Liputan6.com, Jakarta - Virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 masih terus bermutasi. Kini, subvarian Omicron jenis BA.4 dan BA.5 menjadi jenis yang diwaspadai. Anakan varian Omicron itu menjadi penyebab beberapa negara mengalami kenaikan kasus COVID-19.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan menyatakan kedua subvarian itu telah terdeteksi sejak 6 Juni 2022. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun secara resmi telah menyampaikan bahwa subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 telah ada di Tanah Air.
Baca Juga
"Memang saat ini sudah keluar Variants under Monitoring (VuM) seperti Omicron BA.4 dan BA.5. Ini yang memicu kenaikan kasus di Eropa, Amerika dan Asia," ujar pria yang biasa disapa BGS dalam acara Kick Off Integrasi Layanan Kesehatan Primer di Gedung Sujudi Kemenkes RI, Jakarta, Jumat, (10/6/2022).
Advertisement
Sebelumnya, Menkes Budi mengungkap bahwa empat kasus subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 sudah terdeteksi di Bali sejak Mei 2022. Sedangkan hasil dari genome sequencing terkait empat data tersebut telah diterima oleh Kemenkes pada Kamis, 9 Juni 2022 malam. Kini, data terbaru menunjukkan ada 4 tambahan kasus BA.4 dan BA.5 yang berasal dari DKI Jakarta.
Dengan tambahan 4 orang, maka sudah ada 8 orang di Indonesia yang terdeteksi terpapar BA.5 dan BA.4 lewat hasil pemeriksaan whole genome sequencing.
Budi mengungkapkan bahwa subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 dapat menghindar dari imunitas tubuh manusia yang dibentuk oleh vaksin.
Dua subvarian ini juga dikabarkan dapat menyebar dengan lebih cepat lagi dari varian Omicron sebelumnya.
Pada kesempatan berbeda, Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI dr Mohammad Syahril mengatakan di tingkat global secara epidemiologi subvarian BA.4 sudah dilaporkan sebanyak 6.903 sekuens melalui GISAID. Laporan tersebut berasal dari 58 negara dan ada 5 negara dengan laporan BA.4 terbanyak, antara lain Afrika Selatan, Amerika Serikat, Britania Raya, Denmark, dan Israel.
Sedangkan BA.5 sudah dilaporkan sebanyak 8.687 sekuens dari 63 negara. Ada 5 negara dengan laporan sekuens terbanyak yaitu Amerika, Portugal, Jerman, Inggris, dan Afrika Selatan.
"Penyebarannya cepat ya tapi tidak tingkat keparahannya tidak berat. Lebih ringan dari Omicron yang terdahulu, yang kita tahu Omicron awal-awal itu lebih ringan dari Delta," kata Syahril kepada wartawan pada Jumat, 10 Juni 2022.
Menyumbang Peningkatan Kasus di Indonesia
Temuan subvarian BA.4 dan BA.5 berimbas pada kenaikan kasus harian COVID-19 di Tanah Air. Bila di akhir Mei kasus COVID-19 sempat di angka 200-an, pada beberapa hari belakangan, kasus positif sempat berada di angka 500 bahkan 600 dalam sehari.
Banyak yang menduga kenaikan kasus akibat libur Lebaran 40 hari yang lalu. Namun, Menteri Kesehatan RI mengatakan bahwa kenaikan kasus akhir-akhir ini terjadi karena adanya varian baru yakni BA.4 dan BA.5.
"Confirm, dipicu oleh varian baru. Ini juga terjadi di negara lain," kata Budi usai Rapat Terbatas pada Senin, 13 Juni 2022.
Memang pada libur Lebaran tahun lalu dan Natal dan Tahun Baru kemarin ada kenaikan kasus. Namun, kenaikan kasus terjadi pada hari 24-37.
Lalu, Budi juga mengatakan setiap ada lonjakan besar di suatu negara itu bukan karena hari raya tapi karena ada varian baru.
Beberapa negara yang sudah kemasukan BA.4 dan BA.5 juga melaporkan kenaikan kasus seperti disampaikan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di kesempatan yang sama.
Airlangga menyebut Australia dalam sehari bisa mencapai 16 ribuan, India 8.500, Singapura 3.100, Thailand 2.400 dan Malaysia 1.700.
Berkaca dari pengalaman Afrika Selatan menghadapi dua subvarian Omicron, laju penularan BA.4 dan BA.5 sepertiga dari puncak kasus Delta dan Omicron.
Lalu, tingkat hospitalisasi sekitar sepertiga dari kasus Delta dan Omicron. Lalu, angka kematian sekitar 1/10 dari kasus kematian dari gelombang Delta dan Omicron.
"Jadi, memang BA.4 dan BA.5 menyebabkan kenaikan kasus di beberapa negara dunia tapi puncak dari kenaikan kasus, hospitalisasi dan kematian jauh lebih rendah dari Omicron awa-awal-awal," kata Budi.
Meski demikian, dalam kesempatan berbeda, Budi Gunadi mengungkapkan bahwa situasi kasus COVID-19 di Indonesia dapat dikatakan terkendali lewat dua faktor, yang mana standarnya ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Faktor pertama adalah jumlah kasus positif atau positivity rate. Di Indonesia sendiri, provinsi dengan positivity rate tertinggi adalah Jakarta.
Sehingga, Kemenkes saat ini tengah berupaya untuk mencegah adanya peningkatan angka kasus di wilayah DKI Jakarta dengan mengintensifkan pelacakan kasus dan penegakan protokol kesehatan.
"Di Indonesia positivity rate di bawah 5 persen. Secara nasional sekarang 1,15 persen, paling tinggi di DKI Jakarta 3 persenan," ujar Budi mengutip Antara.
Sehingga berkaitan dengan hal tersebut, Kemenkes pun berupaya mencegah peningkatan angka kasus di wilayah DKI Jakarta dengan mengintensifkan pelacakan kasus dan penegakan protokol kesehatan.
Advertisement
Gejala Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5
Dokter spesialis paru dari Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Erlina Burhan menjelaskan terkait data interim (sementara) Omicron subvarian BA.4 dan BA.5.
Menurutnya, transmisibilitas atau kemampuan menular dua subvarian tersebut kemungkinan lebih cepat ketimbang BA.1 dan BA.2.
“Namun, untuk tingkat keparahan, saat ini karena kasusnya masih sedikit belum ada indikasi lebih parah. Jadi minimal sama dengan varian Omicron yang original. Belum terlihat indikasi perbedaan mungkin karena baru sedikit (kasusnya),” ujar Erlina dalam seminar daring Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Minggu (12/6/2022).
Ia menambahkan, masa inkubasi dan penyembuhan dari varian Omicron lebih cepat dari COVID-19 biasa. Masa infeksiusnya yakni 1 hingga 2 hari sebelum gejala hingga kurang dari 10 hari setelah gejala muncul. Subvarian ini paling menular pada 1-2 hari sebelum bergejala hingga 2-3 hari setelah bergejala.
Sedangkan terkait gejalanya, Erlina mengatakan bahwa pada 29 April 2022 hingga saat ini terdapat sejumlah kecil kasus BA.4 dan BA.5. Sehingga terlalu dini untuk mengetahui secara pasti apakah ada gejala baru terkait dengan garis keturunan ini.
“Namun, mengingat bahwa garis keturunan masih diklasifikasikan sebagai Omicron dan bahwa sebagian besar mutasi terutama dalam protein lonjakan adalah sama, kemungkinan gejalanya akan serupa.”
Menurut data yang dibagikan Ketua Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dokter spesialis paru konsultan Erlina Burhan, empat orang yang terdeteksi terinfeksi subvarian Omicron di Jakarta itu tiga di antaranya bergejala, sementara satu kasus tidak diketahui ada gejala atau tidak.
Berdasarkan hasil tes whole genome sequencing yang keluar 10 Juni 2022, salah seorang pasien perempuam yang terpapar BA.5 tercatat sebagai satu-satunya yang bergejala sedang. Pasien tersebut bergejala batuk, sesak napas, sakit kepala, mual muntah. Sementara dua lainnya bergejala ringan.
Pasien sudah mendapatkan dua kali suntikan vaksin Sinovac. Vaksinasi terakhir yang ia lakukan pada 21 Mei 2021 dan ia belum mendapatkan booster.
Berhubung pasien tersebut dirawat di sebuah rumah sakit swasta sehingga tidak bisa melihat hasil rontgen thoraks, maka Erlina memiliki dua kemungkinan penyebab orang tersebut alami sesak napas.
"Ada dua kemungkinan, mungkin replikasi virus ada di saluran napas bawah atau bisa jadi sesak napas karena penyakit lain," katanya.
Sementara itu, dua pasien lain di Jakarta mengeluhkan gejala ringan seperti demam, batuk, dan nyeri tenggorokan.
"Gejala BA.4 dan BA.5 ini mirip dengan awal-awal Omicron terdahulu ya BA.1 yang ringan dan sedang. Semoga tidak ada yang berat meski berkaca dari 8 kasus saja," kata Erlina.
Puncak Kasus COVID-19 karena Subvarian Omicron
Budi Gunadi memprediksi puncak kasus COVID-19 Omicron subvarian BA.4 dan BA.5 terjadi satu bulan usai temuan kasus pertama. Ini artinya puncak kasus terjadi pada pekan kedua atau ketiga Juli 2022.
"Pengamatan kami nih, puncak gelombang BA.4 dan BA.5 itu terjadi satu bulan setelah penemuan kasus pertama. Jadi, minggu kedua atau ketiga Juli kita akan lihat puncak dari kasus BA.4 dan BA.5," kata Budi dalam Keterangan Pers Menteri Terkait Ratas Evaluasi PPKM pada Senin, 13 Juni 2022.
Jika masyarakat benar-benar siap, termasuk dalam hal disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan COVID-19 dan sudah mendapatkan vaksinasi booster, kemungkinan puncak kasus gelombang BA.4 dan BA.5 tidak akan tinggi.
Mencermati kenaikan kasus COVID-19 di Afrika Selatan yang disebabkan oleh subvarian Omicron, Budi dan tim melakukan analisis data terkait kasus BA.4 dan BA.5 di sana. Hasilnya, penularan BA.4 dan BA.5 sepertiga dari puncak kasus Delta dan Omicron. Lalu, tingkat hospitalisasi sekitar sepertiga dari kasus Delta dan Omicron.
"Lalu, kematian sekitar 1/10 dari kasus kematian dari gelombang Delta dan Omicron," kata Budi.
Melihat karakteristik BA.4 dan BA.5 yang menyebar dengan cepat, memang dua varian ini terbukti menyebabkan kenaikan kasus di beberapa negara di dunia. Ia juga mengonfirmasi kenaikan kasus di RI akhir-akhir karena kehadiran varian baru BA.4 dan BA.5.
"Kenaikan di kita confirm dipicu oleh varian baru. Ini juga terjadi di negara lain."
Meski ada kenaikan kasus, Budi Gunadi mengatakan kondisi Indonesia masih terkendali bila menilik indikator dari WHO.
"Kita berada di level 1, jadi walaupun ada kenaikan kita masih di level 1. Lalu positivity rate kita ada di 1,36 persen dari standar WHO yang 5 persen. Lalu reproduction rate kita di angka satu. Dari tiga indikator transmisi, kondisi Indonesia masih baik," kata Budi.
Meski kondisi Indonesia relatif baik, lebih baik kita waspada dan berhati-hati seperti disampaikan Presiden Joko Widodo lewat Budi.
"Kewaspadaan kita, konservatifnya kita, kehati-hatian kita sudah memberikan hasil. Penanganan pandemi kita relatif baik dibandingkan negara lain," katanya.
Advertisement
COVID-19 Masih Terkendali
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono pun menilai kenaikan kasus COVID-19 yang terjadi di Indonesia dalam tiga pekan terakhir masih terkendali.
“Kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia dalam tiga pekan terakhir masih terkendali, yang penting kuncinya adalah peningkatan cakupan vaksinasi dan praktik protokol kesehatan,” kata epidemiolog Pandu Riono.
Pandu juga mengatakan bahwa peningkatan cakupan vaksinasi merupakan salah satu kunci untuk mencegah kenaikan kasus COVID-19.
“Kuncinya adalah meningkatkan cakupan vaksinasi sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, mulai dosis pertama hingga dosis penguat atau booster,” kata Pandu.
Pandu mengatakan dengan peningkatan cakupan vaksinasi diharapkan dapat meningkatkan imunitas dan proteksi optimal bagi setiap individu.
“Dengan imunitas yang tinggi di tengah masyarakat maka diharapkan dapat menekan angka hospitalisasi dan kematian seperti sekarang ini,” katanya.
Selain itu, sosialisasi dan anjuran protokol kesehatan juga perlu terus ditingkatkan dan diintensifkan guna meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat.
“Sosialisasi mengenai pentingnya memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan harus terus ditingkatkan guna mengingatkan masyarakat mengenai pentingnya protokol kesehatan,” kata Pandu.
Menyoal penerapan protokol kesehatan di masyarakat, epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman kembali mengingatkan pentingnya strategi komunikasi risiko bagi suatu negara ketika tengah menghadapi kondisi krisis kesehatan. Strategi komunikasi risiko sangat diperlukan dalam membangun kewaspadaan masyarakat sehingga tidak abai.
“Dalam setiap wabah, ketika suatu negara menghadapi krisis kesehatan kemudian kewaspadaan masyarakatnya tidak terbangun, berarti ada masalah, ada kesalahan di strategi komunikasi risiko,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com Minggu (12/6/2022).
Strategi komunikasi risiko sendiri bukan hanya masalah komunikasi dan pesan. Lebih dari itu, strategi komunikasi risiko juga mencakup masalah manajemen risiko, masalah membangun kepercayaan, masalah transparansi, dan banyak hal lainnya.
“Bukan hanya di Indonesia, banyak negara yang menyampaikan situasi positif dan optimisme berlebihan sehingga yang terbangun bukan kewaspadaan melainkan rasa aman yang semu, rasa puas tapi belum siap.”
“Sedangkan, data yang melemahkan dan ancaman tidak disampaikan atau mungkin tidak dikenali. Ini yang membuat strategi komunikasi risiko menjadi tidak tepat sehingga yang terjadi adalah merasa pandemi sudah usai.”
PPKM, Upaya Kendalikan COVID-19
Menindaklanjuti penyebaran subvarian Omicron BA.4 dan BA.5, Pemerintah masih tetap menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Kebijakan PPKM dilakukan sebagai upaya pengendalian COVID-19, termasuk penyebaran varian Corona baru.
Menurut Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia Mohammad Syahril, Pemerintah akan terus mengevaluasi PPKM yang saat ini diperpanjang dari 7 Juni sampai 4 Juli 2022. Perpanjangan PPKM dapat dilakukan sampai COVID-19 di Indonesia sepenuhnya terkendali.
"PPKM ini kan strategi upaya Pemerintah kita untuk mengendalikan COVID-19. Bagi yang enggak paham, ini momok pembatasan," ujar Syahril saat konferensi pers Update Perkembangan COVID-19 di Indonesia di Gedung Kementerian Kesehatan Jakarta pada Jumat, 10 Juni 2022.
"Tapi kalau kita lihat pada PPKM Level 1, itu sudah 100 persen daerah di Jawa dan Bali yang masuk. Kita pertahankan PPKM Level 1 ini. Kita pertahankanlah selama satu bulan, apakah akan diperpanjang? Ya, sampai dianggap stabil dan memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) -- akan tetap dipertahankan."
Pada periode perpanjangan PPKM terbaru, seluruh daerah dengan jumlah 128 kabupaten/kota di Jawa dan Bali berstatus PPKM Level 1. Di luar Jawa dan Bali, ada 385 kabupaten/kota yang berada di level sama.
Dari seluruh kabupaten/kota yang ada, hanya satu daerah yang berstatus PPKM Level 2, yakni Kabupaten Teluk Bintuni di Papua Barat. Sementara itu, tidak ada satupun daerah yang berstatus PPKM Level 3 dan 4.
Ketentuan PPKM di atas diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (InMendagri) Nomor 29 Tahun 2022 untuk Jawa-Bali dan Inmendagri Nomor 30 Tahun 2022 untuk Luar Jawa - Bali. InMendagri ini ditandatangani Menteri Dalam Negeri RI Tito Karnavian tertanggal 6 Juni 2022.
Advertisement