan oksigen lebih tinggi terus kamu harus merasa sesak napas' ada sistem seperti itu yang berjalan, tetapi pada COVID itu tidak berfungsi."

Namun, Agus menegaskan kondisi ini tidak terjadi pada semua kasus COVID-19. Sayangnya, belum ada data nasional terkait temuan happy hypoxemia pada kasus-kasus di Indonesia.

"Kalau dari data yang ada di Rumah Sakit Persahabatan, tempat saya kerja, dari 200-an pasien COVID sedang, hanya ditemukan 3 pasien yang ternyata tidak ada keluhan sesak napas dan yang ternyata kadar oksigen dalam darahnya 94 persen ke bawah. Jadi, kalau 3 dibanding 200 itu hanya sekitar 1,7 persen pasien COVID derajat sedang yang mengalami happy hypoxemia."

"Tetapi kalau pada COVID derajat ringan (di RS Persahabatan) yang juga sekitar 200-an, tidak ada satu pun yang mengalami happy hypoxemia," tambahnya.

Untuk mencegah hipoksemia yang tanpa gejala sesak napas berlanjut menjadi hipoksia atau kurangnya oksigen pada jaringan tubuh dan berisiko mematikan, pasien positif COVID-19 disarankan untuk tetap melakukan pemeriksaan lebih lanjut terkait kondisinya serta untuk mengetahui derajat dari penyakit yang ia alami. Hal ini juga agar penanganan yang tepat bisa segera dilakukan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya