Liputan6.com, Jakarta Suara keresek nyaring terdengar, seolah saling bersautan seperti iringan musik dalam keheningan. Bukan lagi memilah pakaian, buku, sepatu, tas, mainan, dan barang. Namun, emperan galeri ruang solidaritas relawan Joli Jolan berganti dipenuhi nasi, lauk, dan aneka macam sembako yang akan dibagikan.
Joli Jolan adalah ruang solidaritas yang mulanya terinspirasi dari istilah Jawa “Ijol-Ijolan” atau tukar-menukar. Lokasinya ada di Jl. Siwalan No. 1 Kerten Laweyan, Solo, Jawa Tengah.
Baca Juga
Advertisement
Siapa saja boleh datang untuk berdonasi dan mengambil barang yang dibutuhkan tanpa biaya sama sekali, istilah sederhananya adalah barter.
Kegiatan komunitas Joli Jolan sempat mandek pada Maret 2020 karena pandemi Corona COVID-19 dan memutuskan banting setir fokus pada Lumbung Pangan dan Dapur Darurat.
“Mungkin hampir dua bulan itu ada, kita sampai tutup galeri. Jadi kita off terus buka, kasus naik kita off lagi. Lalu dua bulan itu kita mulai fokus di Lumbung Pangan dan Dapur Darurat,” tutur Inisiator Joli Jolan, Chrisna Chanis Cara saat ditemui Liputan6.com.
Pandemi Membuat Ruang Solidaritas Joli Jolan Semakin Kuat
Lumpuhnya sektor ekonomi di seluruh negeri sejak awal Pandemi Corona COVID-19, membuat ruang solidaritas Joli Jolan justru semakin kuat dan menggila. Para relawan setiap hari datang untuk mengolah makanan matang dan membagikan sembako pada yang membutuhkan.
“Bahkan setiap hari itu kita nyalurin sembako sama makanan di depan sini. Kalau sembako biasanya kita bawa langsung ke tempatnya biar enggak berkerumun dan sampai pada orang-orang yang benar-benar belum ter-cover oleh pemerintah,” jelas Chrisna.
Warta melalui akun Instagram Joli Jolan terus digalakkan. Bala bantuan donasi pun semakin banyak dan membuat para relawan kuwalahan untuk terus membelanjakan aneka macam bahan makanan. Menurut Chrisna, dana yang masuk sampai Rp 30 juta dan justru datang dari orang-orang yang tidak dikenalinya.
Advertisement
Lumbung Pangan dan Dapur Darurat Joli Jolan
Besaran dana yang masuk dari rekening, uang tunai, dan barang akhirnya diwujudkan dalam bentuk Lumbung Pangan dan Dapur Darurat.
Ruang gerak sosial yang awalnya tanpa uang, akhirnya memutuskan open donasi karena keadaan darurat pada masa pandemi.
“Lumbung Pangan dan Dapur Darurat saya tekankan sekali lagi pada teman-teman ini adalah emergency response. Itu artinya berlaku dalam masa-masa pandemi dan tidak akan diteruskan karena sudah keluar dari marwah awal pendirian Joli Jolan,” jelas relawan Joli Jolan, Septina Setyaningrum saat ditemui Liputan6.com.
Meski banyak relawan yang berasal dari Solo, tetapi penyaluran bantuan Lumbung Pangan juga dilakukan di berbagai wilayah luar kota. Mulai dari Wonosari Klaten, Sragen, dan Sukoharjo daerah pabrik.
“Kalau itu diteruskan, dari sisi edukasi ke masyarakat nggak berhasil. Orang ra arep mletik untuk bagaimana fight di masa pandemi,” tegas Septina.
Membagiakan Masker dan Sabun Cair Gratis
Pada masa-masa awal pandemi bulan Maret 2020 lalu, ruang solidaritas Joli Jolan turut serta membagikan alat pelindung diri bagi warga setempat. Utamanya bagi para pekerja informal serta kalangan marginal.
“SABUN CAIR GRATIS. Harap Jangan Berkerumun.”
Tulisan dari kapur warna warni di papan tulis kecil itu ingin menuturkan bahwa, ada yang sedang tidak baik-baik saja. Menurut unggahan akun Instagram Joli Jolan pada 21 Maret lalu, kurang dari dua jam delapan liter sabun cair ludes.
Para relawan Joli Jolan juga turut mengkampanyekan cuci tangan menggunakan sabun alih-alih mengandalkan handsanitizer. Apalagi pada masa awal pandemi, handsanitizer menjadi barang langka dan harga jualnya meroket tajam.
Advertisement
Solidaritas Datang dari Berbagai Kalangan
Lubung Pangan yang tujuannya membagikan sembako atau bahan makanan, tidak pula menekankan pada kuantitas. Dapur Darurat pun dikelola para relawan Joli Jolan dengan modal kapital yang kecil.
“Ada bakul nasi yang ngasih sepuluh makanan, sepuluh bungkus gitu. Ada juga anak-anak muda yang ikut nyumbang kayak es jus dan enggak kita minta,” tutur Chrisna.
Bala bantuan nyatanya tidak hanya datang dari orang-orang dengan ekonomi tinggi. Melainkan datang pula dari solidaritas masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah.
“Ada yang datang ke sini mau nganter hanya kecap sebotol sama gula punyanya satu kilo. Ini lo solidarity masyarakat bawah. Ya dengan yang dikumpul dikit-dikit ini akhirnya bisa kita jadikan sembako,” pungkas Septina.
Begitu juga untuk membagikan makanan siap santap, tidak hanya fokus pada satu wilayah saja mengingat pandemi juga masih menggila saat bulan Ramadan tahun lalu.
Mengirim menu buka puasa seolah menjadi kobaran semangat para relawan Joli Jolan untuk selalu mengepulkan asap di Dapur Daruratnya.
“Kita berjejaring dan saling support. Biasanya dapat request dari yang pada di-lockdown. Jumlahnya ratusan, kalau dikalkulasi ya sudah ribuan,” jelas Septina
Donasi Uang Sudah Ditutup
Meski pandemi belum benar-benar berakhir, tetapi donasi uang untuk Lumbung Pangan dan Dapur Darurat sudah ditutup. Terutama setelah mamasuki era New Normal dan perekonomian sudah mulai membaik walaupun belum sepenuhnya.
“Cuma kalau ada yang nyumbang sembako tetap kita terima. Nanti kita salurkan ke yang membutuhkan, tetap kita kelola,” jelas Chrisna.
Menurut penjelasan Chrisna, penyalurannya memang tidak sebanyak yang ada di lumbung, tetapi sejauh ini tetap ada yang memberi sembako, beras, dan gula. Sementara untuk nasi atau makanan siap santap, sekarang diadakan setiap hari Jumat dan Sabtu.
“Memang bukan lagi Lumbung Pangan, tetapi konsepnya sama. Lumbung itukan berkelanjutan, karena ya kita punya Food Not Bombs,” tambahnya.
Gerakan Food Not Bombs (FNB) dicetuskan oleh kalangan anarko di San Fransisco, Amerika Serikat. Disebut sebagai gerakan berbagi makanan dengan sukarela yang berlandaskan rasa kemanusiaan dan tolong menolong. Tujuan utamanya adalah menentang keras isu kemiskinan dan kelaparan.
Advertisement