Soal Gagal Ginjal Akut Akibat Obat Sirup, Pakar: Pemantauan Jadi PR Besar

Gagal ginjal akut yang menjadi penyebab meninggalnya anak-anak di Indonesia dikaitkan dengan konsumsi obat sirup yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 10 Feb 2023, 09:00 WIB
Diterbitkan 10 Feb 2023, 09:00 WIB
Pedagang Pasar Pramuka Kena Imbas Larangan Penjualan Obat Sirup Anak
Pedagang melayani calon pembeli di salah satu toko di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Minggu (23/10/2022). Ketua Harian Himpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka, Yoyon mengungkapkan penjualan obat sirup bagi pedagang di Pasar Pramuka sudah anjlok hingga 95 persen. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Gagal ginjal akut yang menjadi penyebab meninggalnya anak-anak di Indonesia dikaitkan dengan konsumsi obat sirup yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).

Obat-obat yang terbukti memiliki kandungan EG dan DEG di atas ambang batas merupakan obat yang telah lama diedarkan di masyarakat. Sehingga, dugaan timbulnya kasus ini mengarah pada masalah pemantauan obat atau farmakovigilans.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), farmakovigilans adalah terminologi yang didefinisikan sebagai suatu keilmuan dan aktivitas deteksi, assessment, pencegahan, pemahaman terkait efek samping obat, dan permasalahan lain dalam penggunaan suatu obat. Dulu program ini dikenal dengan istilah monitoring efek samping obat atau MESO.

Mengingat obat sirup yang dikaitkan dengan gagal ginjal akut adalah obat lama, maka obat-obatan tersebut bukan termasuk obat inovatif atau obat temuan baru.

Terkait hal ini, Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), Inge Kusuma mengatakan bahwa persetujuan uji klinik obat inovatif dengan farmakovigilans adalah dua hal yang berbeda.

Ketika ada obat yang sudah didistribusikan kepada masyarakat, maka obat itu dipastikan aman karena telah disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan badan regulasi lainnya.

“Semua aman harusnya, obat yang lama atau obat baru itu aman. Apa semua obat ada efek samping? Ya, selama itu bisa di-manage, itu enggak apa-apa, termasuk parasetamol,” kata Inge dalam diskusi panel di Jakarta, Kamis (9/2/2023).

“Jadi harusnya obat manapun yang sudah dipasarkan, sudah sampai ke pasien itu dianggap aman dengan efek samping yang bisa ditoleransi.”

PR Besar

uji klinis
Diskusi panel soal obat inovatif dan uji klinis di Indonesia. (9/2/2023) Foto: Ade Nasihudin/ Liputan6.com.

Hanya saja, lanjut Inge, ada PR besar setelah obat didistribusikan yakni pemantauan atau farmakovigilans.

“Farmakovigilans merupakan PR besar di Indonesia karena ini kurang dilakukan.”

Dari perspektif industri, perusahaan-perusahaan obat wajib melakukan farmakovigilans.

Jika suatu obat menimbulkan efek samping, maka dalam 24 jam efek itu harus dilaporkan. Gunanya yakni untuk mengetahui apakah efek samping tersebut disebabkan obat yang diminum atau bukan, bisa saja karena alergi makanan.

“Jadi di perusahaan-perusahaan internasional, farmakovigilans itu wajib. Semua orang dilatih, setiap tahun disertifikasi, termasuk resepsionis, bukan hanya orang yang berinteraksi dengan dokter dan tenaga kesehatan,” jelas Inge.

Belum Dilakukan di Indonesia

Farmakovigilans hingga pelatihan dan sertifikasi tahunan ini belum dilakukan di Indonesia.

“Sehingga banyak kasus, ketahuannya begitu banyak. Farmakovigilans harus ditingkatkan,” ujar Inge.

Dalam diskusi panel tersebut, dibahas pula soal rendahnya angka obat inovatif yang ada di Indonesia. Dalam kajian Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA) disebutkan hanya ada sekitar 9 persen obat inovatif yang beredar di Tanah Air.

Hal ini menempatkan Indonesia pada peringkat terendah, di bawah Afrika Selatan jika dibandingkan dengan negara G20. Sedangkan, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, peringkat Indonesia sama dengan Vietnam. Indonesia tertinggal oleh Filipina, Malaysia, Thailand dan Singapura.

Terkait hal ini, Asosiasi Untuk Studi Obat Indonesia (IASMED) menyatakan perlunya penguatan regulasi untuk memastikan Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dalam ketersediaan obat yang berpotensi menyelamatkan pasien.

Penyebab Kurangnya Obat Inovatif

Salah satu penyebab kurangnya obat-obatan inovatif tersebut adalah karena kurang atau tidak adanya uji klinis skala global di Indonesia.

Di sisi lain, berdasarkan kertas kebijakan yang diterbitkan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2018, kurangnya uji klinis tersebut berdampak pada terhambatnya pertumbuhan industri farmasi nasional.

Padahal, industri farmasi termasuk yang terlibat dalam pembuatan vaksin, berpotensi untuk mencapai nilai sampai dengan USD 125.49 milyar pada 2028 berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Firma Konsultan Manajemen, Arthur D. Little.

Perwakilan IASMED sekaligus akademisi Monash University Indonesia dr. Grace Wangge Ph.D. menyatakan bahwa perlunya penguatan terutama terkait regulasi Menteri Kesehatan No. 85 tahun 2020.

“Peraturan ini mengandung beberapa aspek yang menurut kami dapat disempurnakan agar proses tata kelola perizinan uji klinis lebih baik dan akuntabilitasnya terjaga,” kata Grace dalam acara yang sama.

Infografis Menanti Hasil Uji Klinis Calon Vaksin Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Menanti Hasil Uji Klinis Calon Vaksin Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya