Liputan6.com, Jakarta Indonesia masuk dalam daftar negara negara dengan kasus Tuberkulosis (TBC) yang tinggi di dunia. Bahkan, menurut data Global Tuberculosis Report 2022, Indonesia berada di peringat kedua kasus TBC tertinggi di dunia setelah India.
Seperti diketahui, TBC merupakan penyakit yang dapat menular. Sehingga salah satu pertanyaan yang sering muncul dari keluarga pasien masih berkaitan dengan risiko penularan, termasuk dari alat makan yang digunakan seperti sendok dan garpu.
Baca Juga
Anggota Kelompok Kerja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr Tutik Kusmiati, SpP(K) mengungkapkan bahwa banyak yang menanyakan soal perlukah alat makan untuk pasien TBC dibedakan untuk menghindari penularan.
Advertisement
"Piring gelas itu sering ditanyakan oleh keluarga pasien, apakah sebaiknya disendirikan? Sebenarnya kalau itu dicuci bersih dengan sabun, tidak menularkan karena kita tahu kalau penularan TB itu dari droplet," ujar Tutik dalam konferensi pers PDPI bertajuk Hari Tuberkulosis Sedunia secara daring, Jumat (24/3/2023).
"Tapi alangkah baiknya kalau itu memang disendirikan kalau misalkan ada gelas piring yang lain, ya sebaiknya disendirikan saja. Intinya kalau itu dicuci bersih, enggak nular dari situ," tambahnya.
Risiko Penularan Saat Makan Bersama
Tutik mengungkapkan bahwa risiko penularan TBC pun akan tetap ada, terutama pada pasien yang masih baru terinfeksi. Salah satu risikonya dapat terjadi bahkan ketika tengah makan bersama dengan pasien.
"Kalau misalnya masih baru, risiko menularkannya ada. Apalagi kalau makan bersama berarti kan berhadap-hadapan tanpa ada masker penghalang ya. Kan enggak mungkin makan sambil pakai masker ya," kata Tutik.
Penularan TBC Dapat Terjadi Lewat Percikan Dahak
Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Sekretaris Kelompok Kerja Infeksi PP PDPI, DR dr Irawaty Djaharuddin SpP(K). Menurutnya, memang betul bahwa TBC dapat menular dari dahak.
"Cara penularan TBC itu kan dari dahak. Jadi yang paling penting adalah melakukan pencegahan jangan sampai dahak itu gampang untuk dipindahkan, ditularkan, atau dihirup oleh orang lain," ujar Irawaty.
"Jadi bukan masalah piringnya sebenarnya, karena di situ piringnya tidak menularkan. Tapi kemungkinan karena berdekatannya, kemudian karena dahaknya. Itu yang harus kita pahami," tambahnya.
Sehingga menurut Irawaty, masalahnya bukan ada di alat-alat makan atau peralatan lain yang digunakan. Justru lebih kepada jarak antara pasien TBC dengan orang lain dan dahak yang terpercik atau terhirup.
Advertisement
Kasus TBC yang Meningkat Selama Pandemi COVID-19
Irawaty mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 sendiri ikut berperan dalam peningkatan kasus TBC. Tak hanya di Indonesia, maupun global.
"Secara global, bukan hanya di Indonesia pada musim pandemi kemarin, pasien itu takut datang ke fasilitas kesehatan. Takut tertular, kemudian kondisi yang kurang aman di rumah sakit, itu hampir semua pasien yang dirawat adalah COVID-19. Otomatis itu akan memengaruhi pengobatan TB yang tertunda," kata Irawaty.
Menurut Irawaty, meskipun pasien TB mengalami dampak selama pandemi COVID-19, masih ada hal baik yang ditemukan. Pasalnya, kasus TB yang tinggi turut menunjukkan case finding (penemuan kasus) yang sebenarnya aktif.
"Dalam sisi lain, tingginya angka kasus TB harus kita lihat sebagai sesuatu yang berarti aktif finding-nya atau penemuan kasusnya juga itu sudah cukup tinggi. Jadi ada dua hal," ujar Irawaty.
Penanganan TBC Tak Bisa Dilakukan Hanya oleh Dokter
Lebih lanjut Tutik mengungkapkan bahwa sebenarnya yang menjadi tantangan dalam mengobati pasien TBC adalah kebanyakan pasien lebih nurut pada mantan pasien, ketimbang dokter yang merawatnya.
Artinya, penanganan TBC tidak bisa jika hanya dilakukan oleh dokter atau perawat.
"Tantangan yang besar buat kita. Ini menunjukkan bahwa dokter perawat tidak bisa berdiri sendiri. Jadi butuh dukungan dari masyarakat, dan yang paling penting dari pengalaman saya, pengalaman kami semua, peran dari mantan pasien itu sangat penting," ujar Tutik.
"Jadi banyak mereka yang nurut kalau dibilangin sama mantan pasien, dibandingkan sama dokternya. Mereka percaya kalau mantan pasien yang bilang, karena mantan pasien pernah mengalami," tambahnya.
Advertisement