Liputan6.com, Jakarta - Beragam peristiwa di dunia kesehatan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia di sepanjang 2023. Diantaranya soal kehebohan penyebaran nyamuk Wolbachia dan kehadiran penyakit yang bikin geger di China ternyata ada di Indonesia yakni Mycoplasma pneumonia.
Kita mulai Kaleidoskop 2023 dari kehebohan serta pro kontra penyebaran nyamuk mengandung bakteri Wolbachia. Sudah bukan rahasia bila Indonesia masih bekerja keras menghadapi demam berdarah dengue alias DBD. Seribuan orang meninggal akibat terinfeksi penyakit akibat gigitan nyamuk itu. Data di 2022, dari 131.265 orang terinfeksi DBD yang meninggal ada 1.135 didominasi anak-anak usia 0 -14 tahun.
Baca Juga
Pemerintah lewat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) melakukan sederet terobosan guna mengatasi demam berdarah dengue. Upaya kali ini dilakukan pada aspek vektor atau nyamuk Aedes aegypty dengan bakteri Wolbachia.
Advertisement
Menurut penelitian yang dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, kehadiran nyamuk ber-Wolbachia mampu menurunkan angka kejadian infeksi dengue hingga 77,1 persen dan tingkat rawat inap sebesar 82,6 persen.
"Teknologi Wolbachia akan menjadi pelengkap dalam program pengendalian DBD yang sudah ada, seperti PSN 3M Plus, Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J), dan Pokjanal Dengue (DBD)," kata Direktur Pencegahan Penyakit Menular Langsung dr Imran Pambudi pada Februari 2023.
Penyebaran nyamuk Wolbachia ini masuk dalam program Strategi Nasional (Stranas). Lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga sudah meneken soal pilot project penyebaran nyamuk Wolbachia ke lima kota yaitu Kota Semarang, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Kupang dan Kota Bontan.
Hal di atas mengacu pada Keputusan Menteri kesehatan RI Nomor 1341 tentang Penyelenggaran Pilot Project Implementasi Wolbachia sebagai Inovasi Penanggulangan Dengue.
Namun, upaya penanggulangan DBD dengan teknologi Wolbachia menuai kontroversi di kalangan publik serta peneliti. Bahkan kontroversi tersebut pun berkembang menjadi disinformasi yang beredar di media sosial serta penolakan masyarakat.
Penolakan Penyebaran Nyamuk Wolbachia
Salah satu yang mengkritisi penyebaran nyamuk Wolbachia adalah Menteri Kesehatan RI periode 2004—2009, Siti Fadilah Supari. Wanita 74 tahun itu mempertanyakan penyebaran jutaan nyamuk wolbachia untuk mencegah Demam Berdarah Dengue (DBD).
Menurut Siti, upaya itu dinilai mengusik kedaulatan bangsa Indonesia lantaran belum diketahui bagaimana dampak penyebaran wolbachia ke depannya.
Sebagaimana informasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, efektivitas wolbachia sendiri telah diteliti sejak 2011 yang dilakukan oleh World Mosquito Program (WWP) di Yogyakarta dengan dukungan filantropi Yayasan Tahija.
Penelitian dilakukan melalui fase persiapan dan pelepasan Aedes aegypti ber-wolbachia dalam skala terbatas pada rentang 2011-2015.
"Ini adalah program World Mosquito, bukan program kita tapi program filantropi. Nah, dari luar mereka peneliti, tapi yang diteliti adalah kita sendiri. Ini yang membuat ketidaknyamanan menurut saya sebagai bangsa yang berdaulat," kata Siti Fadilah saat jumpa pers di Jakarta pada Minggu, 12 November 2023.
Untuk penelitian penanganan DBD di Indonesia bagi Siti Fadilah tidak masalah dilakukan oleh siapa pun. Namun, ia menekankan, hal itu haruslah menggunakan cara yang lebih transparan.
"Kita tidak menentang penelitian (DBD) dilakukan di luar oleh siapa pun, baik World Mosquito Program (WWP). Tetapi kalau mereka menggunakan masyarakat kita, seharusnya mereka menggunakan cara yang lebih transparan," pungkasnya.
Beberapa Kelompok Masyarakat Tolak Penyebaran Nyamuk Wolbachia
Puluhan warga Kota Bandung, Jawa Barat berunjuk rasa menolak penyebaran nyamuk Wolbachia di depan Gedung DPRD Jawa Barat pada Senin, 18 Desember 2023. Unjuk rasa dilakukan oleh warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Nyamuk.
Aliansi Masyarakat Anti Nyamuk memprotes putusan pemerintah yang dianggap memaksakan penyebaran nyamuk Wolbachia di Bandung. Penyebaran nyamuk Aedes aegypti berbakteri Wolbachia dinilai meresahkan warga.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Siti Nadia Tarmizi, menanggapi penolakan nyamuk Wolbachia di Bandung. Ditegaskan, pihaknya akan melihat perkembangan situasi terlebih dahulu.
Apalagi dari informasi yang beredar, jentik-jentik nyamuk Wolbachia sudah ditebar di Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung.
"Nanti kita lihat dulu (kondisinya) seperti apa. Kalau memang harus ditunda, kita lakukan penundaan," kata Nadia saat ke Health Liputan6.com pada Kamis, 21 Desember 2023.
Menurut peneliti Pusat kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada sekaligus anggota peneliti World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta Riris Andono Ahmad adalah hal yang lumrah.
Program yang sama di Yogyakarta sebelumnya juga sempat menuai penolakan, tapi setelah adanya sosialisasi dan dukungan pemerintah kabupaten dan kota akhirnya program tersebut bisa terlaksana.
Advertisement
Riset Nyamuk Wolbachia dari 2011, Peneliti: Aman bagi Manusia
Efektivitas Wolbachia telah diteliti sejak 2011 yang dilakukan oleh World Mosquito Program (WMP) di Yogyakarta dengan dukungan filantropi yayasan Tahija. Penelitian dilakukan melaui fase persiapan dan pelepasan Aedes aegypti ber-wolbachia dalam skala terbatas pada rentang 2011-2015.
Selain di Indonesia, pemanfaatan teknologi nyamuk Wolbachia juga telah dilaksanakan di 9 negara lain. Hasilnya, terbukti efektif untuk pencegahan Dengue. Adapun negara yang dimaksud adalah Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, New Caledonia, dan Sri Lanka.
Soal kekhawatiran sebagian masyarakat yang menyebut bahwa Wolbachia bisa menginfeksi ke tubuh manusia dengan tegas Riris mengatakan bahwa Wolbachia tidak menginfeksi manusia. Lalu, tidak terjadi transmisi horizontal terhadap spesies lain bahkan Wolbachia tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotik.
Efek gigitan nyamuk Wolbachia sama seperti nyamuk lain yakni gatal dan bentol-bentol tetap ada, tapi si nyamuk tidak menularkan virus dengue. Ini karena penambahan bakteri Wolbachia yang ada pada nyamuk membuat virus dengue tidak bereplikasi.
Mycoplasma Pneumonia
Sejak pertengahan Oktober 2023, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memantau data dari sistem pengawasan China. Ternyata data menunjukkan peningkatan penyakit pernapasan yang tak terdiagnosis, salah satu yang dilaporkan adalah pneumonia misterius pada anak-anak di China bagian utara.
Penyakit pernapasan tersebut kebanyakan menyerang anak-anak. Bahkan di beberapa rumah sakit di China sampai membludak.
WHO kemudian melakukan telekonfernsi pada 23 November 2023 dengan otoritas kesehatan China dari Chinese Center for Disease Control and Prevention dan Beijing Children’s Hospital. Dari pertemuan jarak jauh ini diketahui bahwa penyebabnya bukan lagi misterius. Peningkatan konsultasi rawat jalan dan penerimaan pasien rawat inap anak-anak karena bakteri Mycoplasma pneumoniae sejak Mei, serta RSV, virus adenovirus dan influenza sejak Oktober 2023.
Diantara penyebab di atas bakteri Mycoplasma pneumoniae yang asing di telinga. Ternyata, ini adalah pneumonia akibat bakteri mycoplasma sebenarnya bukanlah penyakit baru. Bakteri penyebab peradangan akut pada paru ini telah ditemukan dari lama, bahkan sejak periode 1930-an.
Berhubung bukan penyakit baru, pengobatan untuk Mycoplasma pneumoniae tidak susah dicari karena dapat ditemukan di Puskesmas dan dapat diperoleh menggunakan BPJS.
“Makanya, masyarakat tidak perlu panik karena penyakit ini sudah lama ditemukan di Indonesia,” kata dokter spesialis paru RSUP Persahabatan Prof. Erlina Burhan.
Di Indonesia sendiri sudah ada kasus Mycoplasma pneumonia. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, ada 6 kasus Mycoplasma Pneumoniae yang terkonfirmasi.
"Dua hari yang lalu, setelah kami konfirmasi, memang saat ini ada 6 kasus Mycoplasma Pneumoniae yang kena dan pernah dirawat di rumah sakit," tutur Maxi dalam temu media Update Pneumonia Mycoplasma di Indonesia, Rabu, 6 November 2023.
Maxi merinci, 5 pasien pneumonia pernah dirawat di RS Medistra dan 1 pasien di RS JWCC Jakarta. Dari 5 pasien yang dirawat di RS Medistra, 2 pasien diantaranya menjalani rawat inap ada 12 Oktober dan 25 Oktober. Sementara 3 pasien lainnya menjalani rawat jalan pada November lalu. Sedangkan satu pasien di RS JWCC disebut menjalani rawat inap.
Seluruh pasien yang terinfeksi Mycoplasma, kata Maxi, berusia 3-12 tahun. Adapun gejala awal yang paling umum ditemukan adalah panas dan batuk, sesak ringan hingga sulit menelan.
"Laporan dari rumah sakit, saat ini seluruh pasien telah sembuh," ungkapnya.
Advertisement