Liputan6.com, Jakarta - Konten pornografi dan kekerasan yang semakin mudah diakses secara daring (dalam jaringan) termasuk oleh anak-anak membawa kekhawatiran tersendiri bagi berbagai pihak termasuk pemerintah.
Ini menjadi salah satu alasan dibuatnya Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Perlindungan Anak dalam Ranah daring (PARD). Saat ini, rancangan tersebut sedang dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Baca Juga
Perpres PARD yang diinisiasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) adalah panduan untuk mencegah semakin banyak anak menjadi korban kekerasan di ranah daring (internet).
Advertisement
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar menyatakan bahwa RPerpres PARD adalah salah satu bentuk kehadiran negara untuk melindungi anak-anak yang sangat rentan menjadi korban kekerasan di ranah daring (internet).
"Saat ini rancangan peraturan presiden tentang peta jalan perlindungan anak di ranah daring dalam tahap harmonisasi, ranahnya di Kemenkumham. Targetnya RPerpres ini dapat terbit pada 2023,” kata Nahar dalam keterangan pers dikutip Senin (3/6/2024).
“Namun, di perjalanan ada beberapa catatan dalam RPerpres tersebut yang masih perlu diselaraskan supaya implementasinya bisa diterapkan di pusat, daerah, maupun di ruang partisipasi di masyarakat,” tambahnya.
Peraturan ini dibuat demi merespons kriminalitas seperti kekerasan, pornografi, pelecehan seksual, dan perundungan anak-anak di ranah daring yang semakin gencar, kata Nahar di Jakarta, Jumat, 31 Mei 2024.
Cegah Penyalahgunaan Teknologi
Nahar juha memaparkan, peta jalan PARD disusun agar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (Pemda) memiliki panduan dalam melaksanakan perlindungan anak di ranah daring.
Rancangan Perpres ini mencakup tiga strategi perlindungan anak di ranah daring. Salah satunya, strategi pencegahan terjadinya penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi terhadap anak di ranah daring.
Fokus strategi yang digunakan di antaranya melalui pengendalian risiko dengan intervensi kunci seperti mengidentifikasi, menapis, dan memutus akses berdasarkan risiko dan bahaya. Termasuk mempersiapkan kebijakan terkait tata kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik (PSE) untuk menerapkan mekanisme perancangan teknologi informasi ramah anak.
Advertisement
Perlindungan Anak di Ranah Daring Jadi Prioritas Utama
Nahar menegaskan, pemerintah berkomitmen melindungi anak-anak dari berbagai ancaman di dunia maya.
Ia mengungkapkan bahwa pemerintah terus berupaya menyusun dan melengkapi regulasi yang diperlukan untuk mengatasi tantangan kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anak yang meningkat seiring perkembangan teknologi.
“Sepertiga penduduk Indonesia adalah anak-anak, yang membuat isu perlindungan mereka menjadi prioritas utama. Anak-anak menghadapi berbagai kerentanan, terutama dengan meningkatnya penggunaan internet.”
“Meskipun internet memberikan banyak manfaat seperti kemudahan akses informasi dan hiburan, risiko seperti bullying, eksploitasi seksual, dan kecanduan juga meningkat,” jelas Nahar.
Nahar tak memungkiri adanya tantangan yang dihadapi orangtua dalam mendampingi anak-anak di era digital. Kesenjangan pengetahuan teknologi antara orangtua dan anak-anak dapat mempengaruhi efektivitas perlindungan.
Oleh karena itu, orangtua diimbau untuk lebih aktif mendampingi dan mengedukasi anak-anak mereka tentang penggunaan internet yang aman.
Ciptakan Dunia Digital yang Lebih Aman
Penyusunan RPerpres PARD melibatkan lebih dari 16 kementerian lembaga. Regulasi ini diharapkan menjadi acuan bagi para pemangku kebijakan dalam menurunkan angka kekerasan online dan meningkatkan kolaborasi lintas sektor.
KemenPPPA berharap semua regulasi yang sedang disusun dapat segera disahkan dan diimplementasikan, demi menciptakan dunia digital yang lebih aman dan ramah bagi anak-anak Indonesia.
Sementara itu, Program Manager ECPAT Indonesia, Andy Ardian mengatakan, Indonesia diduga telah menjadi lokasi penyimpanan konten pornografi anak.
Hal ini merupakan hasil penelitian dari perusahaan teknologi Apple bekerja sama dengan Internet Watch Foundation (IWF) yang berbasis di United Kingdom (UK), sebuah portal pelaporan konten pornografi anak di internet.
Portal ini menerima laporan dari pengguna internet yang menemukan konten seksual anak, dan hasilnya menunjukkan 897 aduan masuk, dengan 204 di antaranya terbukti berisi materi kekerasan seksual anak.
“Laporan ini menunjukkan bahwa di Indonesia banyak yang memiliki layanan situs web khusus menyimpan konten-konten pornografi anak. Jumlahnya ada 11 laporan hosting web. Ini sangat meresahkan bagi masyarakat,” ujar Andy.
“Hal ini perlu menjadi perhatian serius dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) supaya Indonesia itu tidak menjadi tempat penyimpanan konten pornografi anak dan dapat mengambil tindakan signifikan untuk menanganinya,” imbuhnya.
Kolaborasi antara Kominfo dan aparat penegak hukum diperlukan untuk memproses konten secara digital. Menggunakan data coding untuk membantu interpol menghapus konten dari platform digital secara otomatis.
“Meskipun upaya ini masih dalam tahap usulan di RPerpres Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring, harapannya bisa terwujud untuk membantu memerangi konten pornografi anak secara lebih efektif,” tutup Andy.
Advertisement