Londonistan: Perjalanan Kontroversial London Menjadi Pusat Islam di Eropa

Pelajari fenomena "Londonistan" - transformasi London menjadi pusat Islam di Eropa. Simak sejarah, perkembangan, dan dampaknya terhadap masyarakat Inggris serta ketegangan sosial yang muncul.

oleh Mabruri Pudyas Salim diperbarui 07 Agu 2024, 20:15 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2024, 20:15 WIB
Dekorasi Lampu Ramadan London
Dekorasi lampu Ramadan disambut baik oleh komunitas Muslim di London. (Dok. Instagram/@holbid/https://www.instagram.com/p/CqGMdBhuTYc/Dyra Daniera)

Liputan6.com, Jakarta Kerusuhan sosial terburuk dalam 13 tahun terakhir melanda Inggris sejak pekan lalu. Perusuh menyerang hotel-hotel yang menampung para pencari suaka dan komunitas Muslim, menyebabkan kerusakan yang meluas, serta bentrok dengan polisi. Kejadian ini menambah daftar panjang ketegangan sosial yang telah lama menyelimuti Inggris.

Fenomena ini seolah menjadi puncak gunung es dari perubahan demografis dan sosial yang telah berlangsung selama beberapa dekade di Inggris. Salah satu aspek yang paling menonjol adalah pertumbuhan pesat komunitas Muslim di negeri ini, terutama di ibukota London. Perubahan ini bahkan melahirkan istilah kontroversial "Londonistan" - sebuah julukan yang menggambarkan transformasi London menjadi salah satu pusat Islam terbesar di Eropa.

Istilah "Londonistan" pertama kali dipopulerkan oleh jurnalis terkemuka Melanie Phillips melalui bukunya yang terbit pada tahun 2006. Buku ini menjadi pemantik perdebatan publik tentang identitas kota London dan dampak dari kebijakan multikulturalisme yang diterapkan pemerintah Inggris. Namun, sebenarnya akar dari fenomena ini bisa ditelusuri jauh ke belakang, bahkan sebelum istilah "Londonistan" itu sendiri muncul.

Untuk memahami fenomena ini, simak penjelasan selengkapnya berikut ini seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Rabu (7/8/2024).

Sejarah dan Asal-usul "Londonistan"

Untuk memahami fenomena "Londonistan", kita perlu melihat sejarah imigrasi Muslim ke Inggris yang dimulai sejak pertengahan abad ke-20. Gelombang besar imigran Muslim datang ke Inggris pasca Perang Dunia II, terutama dari negara-negara bekas jajahan Inggris seperti Pakistan, Bangladesh, dan India.

Gelombang Imigrasi dan Kebijakan Multikulturalisme

Pada awalnya, kebanyakan imigran Muslim datang sebagai pekerja untuk membantu membangun kembali ekonomi Inggris yang hancur akibat perang. Namun, seiring waktu, banyak yang memutuskan untuk menetap dan membawa keluarga mereka. Pemerintah Inggris, yang saat itu menganut kebijakan multikulturalisme, mendorong para imigran untuk mempertahankan identitas budaya mereka.

Kebijakan ini awalnya dianggap sebagai cara progresif untuk mengelola keragaman, namun belakangan menuai kritik karena dianggap malah menciptakan segregasi dan menghambat integrasi. Komunitas-komunitas Muslim pun tumbuh pesat di berbagai kota besar Inggris, terutama di London.

London sebagai Tempat Berlindung Aktivis Islam

Selain imigran pekerja, London juga menjadi tempat berlindung bagi banyak aktivis dan tokoh oposisi dari negara-negara Muslim. Kebijakan suaka yang relatif terbuka membuat London menjadi rumah bagi berbagai kelompok Islamis yang dilarang di negara asal mereka. Beberapa di antaranya bahkan dituduh memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok ekstremis.

Situasi ini mencapai puncaknya pada dekade 1990-an, ketika London dianggap sebagai salah satu pusat aktivisme Islam global. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal julukan "Londonistan" yang dicetuskan oleh intelijen Prancis kala itu.

Perkembangan Islam di London

Suhu Panas Inggris
Ilustrasi kota London. (Sumber foto: Pexels.com)

Pertumbuhan komunitas Muslim di London tidak hanya terlihat dari jumlah penduduk, tetapi juga dari perubahan lanskap kota.

Pertumbuhan Jumlah Masjid

Sejak tahun 2001 hingga 2016, tercatat ada 423 masjid baru yang didirikan di London. Di sisi lain, sekitar 500 gereja ditutup dalam periode yang sama. Beberapa gereja bahkan diubah menjadi masjid, seperti The Hyatt United Church yang dibeli oleh umat Islam dari Mesir dan diubah menjadi masjid, atau gereja Santo Peter yang kini menjadi masjid Madina.

Perubahan Demografi

Riset dari NatCen Social Research Institute menunjukkan bahwa jumlah umat Anglican di Inggris mengalami penurunan menjadi sekitar 1,7 juta pada rentang waktu 2012-2014. Sementara itu, jumlah umat Islam meningkat menjadi satu juta jiwa. Di beberapa kota besar, persentase populasi Muslim cukup signifikan: Manchester 15,8%, Birmingham 15,8%, bahkan di Bradford mencapai 24,7%.

Pengaruh Politik dan Sosial

Perkembangan ini juga berdampak pada ranah politik dan sosial. Pada tahun 2016, untuk pertama kalinya dalam sejarah, London memiliki walikota Muslim, Sadiq Khan. Ini menjadi simbol betapa jauh pengaruh Islam telah merasuk ke dalam struktur masyarakat Inggris.

Kontroversi dan Tantangan "Londonistan"

Oxford Street, London
Pembeli memainkan ponsel sambil berjalan membawa kantong belanjaan di Oxford Street, London pada Sabtu (22/12). Menjelang natal, Oxford Street yang merupakan salah satu pusat perbelanjaan di jantung Kota London keramaiannya meningkat. (NIKLAS HALLE'N/AFP)

Fenomena "Londonistan" tidak lepas dari kontroversi dan tantangan yang menyertainya.

Islamophobia dan Ketegangan Sosial

Pertumbuhan pesat komunitas Muslim di London memicu kekhawatiran di kalangan tertentu masyarakat Inggris. Islamophobia menjadi masalah yang semakin mengemuka, terutama pasca serangan teroris 11 September 2001 dan bom London 2005. Ketegangan sosial antara komunitas Muslim dan non-Muslim pun meningkat.

Radikalisasi dan Ancaman Terorisme

Salah satu kekhawatiran terbesar terkait "Londonistan" adalah potensi radikalisasi. Beberapa kasus terorisme di Inggris melibatkan pelaku yang diradikalisasi di London. Kasus Umar Farouk Abdulmutallab, yang mencoba meledakkan pesawat pada Desember 2009, menjadi contoh bagaimana London bisa menjadi tempat radikalisasi meski pelaku akhirnya melakukan aksinya di tempat lain.

Tantangan Integrasi

Kebijakan multikulturalisme yang diterapkan Inggris mendapat kritik karena dianggap gagal mendorong integrasi. Banyak komunitas Muslim yang hidup terpisah dari masyarakat umum, menciptakan apa yang disebut sebagai "masyarakat paralel". Ini menimbulkan tantangan tersendiri dalam upaya membangun kohesi sosial.

Respon Pemerintah dan Masyarakat

Aktivis pro-Palestina melakukan aksi dukungan di kota London, Inggris pada 15 Mei 2021.
Aktivis pro-Palestina melakukan aksi dukungan di kota London, Inggris pada 15 Mei 2021. (Dok: AFP)

Menghadapi tantangan-tantangan ini, pemerintah Inggris dan masyarakat sipil telah melakukan berbagai upaya.

Perubahan Kebijakan

Pemerintah Inggris mulai meninjau ulang kebijakan multikulturalisme dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong integrasi yang lebih baik. Ini termasuk pengetatan aturan imigrasi dan kebijakan kontra-terorisme yang lebih ketat.

Program Deradikalisasi

Berbagai program deradikalisasi dijalankan untuk mencegah penyebaran ideologi ekstremis. Ini termasuk program Prevent yang kontroversial, yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mencegah radikalisasi sejak dini.

Dialog Antar-Komunitas

Berbagai inisiatif dialog antar-agama dan antar-komunitas dijalankan untuk membangun pemahaman dan mengurangi ketegangan sosial. Masyarakat sipil, termasuk komunitas Muslim moderat, juga berperan aktif dalam upaya-upaya ini.

Masa Depan "Londonistan"

Elizabeth Line Akhirnya Melayani Akses Kereta Api Ke Pusat Kota London
Penumpang tiba di stasiun kereta bawah tanah Canary Wharf Elizabeth Line yang baru dibuka di London Timur, Inggris, Senin (7/11/2022). Elizabeth Line mulai berjalan pada bulan Mei ketika dibuka oleh Ratu Elizabeth. (Daniel LEAL / AFP)

Fenomena "Londonistan" terus berkembang dan berubah seiring waktu. Beberapa pengamat berpendapat bahwa istilah ini sudah tidak lagi relevan, mengingat perubahan-perubahan yang telah terjadi.

Transformasi Generasi Baru

Generasi baru Muslim Inggris, yang lahir dan besar di Inggris, memiliki perspektif yang berbeda dari generasi sebelumnya. Banyak yang berhasil mengintegrasikan identitas Muslim dan Inggris mereka, menciptakan bentuk baru "Islam Inggris".

Tantangan Baru di Era Digital

Perkembangan teknologi dan media sosial membawa tantangan baru. Radikalisasi online menjadi ancaman yang semakin serius, menggantikan model rekrutmen langsung yang dulu menjadi ciri khas "Londonistan".

Potensi Positif Keragaman

Di tengah berbagai tantangan, keragaman London juga menyimpan potensi positif. Kota ini tetap menjadi salah satu pusat ekonomi dan budaya global, dengan komunitas Muslim memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai bidang.

"Londonistan" adalah fenomena kompleks yang mencerminkan perubahan demografis, sosial, dan politik yang terjadi di London dan Inggris secara umum. Meski istilah ini sering digunakan dengan nada negatif, realitasnya jauh lebih beragam dan kompleks.

Tantangan-tantangan yang muncul dari fenomena ini - mulai dari integrasi, radikalisasi, hingga ketegangan sosial - memang nyata dan perlu ditangani dengan serius. Namun, di sisi lain, keragaman yang dibawa oleh komunitas Muslim juga memperkaya kota London dalam berbagai aspek.

Masa depan "Londonistan" akan bergantung pada bagaimana pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas Muslim sendiri mengelola tantangan-tantangan ini. Dibutuhkan pendekatan yang seimbang - menjaga keamanan dan kohesi sosial, sambil tetap menghargai keragaman dan kebebasan beragama yang menjadi ciri khas masyarakat demokratis.

Terlepas dari kontroversi yang melingkupinya, fenomena "Londonistan" telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas modern kota London. Bagaimana fenomena ini akan terus berkembang di masa depan akan menjadi pelajaran berharga tidak hanya bagi Inggris, tetapi juga bagi kota-kota multikultural lainnya di seluruh dunia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya