Marak Kasus Klitih di Yogyakarta, Ini Motif Pelaku Menurut Kriminolog

Kasus klitih di Daerah Istimewa Yogyakarta sempat menjadi perbincangan di penghujung 2021. Klitih diartikan sebagai aksi kenakalan remaja yang umumnya terjadi di kalangan pelajar.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 05 Jan 2022, 11:00 WIB
Diterbitkan 05 Jan 2022, 11:00 WIB
Tugu Pal Putih Yogyakarta Kian Apik Tanpa Gangguan Kabel Melintang
Suasana perempatan Tugu Pal Putih Yogyakarta, Sabtu (26/12/2020). Tugu yang dulunya bernama tugu Golong Gilig ini memiliki sejarah panjang dan menjadi salah satu keistimewaan kota Yogya ini terlihat rapi dan ramai dikunjungi wisatawan. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Kasus klitih di Daerah Istimewa Yogyakarta sempat menjadi perbincangan di penghujung 2021. Klitih diartikan sebagai aksi kenakalan remaja yang umumnya terjadi di kalangan pelajar.

Klitih dapat berupa pencegatan dan penganiayaan pada korban yang sesama pelajar guna menunjukkan kekuatan diri. Namun, kini klitih terjadi dengan korban yang lebih acak, dengan kata lain orang yang tak dikenal dan tak punya latar belakang masalah pun bisa jadi korban.

Kriminolog Haniva Hasna, M. Krim menjelaskan mengapa para remaja melakukan klitih dan seolah menjadi kejahatan yang membudaya di tengah masyarakat Yogyakarta.

“Karena mata rantainya tidak terputus sehingga menjadi identitas remaja di Yogyakarta. Klitih menjadi gambaran sukses sebuah kenakalan,” ujar kriminolog yang akrab disapa Iva kepada Health Liputan6.com melalui keterangan teks ditulis Selasa (4/1/2022).

Menurutnya, walau banyak faktor penyebab seseorang ataupun sekelompok remaja melakukan aksi klitih, tapi penyebab utamanya adalah rasa butuh pengakuan oleh perorangan maupun kelompok, eksistensi, mencari jati diri maupun gengsi.

Simak Video Berikut Ini

Krisis Identitas

Klitih biasanya dilakukan oleh kelompok usia remaja yang secara psikologis sedang mengalami suatu krisis identitas. Ini ditandai dengan adanya perubahan biologis maupun psikologis yang memungkinkan remaja mengalami dua bentuk integrasi.

“Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua mencapai identitas peran.”

Timbulnya kejahatan yang dilakukan remaja karena adanya kegagalan untuk mencapai integrasi yang kedua yakni tercapainya sebuah identitas peran. Oleh karena itu, muncul suatu bentuk ekspresi dari remaja untuk mendapatkan pengakuan atas apa yang dilakukannya

Kontrol Diri Lemah

Adapun dalam fase mendapatkan pengakuan dan eksistensi, secara psikologis remaja memiliki kontrol diri yang lemah.

Remaja yang tidak dapat membedakan perilaku baik dan buruk untuk menemukan jati dirinya ataupun perannya mudah terseret pada perilaku nakal yang akan melahirkan bentuk-bentuk kejahatan.

Hal ini pun masih berpengaruh terhadap remaja yang mengetahui perbedaan perilaku baik dan buruk. Namun, tidak bisa mengembangkan kontrol dirinya untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki.

Lingkungan remaja itu sendiri memiliki pengaruh terkuat bagi remaja untuk menemukan peran maupun jati diri dalam hidupnya. Lingkungan sekolah, lingkungan bermain dengan teman sebaya merupakan tempat yang vital bagi remaja untuk mengekspresikan peran dalam kehidupannya.

Baik dan buruk suatu perilaku remaja dapat dipengaruhi oleh lingkungannya. Karena, remaja yang memiliki kontrol diri tidak dapat menyaring perilaku baik dan buruk untuk menentukan jati diri dan peran serta mendapatkan pengakuan maupun eksistensi di lingkungannya.

“Sayangnya, perilaku-perilaku negatif menjadi salah satu pilihan bagi remaja untuk mendapatkan peran dan eksistensi dalam kehidupannya,” kata Iva.

Infografis Vaksin Merah Putih Karya Anak Bangsa COVID-19

Infografis Vaksin Merah Putih Karya Anak Bangsa Covid-19
Infografis Vaksin Merah Putih Karya Anak Bangsa Covid-19 (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya