Liputan6.com, Jakarta - Suami pelit pada istri dan anak-anaknya, atau istri yang pelit pada suami adalah hal tidak dibenarkan dalam Islam.
Sikap pelit umumnya menunjukkan sebuah perilaku yang super irit dalam pengeluaran. Pasangan yang pelit kerap menunjukkan upaya pembatasan pengeluaran yang berlebihan dengan dalih menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga.
Baca Juga
“Sifat pelit pada salah satu pasangan tanpa komunikasi yang baik sering kali mengakibatkan relasi suami-istri menjadi tegang, bahkan dapat memicu pasangannya merasa kurang dihargai karena pendapatnya mengenai kebutuhan rumah tangga tidak dipahami dengan baik,” kata Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, Ustadz Sunnatullah mengutip NU Online, Senin (19/8/2024).
Advertisement
Oleh sebab itu, lanjutnya, Islam melarang manusia memiliki sifat pelit atau kikir. Larangan bersifat kikir tentunya tidak spesifik dalam interaksi rumah tangga saja. Larangan ini ditegaskan langsung oleh Allah dalam Al-Quran, yaitu:
وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْراً لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya:
“Jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan karunia yang Allah anugerahkan kepadanya mengira bahwa (kekikiran) itu baik bagi mereka. Sebaliknya, (kekikiran) itu buruk bagi mereka. Pada hari Kiamat, mereka akan dikalungi dengan sesuatu yang dengannya mereka berbuat kikir. Milik Allahlah warisan (yang ada di) langit dan di bumi. Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan,” (QS ‘Ali Imran, [3]: 180).
Kikir adalah Sifat Tercela Menurut Islam
Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsirnya menjelaskan, selain menegaskan larangan perilaku pelit, ayat di atas juga menunjukkan cacian (dzamm) pada orang-orang yang pelit terhadap kebaikan dan hal-hal yang bermanfaat.
Orang yang pelit sangat dicela dalam Islam, ia akan mendapatkan siksa yang pedih kelak pada hari kiamat. (Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Ihya at-Turats, cetakan ketiga, 1420 H], jilid IX, halaman 443).
“Dengan demikian, Islam merespons tegas kekikiran. Sifat pelit atau kikir harus dihindari oleh manusia, termasuk suami atau istri dalam hal pengeluaran rumah tangga yang dibutuhkan pasangan dan anak-anaknya,” jelas Ustaz Sunnatullah.
Advertisement
Definisi Pasangan Pelit
Lantas, seperti apakah batasan atau ukuran seorang suami disebut pelit kepada istrinya atau sebaliknya di dalam Islam?
Berikut pendapat beberapa ulama dalam mendefinisikan pelit:
Merujuk penjelasan Imam al-Ghazali dalam kitabnya, sifat pelit (al-bakhil) adalah ketika seseorang tidak memberikan sesuatu yang seharusnya dia diberikan. Ia memaparkan:
اَلْبَخِيْلُ هُوَ الَّذِي يَمْنَعُ حَيْثُ يَنْبَغِي أَنْ لاَ يُمْنَعَ، إِمَّا بِحُكْمِ الشَّرْعِ وَإِمَّا بِحُكْمِ الْمُرُوْءَةِ، وَذَلِكَ لاَ يُمْكِنُ التَّنْصِيْصُ عَلىَ مِقْدَارِهِ
Artinya:
“Orang pelit adalah dia yang menahan sesuatu yang seharusnya tidak ditahannya, baik menurut hukum syariat, maupun menurut etika kesopanan (muruah), dan hal itu tidak dapat ditentukan ukurannya secara pasti,” (Ihya Ulumiddin, [Beirut: Darul Ma’rifah, t.t.], jilid III, halaman 260).
Penjelasan al-Ghazali di atas memberikan implikasi bahwa pelit adalah perilaku tidak memberikan sesuatu yang seharusnya diberikan, baik berdasarkan hukum syariat maupun norma sosial.
Meskipun demikian, menurutnya, batasan perilaku pelit tidak bisa ditentukan secara pasti karena bergantung pada konteks situasi dan kebutuhan masing-masing. Namun, al-Ghazali menegaskan bahwa pelit dapat diidentifikasi ketika seseorang menahan harta dari tujuan yang sesuai dengan syariat dan etika kesopanan. Ia mengatakan:
وَلَعَلَّ حَدَّ الْبُخْلِ هُوَ إِمْسَاكُ الْمَالِ عَنْ غَرَضٍ، ذَلِكَ الْغَرَضُ هُوَ أَهَمُّ مِنْ حِفْظِ الْمَالِ فَإِنَّ صِيَانَةَ الدِّيْنِ أَهَمُّ مِنْ حِفْظِ الْمَالِ، فَمَانِعُ الزَّكَاةِ وَالنَّفَقَةِ بَخِيْلٌ
Artinya:
“Mungkin saja, batasan pelit adalah menahan harta untuk tujuan tertentu, di mana tujuan tersebut lebih penting daripada sekadar menjaga harta itu sendiri. Misalnya, menjaga agama lebih penting daripada menjaga harta. Oleh karena itu, orang yang menahan zakat dan nafkah disebut sebagai orang yang pelit.” (jilid III, halaman 261).
Mereka yang Tidak Mau Berbagi
Dalam kitabnya yang lain, Imam al-Ghazali memaparkan bahwa orang pelit itu adalah mereka yang tidak mau berbagi dengan orang lain:
إِنَّ الْبَخِيْلَ هُوَ الَّذِي يَبْخَلُ بِمَا فِي يَدِهِ عَلىَ غَيْرِهِ
Artinya:
“Sesungguhnya orang yang pelit adalah dia yang enggan memberikan sesuatu yang dimilikinya untuk orang lain,” (Bidayatul Hidayah, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t.], halaman 18).
Sementara itu, menurut Syekh Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, definisi pelit adalah mereka yang tidak menunaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam kitabnya ia mengatakan:
وَالْبَخِيْلُ هُوَ الَّذِي لاَ يُؤَدِّي الْوَاجِبَ عَلَيْهِ
Artinya:
“Orang yang pelit adalah ia yang tidak menunaikan kewajibannya,” (Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Tirmidzi, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t.], jilid VI, halaman 81).
Jika mengacu pada pendapat al-Mubarakfuri, maka orang-orang yang tidak menunaikan kewajiban yang seharusnya ditunaikan dapat dikategorikan sebagai orang yang pelit.
“Dalam konteks berumah tangga, jika suami tidak memberikan nafkah dan kebutuhan yang wajib diberikan pada istri dan anak-anaknya, maka dirinya dianggap sebagai suami yang pelit.”
Senada dengan pendapat al-Mubarakfuri, Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya menyatakan bahwa orang pelit adalah dia yang tidak memberikan sesuatu yang diwajibkan baginya. Jika dia telah memenuhi kewajiban tersebut, maka dia tidak termasuk sebagai orang yang pelit. Ia mengatakan:
اَلْبَخِيْلُ هُوَ مَانِعُ مَا وُجِبَ عَلَيْهِ فَمَنْ أَدَّى الْوَاجِبَ عَلَيْهِ كُلَّهُ لَمْ يُسَمَّ بَخِيْلاً وَاِنَّمَا الْبَخِيْلُ مَانِعُ مَا يَسْتَحِقُّ عَلَيْهِ اِعْطَاؤُهُ
Artinya:
“Orang yang pelit adalah dia yang menahan sesuatu yang wajib baginya. Maka, siapapun yang telah menunaikan semua kewajibannya, tidak disebut pelit. Sesungguhnya, pelit adalah menahan sesuatu yang seharusnya diberikan,” (Jalaul Afham fi Fadhlis Shalati ‘ala Muhammadin Khairil Anam, [Kuwait: Darul ‘Arubah, cetakan kedua, 1987], halaman 385).
Advertisement