2 Faktor Ini Jadi Acuan Masyarakat Indonesia untuk Pro atau Kontra soal Childfree

Penentangan terhadap childfree cenderung dihubungkan dengan norma agama sementara dukungan didasari dengan alasan ekonomi.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 19 Nov 2024, 20:00 WIB
Diterbitkan 19 Nov 2024, 20:00 WIB
Norma Agama dan Alasan Ekonomi Jadi Acuan Masyarakat Indonesia untuk Pro atau Kontra pada Childfree
Norma Agama dan Alasan Ekonomi Jadi Acuan Masyarakat Indonesia untuk Pro atau Kontra pada Childfree. Credit: freepik.com

Liputan6.com, Jakarta Sekitar delapan dari 100 perempuan usia produktif yang pernah kawin dan tidak sedang menggunakan alat KB memilih untuk hidup childfree pada 2022.

Jumlah ini setara dengan 0,1 persen perempuan berusia 15-49 tahun. Artinya, dari 1.000 perempuan dewasa di Indonesia, satu di antaranya telah memutuskan untuk childfree atau enggan memiliki anak.

Angka ini tercantum dalam DATAin dari Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) edisi 2023.01-1.

Kajian ini juga memaparkan, masyarakat konvensional masih menganggap bahwa seseorang memiliki identitas sebagai perempuan jika memiliki anak, terutama anak biologis.

Menurut Ruegemer dan Dziengel dalam Journal of Woman and Aging (2022), kemampuan untuk melahirkan anak menempatkan perempuan pada status sosial yang lebih tinggi karena memiliki generasi penerus. Oleh karena itu, mereka yang memilih untuk tidak memiliki anak dianggap sebagai orang yang bermasalah dalam masyarakat.

“Di Indonesia, konsep childfree belum sepenuhnya disambut baik oleh masyarakat. Melalui media sosial YouTube, sebagian besar masyarakat memberikan tanggapan negatif tentang pandangan hidup childfree,” mengutip artikel DATAin yang ditulis Yuniarti S.Si, M.S. dan Satria Bagus Panuntun S.Tr.Stat. Selasa (19/11/2024).

Opini bernada netral juga tidak kalah signifikan karena masyarakat berpikir bahwa apapun pilihan hidup seseorang harus dihormati, tidak boleh diganggu, apalagi diintervensi.

Menentang Childfree karena Alasan Agama

Kajian yang ditinjau ulang Guru Besar Bidang Ekonomi Demografi Universitas Indonesia (UI), Prof. Dra. Omas B. Samosir, Ph.D., juga menyebut, hanya 8 persen masyarakat yang memberikan apresiasi positif terhadap paradigma baru ini.

Sementara penentangan terhadap childfree cenderung dihubungkan dengan norma agama. Tak sedikit komentar masyarakat menyertakan kata “Tuhan”, “Agama”, “Allah”, dan “egois” dalam pembahasan terkait childfree di media sosial YouTube.

Secara umum, pengguna media sosial tersebut menganggap bahwa prinsip childfree sangat bertentangan dengan kodrat manusia yang sudah Tuhan tetapkan. Selain itu, penganut childfree adalah orang-orang egois yang hanya memikirkan diri sendiri.

Dukung Childfree karena Alasan Ekonomi

Meski begitu, masyarakat yang mendukung childfree pun dinilai memiliki pandangan yang cukup masuk akal.

Kata “beban” dan “takut” merujuk kepada mereka yang beranggapan bahwa anak dapat menjadi beban ekonomi dan finansial keluarga.

Oleh karena itu, masyarakat yang takut tidak mampu membiayai atau mengurus anak dengan baik, cenderung memilih untuk childfree.

Asosiasi antara Tingkat Pendidikan dengan Childfree

Selain itu, perempuan yang mengejar pendidikan lebih tinggi juga lebih sering menunda dan bahkan tidak berkeinginan untuk memiliki anak, khususnya mereka yang menempuh S2 atau S3.

Meningkatnya persentase perempuan childfree lulusan perguruan tinggi di Indonesia mengindikasikan adanya asosiasi yang kuat antara level pendidikan tinggi dengan paradigma baru kepemilikan anak.

“Akan tetapi perlu diketahui bahwa perempuan childfree berpendidikan SMA ke bawah justru jauh lebih tinggi persentasenya.”

Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), level pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesempatan kerja, yang selanjutnya akan menentukan status perekonomian seseorang.

“Jadi, keputusan hidup childfree di Indonesia sepertinya tidak hanya dipengaruhi oleh membaiknya level pendidikan, tapi juga dilatari oleh kesulitan ekonomi,” tulis Yuniarti.

Temuan tersebut didukung oleh fakta keterlibatan para perempuan yang berkomitmen untuk tidak memiliki anak ini di dunia kerja.

Dari SUSENAS 2022, sekitar 57 persen perempuan childfree ternyata tidak terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi. Jadi, faktor ekonomi memang tidak dimungkiri sebagai salah satu penentu keputusan hidup tanpa anak. Sementara, para childfree yang sibuk bekerja, sebagian besar dari mereka terlibat aktif di sektor perdagangan.

Berita baiknya adalah, lebih dari 80 persen perempuan childfree sudah menempati rumah milik sendiri di tengah menanjaknya harga properti.

Infografis Fenomena Childfree yang Jadi Pro dan Kontra
Fenomena Childfree yang Jadi Pro dan Kontra. (Liputan6/Abdillah).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya