Petugas Kesehatan Palestina Dilanda Burnout dan Frustrasi, Sampai Tak Punya Kamar Tidur

Petugas kesehatan dilanda burnout dan frustasi menangani warga Palestina korban serangan Israel.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 06 Nov 2023, 13:25 WIB
Diterbitkan 06 Nov 2023, 12:20 WIB
Lebih dari 3.600 anak-anak Palestina
Petugas kesehatan dilanda burnout dan frustasi menangani warga Palestina korban serangan Israel. (AP Photo/Abed Khaled)

Liputan6.com, Gaza - Trauma, frustasi, dan kelelahan yang luar biasa alias burnout melanda para petugas kesehatan di Palestina yang menangani ribuan korban serangan Israel. Deru bom dan rudal yang terdengar menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak secara mental dan fisik para petugas kesehatan.

Dokter, perawat, staf administrasi, dan kru penyelamat bekerja sepanjang waktu mengobati dan merawat pasien korban serangan Israel, beberapa di antaranya mengalami burnout.

Yang lainnya, mengalami kelelahan psikologis akibat merawat luka-luka yang mengerikan atau frustrasi karena kekurangan sumber daya.

"Sebelum perang, kami bertanggung jawab untuk meringankan stres dan trauma para korban yang sakit dan terluka, tetapi sekarang kami lah yang justru membutuhkan pelampiasan karena tubuh dan jiwa kami yang kelelahan," kata perawat Huda Shokry dari Al-Daraj Medical Complex.

Dr Ahmed Ghoul, seorang pengawas ruang gawat darurat di Al-Daraj mengatakan, para profesional medis yang bekerja bersamanya berdedikasi untuk merawat pasien.

"Meskipun kekurangan hampir semua hal yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan kami secara efektif, kami tidak meninggalkan kamar kami, siang atau malam, kecuali untuk istirahat ke toilet," ucapnya, dikutip dari Al-Jazeera, Senin (6/11/2023).

"Kami telah kehilangan waktu berhari-hari dalam seminggu karena kami lebih mementingkan ribuan orang yang terluka."

Kamar Tidur Diubah Jadi Tempat Perawatan Pasien

Dokter seperti Ghoul dan petugas kesehatan lainnya, bahkan tidak memiliki tempat untuk tidur meskipun mereka memiliki kesempatan untuk memenjamkan mata. Kamar tidur pribadi mereka telah diubah menjadi area perawatan pasien.

Tempat tidur mereka pada akhirnya digunakan untuk operasi dan perawatan darurat.

Sementara itu, sebagian besar dapur rumah sakit sudah tidak berfungsi lagi. Mereka kekurangan sumber daya dasar untuk menyiapkan makanan bagi staf atau pasien.

"Kami sudah lelah dengan apa yang kami saksikan," lanjut Shokry. "Menjadi seorang dokter dalam perang di Gaza, berarti harus kehilangan rasa takut dan kelelahan. Mustahil untuk mempertahankan jiwa yang normal."

Ahli Radiologi Kuburkan Putranya Sendiri

Cerita lain datang dari Mohamed Abu Mousa, seorang ahli radiologi. Ia hanya meninggalkan pekerjaannya di Nasser Medical Centre, yang terletak di kota Khan Younis, Gaza selatan, selama beberapa jam saja sejak Israel mulai mengebom daerah kantong tersebut pada 7 Oktober lalu.

Alasannya adalah untuk menguburkan putranya yang bernama Youssef. Bocah yang baru berusia 7 tahun itu terbunuh bersama dengan salah satu keponakan Abu Mousa.

Peristiwa terjadi ketika rumah keluarga Mousa hancur menjadi puing-puing akibat serangan udara Israel pada 15 Oktober 2023.

Setelah menguburkan putranya, Mousa segera kembali ke klinik radiologi untuk melanjutkan pekerjaannya.

"Kami tidak punya waktu untuk bersedih," kata Abu Mousa, yang terlihat tenang namun kelelahan, kepada The New Humanitarian. "Rasa sakit hati ini sangat besar, tetapi luka yang ada, tidak ada habisnya. Kami harus terus bekerja."

Mayat-mayat dan Korban Luka Dilarikan ke Rumah Sakit

Lebih dari 3.600 anak-anak Palestina
Hanya dalam 25 hari perang, lebih dari 3.600 anak Palestina telah terbunuh di Gaza, menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas. (AP Photo/Abed Khaled)

Abu Mousa menceritakan lebih detail ketika dirinya mengetahui bahwa rumahnya telah dibom oleh serangan udara Israel dan putranya, Youssef terbunuh. Pada waktu itu, Mousa sedang berada di rumah sakit tatkala mendengar suara gemuruh dari serangan udara.

"Saya menelepon istri saya. Dia tidak menjawab, tetapi teleponnya berdering seperti biasa, jadi saya sedikit lega dan terus bekerja," tutur Abu Mousa. "Saya mencoba meneleponnya lagi beberapa saat setelahnya, dan ketika dia mengangkat telepon, terdengar teriakan. Hati saya terasa hancur."

Mousa tidak bisa meninggalkan pekerjaannya untuk mencari tahu apa yang terjadi karena hiruk-pikuk baru terjadi saat mayat-mayat dan korban luka-luka akibat serangan udara dilarikan ke rumah sakit oleh para petugas medis dan sukarelawan.

"Saya mendengar seseorang berkata, 'Mereka telah membom rumah Abu Mousa'. Dan saya berlari ke bagian rawat jalan untuk menemukan istri dan anak-anak saya yang masih hidup, terluka. Mereka tidak tahu di mana Youssef berada," katanya.

Anggota Keluarga Menjadi Korban

Dalam sebuah video tentang apa yang terjadi selanjutnya, Abu Mousa bergegas dari satu ruangan rumah sakit ke ruangan berikutnya, dengan putus asa bertanya kepada semua orang tentang putranya dan menerima jawaban yang hening sampai seseorang mengatakan kepadanya bahwa Youssef ada di kamar mayat.

Video tersebut telah menjadi simbol dari kenyataan mengerikan yang dihadapi para petugas kesehatan di Gaza, yang merawat para korban tanpa henti dan tidak pernah tahu kapan anggota keluarga mereka akan menjadi korban.

Keluarga Abu Moussa, termasuk putrinya yang berusia 13 tahun, Joury mengalami luka serius di bagian tubuhnya. Ia kini berada di antara ribuan pengungsi yang berlindung di Nasser Hospital.

Hidup dalam Ketakutan

Seperti banyak rumah sakit lain di Gaza, Nasser Medical Centre juga pernah nyaris terkena serangan rudal Israel.

"Sebuah serangan udara pernah jatuh tepat di sana, tepat di luar pintu rumah sakit," kata Noureddein al-Khateeb, seorang dokter residen berusia 38 tahun di unit gawat darurat sambil menunjuk ke arah bangunan di seberang rumah sakit.

Itu bukan satu-satunya kali rudal Israel menghantam dekat rumah sakit, al-Khateeb menambahkan.

"Kami hidup dalam keadaan terancam dan ketakutan," ucapnya. "Dan kami juga takut terhadap keselamatan keluarga kami, tapi apa yang bisa kami lakukan?"

Dokter Noureidden al-Khateeb bersandar di ranjang rumah sakit yang tengah berbaring seorang anak yang menderita luka bakar di wajah.

Putus Komunikasi dengan Keluarga

Ketika Israel memulai invasi ke Palestina dan terus membombardir daerah tersebut, semua layanan seluler dan konektivitas internet terputus di Gaza selama kurang lebih 36 jam antara tanggal 27 dan 29 Oktober 2023.

Al-Khateeb menuturkan, dirinya tidak dapat berkomunikasi dengan kerabatnya untuk mengetahui, apakah rumah dan keluarganya termasuk yang terkena serangan Israel.

"Ketakutan yang terus menerus muncul di atas rasa lelah yang kami alami. Tapi kita tidak boleh terlalu memikirkan hal itu. Saya tidak bisa. Jika saya melakukannya, saya tidak akan menyelesaikan pekerjaan apa pun," imbuh al-Khateeb, yang menunjukkan tanda-tanda kelelahan di wajahnya.

 

Infografis Ragam Tanggapan Tragedi Kemanusiaan 3.000 Lebih Anak Meninggal di Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Ragam Tanggapan Tragedi Kemanusiaan 3.000 Lebih Anak Meninggal di Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya