Liputan6.com, Jakarta - Tidak mudah untuk menerima kekalahan. Tak peduli berapa umur Anda, kekalahan dapat membuat suasana hati dan terpuruk. Meskipun demikian, anak-anak mungkin lebih sulit menerima kekalahan. Mereka akan menangis karena belum berhasil mencetak kemenangan.
Kebanyakan orang tidak suka kalah. Meski kalah dalam pertandingan sering dianggap buruk, faktanya ini bagus untuk tumbuh kembang anak. Para pakar setuju bahwa kalah dalam suatu pertandingan olahraga dapat membantu anak belajar dari kekalahan. Kekalahan terus-menerus akan membangun solidaritas dan persahabatan.
Baca Juga
Tim kalah karena berbagai alasan. Bisa jadi karena tidak memiliki cukup peralatan atau waktu latihan, masuk ke divisi yang salah, atau kekurangan orang. Begitu sebuah tim mengalami kekalahan, sulit untuk dihentikan.
Advertisement
Ketika ditempatkan di tim yang kesulitan, beberapa anak mendedikasikan dirinya untuk olahraga yang dilakukan, berusaha untuk meningkatkan kemampuannya atau bahkan pindah ke tim yang dirasa lebih baik.
Sementara yang lainnya menyadari bahwa olahraga yang dilakukan dapat dijadikan wadah untuk membangun persekutuan dan menghabiskan waktunya bersama rekan yang memiliki hobi serupa. Mereka tidak terpengaruh pada skor yang didapatkan.
Dilansir dari The Washington Post, Milt Shapiro yang tinggal di Washington melatih ketiga anaknya selama 20 musim gabungan bisbol Little League. Dia tidak khawatir jika seorang pemain menangis, meskipun air mata menyusahkan orangtua.
"Saya suka fakta bahwa dia menangis," katanya. "Dia peduli dan dia bersemangat. Kami akan mengubah hal itu menjadi sesuatu yang bisa kami gunakan di lapangan."
"Saya akan fokus pada kemenangan kecil dalam setiap pertandingan," tuturnya.
"Apa yang bisa kami lakukan untuk memenangkan babak ini? Situasi ini? Dan saya akan merayakannya. Dan memberitahu mereka, perhatikan apa yang dilakukan anak-anak ini. Mereka bermain bisbol."
Pengalaman Tony Mazza
Tony Mazza tinggal di Washington. Dia telah melatih 14 musim T-ball dan bisbol remaja. Tidak apa-apa jika sebuah tim secara konsisten kalah, katanya, karena ada banyak peluang yang dapat digunakan anak-anak untuk meningkatkan kemampuannya sepanjang perjalanan, terlepas dari hasil yang didapatkan.
Pemain dapat berkonsentrasi pada hal yang bisa dikendalikannya, seperti berlari menuju base, atau kembali ke bangku tim setelah gagal memukul bola. "Ini bukan permainan zero-sum. Setiap orang dapat memenangkan pertempuran individunya."
Kerja kerasnya terbayar. Tim Mazza akhirnya berhasil mencapai puncak liga, dan bertemu dengan tim yang hanya memiliki lima pemain selama seri playoff. Dia meminta lima pemain di timnya untuk bergabung dengan tim lawan, dan melakukan yang terbaik.
Timnya menang. Namun, di balik itu, dia mengatakan tim belajar sesuatu tentang sportivitas. Para pemainnya, yang tahu bagaimana rasanya berada di pihak yang kalah, menghormati semangat kompetisi, katanya. "Tim lawan bukanlah musuh Anda."
Advertisement
Masalahnya Ada pada Orangtua
Psikolog olahraga yang berpraktik di Washington Caroline Silby mengatakan dalam sebuah email bahwa masalah sebenarnya tentang kalah sepanjang waktu terletak pada orang tua. Mencoba membuat anak-anak menang sepanjang waktu bisa berbahaya. Selain itu, kalah bukanlah masalah besar yang harus ditutup-tutupi.
Jika orang tua tidak berbicara tentang permainan—atau musim—yang tidak dimenangkannya, anak-anak mungkin berpikir bahwa kegagalan itu sangat mengerikan sehingga ia bahkan tidak boleh membicarakannya.
Selain itu, Silby mengungkapkan jika orang tua marah, menyalahkan pemain yang tidak terampil, atau berkutat pada kekalahan, mereka menghancurkan segala makna tentang bermain dalam sebuah tim, yaitu rasa memiliki.
Atlet yang memiliki perasaan ini dan merasa bahwa ia terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri lebih jarang stres dan memiliki harga diri yang lebih tinggi.
Secara keseluruhan, kalah dalam satu musim dapat memberi atlet beberapa perspektif, dan membantunya tumbuh lebih baik dalam mengelola frustrasi dan keraguan.
Lebih Baik Kalah daripada Tidak Bermain
Bahkan jika anak-anak berhenti dari olahraga yang digandrunginya, itu bukan karena kekalahan yang dialami. Sebagian besar atlet muda ingin keluar dari sana, apa pun yang terjadi, ucap Silby.
"Faktanya, survei menemukan bahwa anak-anak sangat menunjukkan bahwa mereka lebih suka bermain di tim yang kalah daripada duduk di bangku cadangan di tim yang menang."
Jika itu akan menjadi salah satu musim di mana ia kalah, Mazza menuturkan bahwa menjaga semangat anak-anak tidaklah sulit. Akan tetapi, orangtua harus percaya bahwa segala sesuatunya akan menjadi lebih baik. Jika pelatih menjaga harapan tetap hidup, skor tidak akan menjadi masalah.
"Jika Anda memperlakukan anak-anak seperti orang dewasa, dan orang dewasa menyukai anak-anak, terkadang ini tampaknya lebih manjur," kata Mazza. Anak-anak, katanya, hanya menginginkan rasa hormat dan martabat. Sebaliknya, orangtua ingin mendapat perhatian dan didengarkan.
"Mereka anak-anak, kan? Mereka sangat tangguh," ujar Shapiro.
(Adelina Wahyu Martanti)
Advertisement