Liputan6.com, Jakarta - Obat terapi COVID-19 langka dan diburu menjadi salah satu perbincangan hangat di tengah pandemi COVID-19 pada beberapa minggu terakhir ini. Sebut saja sejumlah obat antibiotik, antivirus hingga vitamin yang dibutuhkan sulit diperoleh masyarakat. Bahkan kekosongan ketersediaan obat tersebut berlangsung berhari-hari. Ketika obat tersedia di suatu apotek, tak ayal, antrean warga pun mengular.
Mengecek ketersediaan obat terapi COVID-19 di lapangan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendatangi di Apotek Villa Duta Bogor, Jawa Barat. Ia menyebut obat Oseltamivir, Favipiravir, dan Azithromycin ternyata kosong di apotek tersebut. Jokowi lantas menelepon Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin perihal obat kosong.
Advertisement
“Pak Menteri. Pak, ini saya ini, apa saya cari obat antivirus Oseltamivir enggak ada. Cari lagi yang obat antivirus yang Favipiravir juga enggak ada. Kosong. Saya cari obat yang antibiotik, Azithromycin juga enggak ada," ucap Jokowi kepada Menkes Budi melalui sambungan telepon pada Jumat, 23 Juli 2021 sebagaimana ditayangkan Youtube Sekretariat Presiden.
Stok obat terapi COVID-19 di atas telah satu minggu kosong. Bahkan Jokowi menyebut stok vitamin D3-5000 IU di Apotek Villa Duta juga kosong. Budi Gunadi langsung mengecek. Ia menyampaikan obat-obat yang dimaksud Jokowi masih tersedia di sejumlah apotek di Kota Bogor.
Saat ini, masyarakat dapat mengecek langsung ketersediaan obat terapi COVID-19 melalui situs https://farmaplus.kemkes.go.id/. Sehingga masyarakat dapat mengakses ketersediaan obat di apotek yang akan dituju sebelum membelinya.
"Itu ada data online yang ada di rumah sakit itu bisa dilihat by kota segala macam. Untuk Apoteknya Kimia Farma, Century, Guardian, K24," tutur Budi Gunadi kepada Jokowi.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua
Simak Video Menarik Berikut Ini:
Cek Stok Obat Lewat Farmaplus
Kemenkes menyediakan situs https://farmaplus.kemkes.go.id/ yang bisa diakses masyarakat untuk melihat stok obat di apotek. Pendataan stok obat pun akan dikembangkan dengan jejaring apotek sampai ke seluruh Indonesia.
Pelaksana Tugas Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Arianti Anaya menerangkan, Farmaplus bisa diakses dengan mudah. Kita bisa ketahui di apotek mana obat yang sedang kita cari berada.
“Sehingga kita harapkan masyarakat tetap bisa mendapatkan pelayanan terhadap obat-obatan yang dibutuhkan dalam penanganan COVID-19. Lewat Farmaplus, ketersediaan obat akan dilakukan update setiap hari ya. Karena tentunya akan berubah setiap hari obat-obatan tersebut,” terang Arianti saat konferensi pers, ditulis Minggu, 1 Agustus 2021.
“Untuk obat-obatan sendiri, tentu akan segera kami distribusikan ke rumah sakit jejaring apotek Kimia Farma dan apotek-apotek lainnya. Ini dapat diakses oleh masyarakat lewat situs Farmaplus.”
Upaya pemenuhan obat, Kemenkes bekerja sama dengan industri, baik industri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun industri swasta lainnya. Kemenkes mendorong dan memantau industri agar sesegera mungkin mendistribusikan obat-obat ke fasilitas kesehatan dan ke apotek-apotek agar tidak ada penimbunan obat-obatan di industri ataupun di PBF (Pedagang Besar Farmasi).
Arianti mengimbau masyarakat sebelum membeli obat-obatan terapi COVID-19, harus berkonsultasi dulu dengan dokter, kecuali vitamin. Industri farmasi diimbau membantu pemerintah menanggulangi kondisi pandemi COVID-19 saat ini, terlebih lagi lonjakan kasus COVID-19 cukup tinggi.
“Semua obat-obatan terapi COVID-19 harus dibeli dengan menggunakan resep dokter. Karena obat tersebut mempunyai risiko kalau digunakan tidak sesuai resep dokter, maka obat ini akan menjadi racun, bukan malah mengobati. Itu yang harus dipahami oleh para masyarakat,” pesannya.
“Kami juga imbau agar tidak ada penimbunan penimbunan obat ya. Kami bekerja sama dengan aparat supaya tidak ada penimbunan dan penimbunan obat. Kami ingatkan bahwa masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan terhadap terapi COVID-19 yang sebaik-baiknya.”
Advertisement
Pengaturan Harga Eceran Tertinggi Obat
Lonjakan COVID-19 yang sedang terjadi diikuti dengan peningkatan kebutuhan terhadap obat-obatan untuk penanganan COVID-19. Harga obat juga ikut merangkak naik, yang mana Pemerintah merasa perlu untuk melakukan pengendalian terhadap harga-harga obat di pasaran agar permintaan untuk masyarakat bisa dapat dipenuhi.
Kemenkes sudah mengatur harga eceran obat melalui Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021. Adanya kebijakan ini agar tidak dimanfaatkan oleh sebagian pelaku usaha untuk menaikan harga jual obat kepada masyarakat.
Arianti Anaya mengatakan, Kemenkes mengajak para industri, khususnya terkait dengan penanganan COVID-19 untuk mendukung pelaksanaan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah terhadap harga eceran tertinggi. Ini demi melindungi kepentingan masyarakat dan banyak pihak yang ingin memeroleh keuntungan keuntungan pribadi.
“Banyak Saudara-saudara kita yang terkena virus Corona dan tentunya membutuhkan obat-obatan untuk penanganannya. Kebijakan harga eceran tertinggi sudah kami kaji dengan baik ya. Diharapkan pengaturan harga obat yang dikeluarkan oleh pemerintah bisa terjangkau oleh masyarakat dan juga tidak menyebabkan industri merugi,” katanya.
Ada 11 obat yang ditetapkan harga eceran tertinggi sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan, antara lain :
1. Favipiravir 2OO mg (Tablet) Rp.22.500 per tablet
2. Remdesivir IOO mg (Injeksi) Rp.510.000 per vial
3. Oseltamivir 75 mg (Kapsul) Rp.26.000 per kapsul
4. lntravenous Immunoglobulin 5% 50 ml (lnfus) Rp.3.262.300 per vial
5. lntravenous Immunoglobulin 10% 25 ml (Infus) Rp.3.965.000 per vial
6. lntravenous Immunoglobulin l07o 5O ml (Infus) Rp.6.174.900 per vial
7. Ivermectin 12 mg (Tablet) Rp.7.500 per tablet
8. Tocilizumab 4O0 mg/20 ml (Infus) Rp.5.710.600 per vial
9. Tocilizumab 8o mg/4 ml (Infus) Rp.1.162.200 per vial
10. Azithromycin 50O mg (Tablet) Rp.1.700 per tablet
11. Azithromycin 50O mg (Infus) Rp.95.400 per vial
Stok Obat Terapi COVID-19 Cukup Banyak
Beberapa kendala yang dihadapi dalam pemenuhan ketersediaan obat, menurut Arianti Anaya, adanya masalah distribusi. Ia berharap industri-industri tidak menahan obat-obatan yang ada di industri maupun Pedagang Besar Farmasi). Tujuannya, obat dapat diakses oleh masyarakat secepatnya.
“Kendala distribusinya, kalau kita lihat pemetaan sebenarnya yang agak terbatas ya di daerah- daerah zona merah. Kalau yang zona hijau justru kami sudah melihat kondisinya aman dan tentunya kami akan mendorong industri untuk distribusinya ke zona-zona yang memang merah,” jelasnya.
“Zona merah kebutuhannya (obat) tinggi. Tentu suplainya harus diutamakan daripada zona-zona hijau yang kami lihat katanya masih kondisi aman. Tetapi kami pantau setiap hari agar jangan sampai terjadi kekosongan dari obat.”
Pemerintah menjamin keamanan mutu dan manfaat obat-obatan yang dibutuhkan dalam penanganan COVID-19 agar obat-obatan ini bisa diperoleh oleh masyarakat. Saat ini, stok obat terapi COVID-19 cukup banyak.
Berdasarkan data Kemenkes per 10 Juli 2021, ketersediaan Oseltamivir kapsul 1.636.90, Favipiravir tablet 24.479.792, Remdesivir vial 148.891 (akan ada tambahan dari impor. Kemudian Azithromycin tablet 12.389.264, yang sementara stok ini cukup dan terus mendorong industri memproduksi.
“Yang memang stok terbatas adalah Tocilizumab ya hanya ada 421. Tetapi tocilizumab ini hanya digunakan untuk kasus kritis. Artinya, kasus kritis itu dihitung sangat kecil ya dibandingkan dengan kasus gejala ringan atau sedang. Memang kami sedang mengupayakan untuk menambah obat ini,” terang Arianti.
“Kita punya multivitamin tablet cukup banyak, ada 75.960.493. Semua stok-stok ini tersedia di dinas kesehatan provinsi. Tentunya ini bisa diakses di daerah, toko farmasi, rumah sakit dan juga di apotek. Dinas kesehatan provinsi ini menyimpan obat sebagai buffer stock ya, baik di pusat maupun di daerah.
Pada konferensi pers 26, Juli 2021, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, stok Favipiravir saat ini sekitar 6 juta di seluruh indonesia. Ada beberapa produsen dalam negeri yang akan segera meningkatkan stok Favipiravir, termasuk Kimia Farma yang bisa 2 juta per hari.
"Rencananya, PT Dexa Medica juga akan impor 15 juta pada Agustus 2021. Kita akan impor juga 9,2 juta dari beberapa negara mulai Agustus,” katanya di Istana Kepresidenan Jakarta.
"Dan ada pabrik baru rencananya yang mulai Agustus juga akan produksi 1 juta Favipiravirs setiap hari. Diharapkan nanti di bulan Agustus, kita sudah punya kapasitas produksi dalam negeri antara 2-4 juta tablet per hari.
Adapun stok Oseltamivir pada Agustus 2021 sekitar 12 juta. Stok obat ini akan dipertahankan seiring diganti secara bertahap dengan Favipiravir.
Advertisement
Impor Obat Terapi COVID-19 hingga ke Swiss
Saat konferensi pers PPKM Darurat, Sabtu (18/7/2021), Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan, pasokan obat untuk terapi pasien COVID-19 di dalam negeri relatif terkontrol. Namun, ada sejumlah obat yang harus diimpor. Kemenkes berupaya melobi India hingga Swiss.
Upaya mengimpor obat terapi COVID-19, seperti Remdesivir, Actemra, dan Gammaraas agar pasokan obat tetap aman. Pengiriman Remdesivir dari India juga bertambah menjadi 50 ribu vial per minggu. Selain itu, Kemenkes juga melobi Tiongkok.
"Remdesivir akan kami impor dari India, Pakistan, dan Tiongkok. Ini dibantu Kementerian Luar Negeri agar India bisa membuka kembali ekspornya. Dan sudah mulai masuk 50 ribu vial Remdesivir,” kata Dante.
"Kami juga sudah membuka akses ke Tiongkok, supaya obat-obat yang mirip dengan Remdesivir bisa masuk ke Indonesia.”
Khusus obat Actemra, Kemenkes sudah berkomunikasi langsung dengan produsen di Swiss, yakni perusahaan Roche. Obat Actemra termasuk salah satu obat terapi COVID-19 yang cukup sulit didapatkan.
"Kemudian obat yang jarang juga adalah Actemra. Ini kami dapatkan yang diproduksi oleh perusahaan Roche di Swiss. Dan kami akan mendapatkan obat serupa ini dari Tiongkok," tambah Dante.
Untuk obat Gammaraas, Pemerintah Indonesia sudah mendapatkan impor dari Tiongkok sebanyak 30 ribu vial. Namun, masih butuh stok lebih banyak lagi untuk mencukupi kebutuhan di Indonesia. Selanjutnya, akan impor 27.000 lagi pada Agustus 2021.
Kabar terbaru per 26 Juli 2021, Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, Agustus 2021 akan impor 1,2 juta Remdesiivir Indonesia juga sedang dalam proses untuk membuat Remdesivir di dalam negeri. Untuk Actemra, pada Juli 2021 datang 1.000 vial, lalu Agustus impor 138.000.
Kapasitas Produksi Farmasi Beroperasi 24 Jam
Perihal kelangkaan obat, Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Andreas Bayu Aji menjelaskan, hal itu murni karena masalah pasokan dan permintaan. Ketersediaan obat-obatan tidak dapat memenuhi permintaan yang melonjak secara tiba-tiba.
Selama beberapa waktu terakhir, permintaan obat naik hingga lima kali lipat sejak Juni 2021. Sayangnya, stok obat nasional diakui memang kurang siap menghadapi lonjakan permintaan yang terjadi.
“Terkait obat, bukan hilang, ini masalah supply dan demand. Kita tidak pernah bisa memprediksi ada peningkatan hampir lima kali, kalau menurut data yang kami himpun. Jadi, ketika di awal Juni COVID-19 itu meningkat, otomatis peningkatan obat naik dan kita tidak siap," papar Andreas dalam konferensi pers Apindo-Kadin, Rabu (21/7/2021).
Saat ini, GP Farmasi sudah mulai bergerak mengatasi masalah kekurangan stok obat. Kapasitas produksi pabrik farmasi digenjot, bahkan beroperasi 24 jam dalam 3 shift.
"Sekarang apa yang dilakukan oleh anggota kami di GP Farmasi Indonesia? Sudah satu-dua minggu terakhir ini, kami berupaya meningkatkan kapasitas produksi. Beberapa pabrik sudah beroperasi 3 shift, 24 jam bekerja, kita genjot. Beberapa perusahaan farmasi, produsen obat, sudah berupaya itu," ungkap Andreas.
Advertisement