Liputan6.com, Jakarta - Guna meningkatkan keamanan dan standar kualitas startup kesehatan di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan uji regulatory sandbox pada Inovasi Digital Kesehatan (IDK).
Regulatory sandbox adalah program Kemenkes RI untuk menyediakan ‘ruang aman’ bagi penyelenggara IDK dalam mengembangkan inovasi. Sekaligus membantu pemerintah dalam menyusun regulasi yang adaptif terhadap perkembangan industri teknologi kesehatan.
“Regulatory sandbox adalah mekanisme pengujian inovasi digital kesehatan oleh Kemenkes untuk menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, teknologi, dan tata kelola. Pembelajaran selama proses uji dapat menjadi rekomendasi pengembangan kebijakan berbasis bukti oleh Kementerian Kesehatan,” ujar Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan Kemenkes, Setiaji, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (4/2/2025).
Advertisement
Inovasi Digital Kesehatan alias IDK ini termasuk aplikasi telemedicine dan aplikasi penjualan obat. Dengan regulatory sandbox, aplikasi-aplikasi ini sudah dipastikan aman untuk digunakan dan diawasi betul oleh Kemenkes. Aplikasi atau IDK yang lulus regulatory sandbox ditandai dengan penyertaan logo Kemenkes di aplikasi tersebut.
Setiaji menjelaskan, setidaknya ada 15 IDK yang sudah lulus uji. Pengujian yang dilakukan memiliki lima ruang lingkup pengujian, yakni:
- Inovasi dan manfaat
- Model bisnis
- Spesifik klaster
- Inklusivitas
- Risiko atau keamanan siber.
Inovasi dan manfaat mencakup uji produk dan layanan, kerangka mutu, interoperabilitas, infrastruktur, dan teknologi. Sedangkan, uji model bisnis mencakup alur keuangan, organisasi dan tim, serta rencana keberlanjutan bisnis.
Lingkup Uji Lainnya
Lingkup uji regulatory sandbox berikutnya adalah spesifikasi klaster yang mencakup mutu layanan sesuai klaster, edukasi kesehatan profesional, online marketplace, diagnostik medis, perangkat kesehatan yang mudah digunakan, solusi manajemen kesehatan pasien.
Salah satu lingkup uji yang menarik dan terbilang baru adalah inklusivitas. Ini mencakup informasi layanan, aksesibilitas pengguna, data pengguna disabilitas, fitur layanan ramah disabilitas, layanan pengaduan dan pengawasan, sumber daya manusia (SDM).
Terakhir, lingkup risiko mencakup keamanan siber, aturan privasi, dan pengendalian risiko.
Advertisement
Soal Lingkup Inklusif
Terkait lingkup uji inklusif, Setiaji memberi penjelasan lebih mendalam.
“Terkait inklusivitas, kalau ditanya apakah semuanya sudah? Yang pasti ada sebagian yang belum memenuhi persyaratan inklusi itu. Gimana cara ngecek (IDK yang inklusif)? Saya contohkan, salah satunya menggunakan voice over untuk disabilitas netra,” kata Setiaji kepada Disabilitas Liputan6.com dalam acara yang sama.
“Ada juga beberapa perangkat lain yang minim bandwidth (kapasitas data/jaringan) di daerah-daerah yang rural atau yang lainnya,” tambahnya.
Dalam menentukan atau menilai sebuah aplikasi sudah inklusif atau belum, pihak penguji melibatkan asosiasi penyandang disabilitas sebagai pengguna. Mereka memberi masukan langsung sebagai pengguna, berbagai hal telah diutarakan oleh penyandang disabilitas agar suatu aplikasi atau IDK menjadi lebih inklusif.
Pasalnya, penyediaan voice over bagi penyandang disabilitas netra saja kurang. Ada ragam disabilitas lain yang memiliki kebutuhan berbeda.
Pelibatan Penyandang Disabilitas
Diskusi dengan penyandang disabilitas juga membuat berbagai hal yang sebelumnya tidak terlihat menjadi lebih tergali.
Termasuk soal kaum rentan yang bukan hanya penyandang disabilitas tapi mencakup kelompok lainnya seperti yang kesulitan mengakses internet.
Salah satu perwakilan pengembang IDK tepatnya platform Doctor Tool, Reinaldo membagikan pengalamannya saat menguji aplikasi bersama teman-teman penyandang disabilitas.
“Pengalaman kami waktu pengujiannya untuk inklusivitas terutama disabilitas, memang dari penyandang disabilitas itu memberi masukan, misalnya dari Tuli ingin diperbanyak teksnya karena tidak bisa dengar. Di fungsi-fungsi menu itu juga diminta disediakan panduan secara video (bahasa isyarat),” ucapnya.
Advertisement