Pemotongan kelamin tak hanya dialami pria. Sejumlah wanita di Timur Tengah dan Afrika masih ada yang mengalami mutilasi organ genital (Female Genital Mutilation/FGM).
Lebih dari 30 juta anak perempuan di Timur Tengah berisiko mengalami FGM meski dunia sudah menentangnya. Dan dari data UNICEF saja, lebih dari 125 juta wanita dan gadis hidup dengan mengalami FGM. Sementara 30 anak perempuan berisiko mengalami FGM dalam 10 tahun berikutnya.
Laporan ini berdasarkan survei yang dilakukan di 29 negara di Afrika dan Timur Tengah karena praktik FGM masih lazim meski jumlahnya sudah menurun.
"Hasil penelitian menunjukkan, anak perempuan cenderung dipotong (kelaminnya) sekitar 30 tahun yang lalu," begitu isi laporan seperti dikutip Al Arabiya, Kamis (25/7/2013).
"FGM merupakan pelanggaran terhadap hak seorang gadis untuk kesehatan, kesejahteraan, dan penentuan nasib," kata Wakil Direktur Eksekutif UNICEF Geeta Rao Gupta di BBC.
"Yang jelas, dari laporan ini undang-undang saja tidak cukup".
Remaja Ethiopia Meaza Garedu menjadi sasaran mutilasi genital perempuan ketika ia berusia 10 tahun. Kini, ia ikut mengkampanyekan melawan praktik FGM.
"Di desa saya ada seorang gadis yang lebih muda dari saya yang belum dimutilasi karena saya membahasa masalah tersebut dengan orangtuanya".
"Saya mengatakan kepada mereka seberapa besar operasi itu menyakiti saya, bagaimana itu membuat trauma dan membuat saya tidak percaya dengan orangtua saya sendiri," katanya.
"Mereka memutuskan apa yang mereka tak inginkan terjadi pada anaknya".
Menurut laporan itu, sejumlah pria menentang FGM. Statistik di tiga negara Afrika, Guinea, Chad, dan Sierra Leone, lebih banyak pria dibanding wanita yang menginginkan FGM dihentikan.
Prevalensi kasus FGM juga sudah menurun, hampir setengah dari kalangan remaja perempuan di Benin, Republik Afrika Tengah, Irak, Liberia, dan Nigeria.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan mutilasi kelamin sebagai pemotongan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan eksternal atau melukai kelamin wanita baik itu alasan tradisi atau alasan yang bukan untuk terapi.
Praktik ini biasanya berhubungan dengan kebiasaan sosial atau agama, tapi asal usul munculnya FGM masih diperdebatkan. FGM sering dikaitkan dengan Islam meskipun faktanya tidak dilakukan semua umat Islam, dan non muslim ada juga yang mempraktikkannya. Bahaya FGM termasuk perdarahan parah, masalah kencing, infeksi, infertilitas dan peningkatan risiko kematian bayi saat melahirkan
(Mel/*)
Lebih dari 30 juta anak perempuan di Timur Tengah berisiko mengalami FGM meski dunia sudah menentangnya. Dan dari data UNICEF saja, lebih dari 125 juta wanita dan gadis hidup dengan mengalami FGM. Sementara 30 anak perempuan berisiko mengalami FGM dalam 10 tahun berikutnya.
Laporan ini berdasarkan survei yang dilakukan di 29 negara di Afrika dan Timur Tengah karena praktik FGM masih lazim meski jumlahnya sudah menurun.
"Hasil penelitian menunjukkan, anak perempuan cenderung dipotong (kelaminnya) sekitar 30 tahun yang lalu," begitu isi laporan seperti dikutip Al Arabiya, Kamis (25/7/2013).
"FGM merupakan pelanggaran terhadap hak seorang gadis untuk kesehatan, kesejahteraan, dan penentuan nasib," kata Wakil Direktur Eksekutif UNICEF Geeta Rao Gupta di BBC.
"Yang jelas, dari laporan ini undang-undang saja tidak cukup".
Remaja Ethiopia Meaza Garedu menjadi sasaran mutilasi genital perempuan ketika ia berusia 10 tahun. Kini, ia ikut mengkampanyekan melawan praktik FGM.
"Di desa saya ada seorang gadis yang lebih muda dari saya yang belum dimutilasi karena saya membahasa masalah tersebut dengan orangtuanya".
"Saya mengatakan kepada mereka seberapa besar operasi itu menyakiti saya, bagaimana itu membuat trauma dan membuat saya tidak percaya dengan orangtua saya sendiri," katanya.
"Mereka memutuskan apa yang mereka tak inginkan terjadi pada anaknya".
Menurut laporan itu, sejumlah pria menentang FGM. Statistik di tiga negara Afrika, Guinea, Chad, dan Sierra Leone, lebih banyak pria dibanding wanita yang menginginkan FGM dihentikan.
Prevalensi kasus FGM juga sudah menurun, hampir setengah dari kalangan remaja perempuan di Benin, Republik Afrika Tengah, Irak, Liberia, dan Nigeria.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan mutilasi kelamin sebagai pemotongan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan eksternal atau melukai kelamin wanita baik itu alasan tradisi atau alasan yang bukan untuk terapi.
Praktik ini biasanya berhubungan dengan kebiasaan sosial atau agama, tapi asal usul munculnya FGM masih diperdebatkan. FGM sering dikaitkan dengan Islam meskipun faktanya tidak dilakukan semua umat Islam, dan non muslim ada juga yang mempraktikkannya. Bahaya FGM termasuk perdarahan parah, masalah kencing, infeksi, infertilitas dan peningkatan risiko kematian bayi saat melahirkan
(Mel/*)