Perubahan Iklim Timbulkan Risiko Serius bagi Kesehatan Mental dan Kesejahteraan Psikososial

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyampaikan bahwa perubahan iklim menimbulkan risiko serius bagi kesehatan mental dan kesejahteraan psikososial.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 07 Jun 2022, 12:00 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2022, 12:00 WIB
Aksi bertemakan Tolak Bala, Stop Bencana
Beragam poster dalam aksi di Dukuh Atas, Jakarta, Minggu (26/9/2021). Aksi bertemakan "Tolak Bala, Stop Bencana" ini untuk menyerukan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan parlemen Indonesia agar segera menghentikan ketidakbijakan dalam menghadapi krisis iklim (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyampaikan bahwa perubahan iklim menimbulkan risiko serius bagi kesehatan mental dan kesejahteraan psikososial.

Oleh karena itu, WHO mendesak negara-negara untuk menyertakan dukungan kesehatan mental dalam upaya penanggulangan krisis iklim. Seperti yang sudah dilakukan beberapa negara perintis secara efektif.

Temuan ini sesuai dengan laporan terbaru oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), yang diterbitkan pada bulan Februari tahun ini.

IPPC mengungkapkan bahwa perubahan iklim yang meningkat pesat menimbulkan ancaman yang meningkat terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan psikososial; dari tekanan emosional hingga kecemasan, depresi, kesedihan, dan perilaku bunuh diri.

“Dampak perubahan iklim semakin menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, dan sangat sedikit dukungan kesehatan mental khusus yang tersedia untuk orang-orang dan komunitas yang berurusan dengan bahaya terkait iklim dan risiko jangka panjang,” kata Dr Maria Neira, Direktur Departemen Lingkungan, Perubahan Iklim dan Kesehatan WHO mengutip keterangan pers Sabtu (4/6/2022).

Dampak kesehatan mental dari perubahan iklim tidak merata, kelompok-kelompok tertentu terpengaruh secara tidak proporsional tergantung pada faktor-faktor seperti status sosial ekonomi, jenis kelamin, dan usia.

Namun, jelas bahwa perubahan iklim memengaruhi banyak faktor penentu sosial yang telah menyebabkan beban kesehatan mental yang besar secara global.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Memperparah Situasi yang Sudah Menantang

FOTO: Aksi Teatrikal Suarakan Darurat Iklim di Indonesia
Aliansi Perlawanan Iklim melakukan aksi damai di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (5/11/2021). Massa menyerukan bahwa bumi sedang darurat serta krisis iklim namun dibiarkan karena negara hanya melindungi oligarki dan bisnisnya, bukan masa depan seluruh rakyat Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Survei WHO tahun 2021 terhadap 95 negara menemukan bahwa hanya 9 negara yang sejauh ini memasukkan dukungan kesehatan mental dan psikososial dalam rencana kesehatan dan perubahan iklim nasional mereka.

“Dampak perubahan iklim memperparah situasi yang sudah sangat menantang untuk kesehatan mental dan layanan kesehatan mental secara global.”

“Ada hampir 1 miliar orang yang hidup dengan kondisi kesehatan mental, tapi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, 3 dari 4 tidak memiliki akses ke layanan yang dibutuhkan” kata Dévora Kestel, Direktur WHO, Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Zat.

 Dengan meningkatkan dukungan kesehatan mental dan psikososial dalam pengurangan risiko bencana dan aksi iklim, negara-negara dapat berbuat lebih banyak untuk membantu melindungi mereka yang paling berisiko, tambahnya.

Ringkasan kebijakan WHO yang baru merekomendasikan lima pendekatan penting bagi pemerintah untuk mengatasi dampak kesehatan mental dari perubahan iklim. Salah satu pendekatan yang dimaksud yakni mengintegrasikan pertimbangan iklim dengan program kesehatan mental.

4 Pendekatan Lainnya

FOTO: Aksi Teatrikal Suarakan Darurat Iklim di Indonesia
Aliansi Perlawanan Iklim melakukan aksi damai di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (5/11/2021). Massa menyerukan bahwa bumi sedang darurat serta krisis iklim namun dibiarkan karena negara hanya melindungi oligarki dan bisnisnya, bukan masa depan seluruh rakyat Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Empat pendekatan lain yang tak kalah penting dalam mengatasi dampak kesehatan mental dari perubahan iklim adalah:

-Integrasikan dukungan kesehatan mental dengan aksi iklim.

-Membangun komitmen global.

-Mengembangkan pendekatan berbasis komunitas untuk mengurangi kerentanan.

-Menutup kesenjangan pendanaan besar yang ada untuk kesehatan mental dan dukungan psikososial.

“Negara-negara Anggota WHO telah memperjelas bahwa kesehatan mental adalah prioritas bagi mereka. Kami bekerja sama dengan negara-negara untuk melindungi kesehatan fisik dan mental masyarakat dari ancaman iklim,” kata Dr Diarmid Campbell-Lendrum, pemimpin iklim WHO, dan penulis utama IPCC.

Contoh bagus tentang bagaimana hal ini dapat dilakukan salah satunya seperti di Filipina. Negara ini telah membangun kembali dan meningkatkan layanan kesehatan mentalnya setelah dampak Topan Haiyan pada tahun 2013.

Contoh lainnya adalah India, di mana sebuah proyek nasional telah meningkatkan pengurangan risiko bencana di negara tersebut. Sambil juga mempersiapkan kota untuk merespons risiko iklim dan menangani kebutuhan kesehatan mental dan psikososial.

Ancaman Serius Krisis Iklim

FOTO: Aksi Teatrikal Suarakan Darurat Iklim di Indonesia
Aliansi Perlawanan Iklim melakukan aksi damai di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (5/11/2021). Massa menyerukan bahwa bumi sedang darurat serta krisis iklim namun dibiarkan karena negara hanya melindungi oligarki dan bisnisnya, bukan masa depan seluruh rakyat Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengingatkan adanya bahaya lain yang mengancam umat manusia selain pandemi COVID-19, yaitu krisis iklim.

"Pandemi akan surut. Namun kita masih akan menghadapi tantangan lain yang telah kita hadapi sebelumnya, termasuk krisis iklim," kata Tedros.

"COVID-19 telah menewaskan lebih dari 3 juta orang. Polusi udara membunuh lebih dari dua kali lipat jumlah itu, 7 juta orang, setiap tahun," kata Tedros seperti dikutip dari laman resmi WHO pada Rabu (21/4/2021).

Tedros mengatakan, meski ada peningkatan kualitas udara sementara pada tahun lalu akibat lockdown, tapi tingkat polusi kembali ke tingkat sebelum pandemi pada bulan September.

"Secara global, emisi CO2 hanya turun kurang dari 6 persen tahun lalu, tetapi pada bulan Desember, mereka telah kembali ke tingkat sebelumnya," kata Tedros.

“Tidak ada vaksin untuk perubahan iklim tetapi kita punya solusinya," kata Tedros.

Pada 2020 WHO menerbitkan manifesto untuk pemulihan yang sehat dan hijau, menyerukan pemerintah untuk melindungi alam, mendukung sumber energi bersih, mengembangkan sistem pangan berkelanjutan dan kota yang lebih sehat, serta mengurangi aktivitas pencemaran.

Infografis: Bumi Makin Panas, Apa Solusinya? (Liputan6.com / Abdillah)
Infografis: Bumi Makin Panas, Apa Solusinya? (Liputan6.com / Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya