Liputan6.com, Jakarta Banyaknya sampah, terutama botol plastik, yang ditemukan di bantaran Sungai Ciliwung memicu dorongan agar produsen memperbesar ukuran kemasan produk (size up).
Menurut perwakilan dari Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Idham Arsyad, hal ini perlu dilakukan agar sampah lebih mudah dikelola dan didaur ulang.
Baca Juga
“Botol air mineral itu harus segera dihentikan produksinya (phase out), minimal ukuran botol yang diizinkan di pasaran nantinya hanya yang berukuran 1 liter,” kata Idham mengutip keterangan pers, Senin (10/10/2022).
Advertisement
Sebelumnya, survei bertajuk Brand Audit Sampah Plastik di Bantaran Sungai Ciliwung Wilayah Kota Bogor menunjukkan bahwa masih banyak sampah plastik yang ditemukan di bantaran Sungai Ciliwung.
Temuan dari hasil brand audit ini sejalan dengan data persampahan di Indonesia. Berdasarkan data, gelas plastik (berikut sedotan) dan botol air mineral ikut mendongkrak volume sampah plastik sebesar 11,6 juta ton, atau 17 persen dari total produksi sampah nasional di Indonesia pada 2021. Jumlah tersebut naik dua kali lipat dari satu dekade sebelumnya.
Di samping itu, produksi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) gelas plastik tercatat sebesar 10,4 miliar setiap tahun. Pada segmen ini, market leader AMDK berkontribusi pada timbulan 5.300 ton sampah gelas plastik per tahun.
Sampah industri AMDK juga berasal dari botol plastik yang produksinya mencapai 5,5 miliar botol per tahun. Timbulan sampah botol plastik tercatat 83 ribu ton, atau hampir separuh timbulan sampah plastik industri AMDK. Separuh dari timbulan sampah botol ini merupakan sampah market leader AMDK.
Menurut Peta Jalan Pengurangan Sampah KLHK
Dalam keterangan yang sama, Kasubdit Tata Laksana Produsen Direktorat Pengurangan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ujang Solihin Sidik memperkuat pernyataan Idham.
Menurut Ujang, berdasarkan Peta Jalan Pengurangan Sampah KLHK 2020-2029, memang ada sejumlah item plastik ukuran kecil yang sudah tidak boleh lagi diproduksi pada 2029.
Produk plastik yang secara bertahap harus sudah dihentikan produksinya antara lain kemasan sachet kecil, sedotan plastik di restoran, kafe, dan hotel.
“Termasuk juga sedotan plastik yang menempel pada minuman, dan juga wadah styrofoam,” kata Ujang Solihin.
Menurutnya, produsen AMDK juga harus sudah mulai bertanggung jawab. Misalnya dengan menarik kembali botol-botol plastik untuk didaur ulang di bank-bank sampah.
Advertisement
Target Pengurangan Sampah
Sebagaimana diketahui, KLHK melalui Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 75 Tahun 2019 menargetkan pengurangan sampah hingga sebesar 30 persen pada 2030.
Target pengurangan tersebut dilakukan salah satunya dengan mendorong produsen AMDK mengubah desain produk mini menjadi lebih besar (size up). Produk kecil bisa dijual dalam kemasan baru ukuran 1 liter, untuk mempermudah pengelolaan sampah.
Selain itu, produsen juga diwajibkan untuk mengimplementasikan mekanisme pertanggungjawaban terhadap produk dalam kemasan plastik yang dijual, saat nantinya produk tersebut menjadi sampah (Extended Producers Responsibility/EPR).
Size up dan EPR oleh produsen masih menjadi tantangan implementasi Permen KLHK No. 75/2019. Produsen besar AMDK tampak masih mengabaikan pemerintah dengan memasarkan produk kemasan ukuran di bawah 1 liter.
“Selain bertahan dengan tidak mengurangi produksi kemasan ukuran di bawah 1 liter, bahkan mereka juga dengan berani mengeluarkan produk baru kemasan botol ukuran mini 220 ml,” kata Ujang.
Kewajiban Produsen
Pada prinsipnya, lanjut Ujang Solihin, ada tiga kewajiban mengikat produsen yang diatur dalam Peta Jalan KLHK. Menurutnya, selain membatasi timbulan sampah dari produk gelas dan botol plastik mereka, produsen juga wajib melakukan daur ulang dan pemanfaatan kembali produk yang sudah digunakan konsumen.
“Produsen punya kewajiban untuk menarik kembali botol-botolnya untuk didaur ulang menjadi botol atau produk lain dan melakukan pemanfaatan kembali,” kata Ujang Solihin.
Potensi besar dari daur ulang sampah plastik ini sempat diulas belum lama ini oleh Kasub Dir Prasarana dan Jasa Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (B3), KLHK, Edward Nixon Pakpahan.
“Bisnis daur ulang yang merupakan bagian dari tren ekonomi sirkular berpotensi menciptakan 4,4 juta lapangan kerja baru dan menambah Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Rp569 hingga Rp638 triliun pada 2030,” kata Nixon.
Dengan membangun ekosistem ekonomi sirkular yang menekankan pada daur ulang sampah, maka sampah bukan lagi dilihat sebagai persoalan, tapi akan dipandang sebagai sumber daya ekonomi baru yang berkelanjutan.
Advertisement