Liputan6.com, Jakarta Sejak awal pandemi, Indonesia pernah mencapai puncak kasus COVID-19 pada 31 Januari 2021 dengan 12.001 kasus baru dalam sehari. Sementara pada 8 Juli 2021, jumlah terkonfirmasi positif COVID-19 memecah rekor hingga 38.391 kasus dengan total 2.379.397 kasus.
Menurut Jubir Vaksinasi COVID-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, peningkatan kasus COVID-19 ini luar biasa, jauh melebihi Desember 2020 -Januari 2021. Ironisnya, jumlah penderita COVID-19 di kelompok usia anak-anak dan ibu hamil meningkat.
Baca Juga
"Kami mengingatkan dan mengimbau masyarakat untuk tetap menjalankan protokol kesehatan dengan ketat dan untuk tetap di rumah saja. Terutama pada kelompok usia anak-anak dan ibu hamil mengingat kasus COVID-19 pada kelompok ini cenderung meningkat," kata dia.
Advertisement
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan bahkan memprediksi kasus COVID-19 akan terus naik dalam beberapa hari ke depan. Bahkan, dia menyebut penambahan kasus COVID-19 bisa mencapai 40.000 per hari.
"Angka ini bisa akan terus naik seperti hari kemarin 29 ribu (per hari), bisa saja mungkin nanti kita sampai ke 40 ribu ataupun lebih," ujar Luhut dalam konferensi pers di Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (6/7/2021).
Luhut mengatakan, lonjakan kasus COVID-19 yang terjadi sepekan terakhir ini sangat tidak terprediksi. Pemerintah tidak pernah membayangkan ada peningkatan kasus yang signifikan setelah bulan Juni 2021.
"Jujur kita juga tidak pernah memprediksi setelah Juni tahun ini, keadaan ini terjadi lonjakan lagi, karena inilah yang kita ketahui baru," kata dia, Kamis (1/7/2021).
"Jadi banyak ketidaktahuan kita terhadap COVID-19 ini, ternyata setelah bulan Juni ini kenaikannya luar biasa," sambung dia.
Simak Video Berikut Ini:
Apakah PPKM Berpengaruh?
Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah mengatakan sejauh ini pemberlakukan PPKM Darurat cukup berpengaruh. Salah satunya, mobilitas masyarakat menurun di tengah pandemi COVID-19.
Kalau lihat kondisinya, misal di Jakarta, 60 persen sudah dapat ditekan. Artinya kebijakan ini berpengaruh," kata Trubus kepada Liputan6.com, Kamis (8/7/2021).
Meski demikian, dia menuturkan, sejauh ini belum terlihat bisa menekan kenaikan kasus pandemi COVID-19. Ia menyadari angka harian kasus aktif virus Corona bertambah lantaran adanya peningkatan testing dan tracing.
"Memang belum soal menekan kasus karena mungkin masih butuh waktu untuk mengetahui keberhasilan kebijakan ini," ungkap Trubus.
Dia menegaskan, naiknya angka COVID-19 bukan artinya PPKM Darurat gagal. Menurutnya masih memerlukan waktu untuk melihat dampak kebijakan ini.
"Kalau kebijakan ini disebut gagal, saya kira belum ya, kita lihat pekan-pekan selanjutnya, karena seperti kebijakan sebelumnya bisa juga PPKM Darurat akan diperpanjang setelah 20 Juli," kata Trubus.
Selain PPKM, pemeriksaan atau testing acak COVID-19 juga dinilai bisa mempengaruhi kedisiplinan masyarakat dalam menekan penularan kasus COVID-19. Cara ini juga dianggap bisa menjadi bentuk komunikasi nyata, selain kampanye protokol kesehatan.
"Anggaplah pada sudut-sudut keramaian publik ada random testing dilakukan, itu akan membuat otomatis akan segan keluar rumah." kata Hermawan Saputra, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dalam dialog virtual KPCPEN, Rabu (7/7). "Masyarakat kita itu tipikal yang takut diperiksa."
Menurut Hermawan, ketika masyarakat tahu ada posko tes acak atau random testing, ini berarti mereka akan tahu jika positif, dirinya akan dipisahkan dengan keluarga.
"Ini cara-cara komunikasi yang riil, yang sebenarnya juga bagian dari fungsi testing, tracing, dan treatment, di kala memang harus kita paralelkan dengan kampanye di dalam PPKM darurat ini."
Advertisement
Setiap Orang Harus Dicurigai
Menurut Hermawan, dalam ilmu epidemiologi, dalam kondisi wabah, setiap orang dalam populasi harus dicurigai terpapar penyakit.
"Jadi kalau dalam keadaan wabah seseorang harus dicurigai terpapar. Hanya persoalan testing dan diagnostik saja yang bisa membuktikan orang itu positif atau negatif," katanya.
Konsep semacam ini pun dianggap sebagai sebuah konsep dasar dalam epidemiologis.
"Sehingga kita paralel, ketika PPKM Darurat bagian dari edukasi kedisiplinan termasuk menjaga jarak, menggunakan masker, dan lain-lain, juga harus kita 3T tadi," kata Hermawan.
Selanjutnya dari sisi lain seperti treatment, penambahan fasilitas kesehatan harus terus dipacu. Begitu juga testing dan tracing atau pelacakan yang juga harus dilakukan secara masif dan acak.
Hermawan menambahkan, sosialisasi harus terus dilakukan kepada masyarakat untuk tetap mematuhi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM Darurat).
Sosialisasi kepatuhan PPKM Darurat yang dimaksud terutama dari para tokoh masyarakat. Ini karena mereka termasuk tokoh yang disegani dan dihormati di lingkungan setempat, sehingga bisa memberikan pengaruh yang baik.
“Jadi, sosialisasi skala mikro supaya tujuan PPKM darurat ini bisa maksimal,” tegas Hermawan dalam dialog virtual pada Rabu, 7 Juli 2021.
Pada PPKM Darurat, Pemerintah berusaha memperkuat 3T (testing, tracing, treatment) dengan target positivity rate kurang dari 5 persen serta tracing mengincar 15 pelacakan kontak erat. Pemerintah juga melakukan percepatan vaksinasi Covid-19.
Kapan Kasus Bisa Melandai?
Epidemiolog Masdalina Pane mengatakan hasil dari PPKM Darurat tidak bisa langsung instan dirasakan. Hasil dari PPKM Darurat baru bisa terlihat lewat penurunan kasus COVID-19 sekitar dua minggu usai hari pertama kebijakan ini berjalan.
"Kita itu kan biasanya pengen instan, merasa ketika sudah melakukan intervensi langsung masalah selesai. Tidak begitu," kata Lina.
"Setelah kira-kira dua minggu baru kelihatan hasilnya, karena apa? Masa inkubasi virus ini 2-14 hari, lalu akan menurun sedikit. Penurunan kasus tidak akan anjlok," kata Lina lewat sambungan telepon ke Health Liputan6.com.
Bila 80 persen masyarakat patuh menjalankan PPKM Darurat dengan berada di rumah, penurunan kasus COVID-19 bisa mulai terjadi di hari ke-10. Penurunan bakal terjadi sekitar 10-20 persen yakni sekitar turun 3 ribu kasus per hari.
"Namun, itu kalau 80 persen yang berada di rumah. Saat ini yang terlihat adalah sekitar 30-40 persen masih ada orang yang berada di luar rumah. Artinya, penurunan kasus lebih rendah dari itu," kata Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) ini.
Namun, penurunan kasus juga dipengaruhi faktor lain. Seperti jumlah orang yang melakukan tes apakah sama atau dilakukan pengurangan. Jika orang yang di tes berkurang, maka kasus tambahan COVID-19 tentu akan turun.
Wanita yang pernah bertugas dalam penanganan Ebola di Sierra Leone ini mengatakan bahwa kebijakan PPKM Darurat ini bersifat sementara. Bila kendor dalam testing, tracing, dan treatment (3T) maka kembali naik kasusnya.
"PPKM Darurat ini sebenarnya hanya untuk menahan laju sementara transmisi di bawah. Sehingga agar tidak mengalir deras yang sakit ke rumah sakit atau hilir," kata Lina.
Kembali Lina mengingatkan bahwa selama pengendalian pandemi belum dilakukan dengan benar maka akan sulit kasus COVID-19 melandai.
"Sepanjang pengendalian tidak mengikuti kaidah dan sistem yang benar jangan harap ktia bisa mengendalikan pandemi ini dengan cepat," katanya.
Lina mengatakan kunci dalam penanganan pandemi adalah tracing alias pelacakan. Pelacakan itu terdiri dari melacak orang yang kontak erat, suspek atau bergejala. Untuk mengetahui hal itu caranya dengan melakukan tes (testing).
"Tesnya itu juga harus masif, jangan jargon saja. Tes COVID-19 sebaiknya 500 ribu per hari, selama ini tertinggi 140 ribu orang yang dites," katanya.
Setelah diketahui status orang tersebut COVID-19 atau tidak dilanjutkan dengan memonitor. Apakah orang tersebut bergejala, butuh isolasi mandiri atau perlu dirujuk ke rumah sakit.
Kemudian terakhir, adalah containment yakni berupa isolasi atau karantina. Bila hal ini dilakukan optimal, maka kasus COVID-19 di Indonesia bisa terkendali.
Advertisement
Skenario Terburuk
Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, butuh terobosan untuk mengatasi ketersediaan tempat tidur bagi pasien COVID-19.
"Kalau kita bisa bangun RS darurat yang cepat, maka ayo segera kita bangun. Kalau perlu alih fungsi beberapa lokasi menjadi rumah sakit, maka ayo segera kita alihfungsikan," kata Puan.
Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay juga menekankan untuk mengantisipasi lonjakan COVID-19 yang mengganas, ketersediaan fasilitas kesehatan perlu dijadikan perhatian oleh pemerintah.
Ketua Fraksi PAN DPR RI itu menyebut, saat ini saja banyak masyarakat yang mengaku kesulitan mencari fasilitas kesehatan untuk merawat anggota keluarga ataupun mereka sendiri.
"Karena sudah ada prediksi, pemerintah mesti melakukan langkah-langkah antisipasi yang perlu dilakukan. Pertama menyiapkan sarana kesehatan dan fasilitas kesehatan yang mumpuni dan juga tersedia secara luas," ujar Saleh kepada Liputan6.com, Kamis (8/7/2021).
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan terdapat sejumlah langkah yang dilakukan untuk mengantisipasi kasus aktif yang mencapai 100 ribu pasien.
Langkah pertama yakni menjadikan rumah sakit kelas A sepenuhnya untuk ICU COVID-19.
"RSDC Wisma Atlet difungsikan khusus penanganan pasien COVID-19 bergejala sedang hingga berat," kata Anies di Youtube Pemprov DKI Jakarta, Jumat 2 Juli 2021 lalu.
Dia juga meminta agar rumah susun atau rusun disulap menjadi fasilitas isolasi terkendali untuk pasien COVID-19 bergejala ringan.
Lalu, mengubah stadion indoor dan gedung-gedung konvensi besar menjadi rumah sakit darurat penanganan kasus darurat kritis, diusulkan untuk dalam satu manajemen RSDC Wisma Atlet.
"Memastikan kebutuhan tenaga kesehatan terpenuhi termasuk penambahan tenaga kesehatan dari luar DKI Jakarta," ucapnya.
Selanjutnya yakni memastikan ketersediaan oksigen, alat pelindung diri (APD), alat kesehatan, dan obat-obatan.
Sementara itu, Polri memastikan telah menyiapkan langkah antisipasi untuk menangani terjadinya kelangkaan obat, vitamin, hingga oksigen tabung selama pandemi COVID-19. Hal itu merupakan imbas melonjaknya kasus positif Corona di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.
"Polri akan melakukan aktivitas dekteksi intensif terhadap berbagai informasi isu-isu yang berkembang di masyarakat, dan mempersiapkan langkah antisipasinya tentang kelangkaan obat, kelangkaan oksigen. Ini tentunya akan menjadi perhatian," tutur Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono saat dikonfirmasi.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Panjaitan pun menegaskan, pengadaan dan penambahan kapasitas atau jumlah oksigen untuk pasien COVID-19 agar dipercepat. Sehingga cadangan oksigen yang tersedia nantinya bisa digunakan para pasien yang sedang dirawat.
"Kita bermain dengan waktu, kita harus bekerja cepat," kata Luhut dalam rapat koordinasi penyediaan suplai oksigen untuk COVID-19 tingkat menteri dan lembaga terkait, Jakarta, Kamis (8/7).
Dia menuturkan pengadaan dan penambahan jumlah oksigen untuk pasien COVID-19 yang melibatkan banyak pihak dan lini harus tetap taat hukum.
Jangan sampai pengadaannya bermasalah di masa depan, walaupun ada diskresi yang diberikan pada masa darurat ini. Dalam rakor tersebut, Luhut meminta para pemangku kepentingan untuk tanggap dan bekerja lebih cepat demi keselamatan masyarakat.
Saat ini pihaknya juga sudah membuat skenario dalam penangan COVID-19 selama PPKM Darurat Jawa-Bali. Seiring perjalan waktu, akan dilakukan evaluasi atas implementasi aturan yang sedang berjalan agar diperoleh gambaran efektif atau tidaknya keputusan yang ambil.
"Karena kita enggak tahu kapan selesainya COVID-19 ini," tambahnya.