Liputan6.com, Jakarta Istilah “rakyat jelata” belakangan ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat, terutama setelah diucapkan oleh Juru Bicara Kepresidenan Adita Irawati. Pernyataan tersebut menuai polemik, dengan banyak pihak mempertanyakan sensitivitas penggunaan istilah ini dalam konteks komunikasi publik.
Secara linguistik, istilah “rakyat jelata” sebenarnya memiliki makna yang netral. Namun, dalam konteks sosial dan budaya, kata ini sering kali dianggap merendahkan karena konotasinya yang cenderung mengacu pada lapisan masyarakat bawah.
Baca Juga
Perbincangan seputar istilah ini juga membuka diskusi lebih luas mengenai bagaimana bahasa mencerminkan dan membentuk persepsi publik. Lalu, apa sebenarnya arti dari “rakyat jelata,” dan mengapa kata ini begitu kontroversial?
Advertisement
Makna dan Asal-usul Rakyat Jelata
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “rakyat jelata” diartikan sebagai rakyat biasa atau golongan masyarakat dari lapisan bawah. Sementara itu, Wiktionary menjelaskan bahwa istilah ini merujuk pada orang-orang yang tidak memiliki status atau kedudukan tinggi dalam masyarakat.
Dalam konteks sejarah, istilah ini sering digunakan untuk membedakan antara golongan bangsawan dan masyarakat umum. Namun, seiring perkembangan zaman, penggunaannya berubah menjadi lebih pejoratif, terutama jika digunakan dalam situasi yang sensitif.
Advertisement
Penggunaan dalam Sejarah dan Budaya
Secara historis, istilah “rakyat jelata” sudah digunakan sejak era kerajaan untuk menggambarkan masyarakat yang tidak memiliki kedudukan istimewa. Dalam budaya Indonesia, kata ini sering muncul dalam konteks narasi rakyat kecil yang berjuang menghadapi ketidakadilan.
Namun, istilah ini jarang digunakan dalam komunikasi formal modern karena konotasinya yang bisa dianggap merendahkan. Pilihan kata seperti “masyarakat umum” atau “warga biasa” kini lebih banyak digunakan dalam konteks yang serupa.
Mengapa Istilah Ini Viral?
Kontroversi terkait “rakyat jelata” mencuat setelah Juru Bicara Kepresidenan Adita Irawati menggunakan istilah ini dalam pernyataan resminya. Banyak pihak menganggap penggunaan istilah ini tidak sesuai dengan etika komunikasi publik, terutama karena bisa menyinggung perasaan masyarakat yang merasa direndahkan.
Viralnya istilah ini juga memicu diskusi di media sosial. Beberapa pengguna media sosial membela penggunaan istilah ini sebagai bagian dari bahasa formal, sementara yang lain menilai bahwa pejabat publik seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih kata.
Advertisement
Respons Publik dan Klarifikasi
Setelah menuai kritik, Adita Irawati memberikan klarifikasi dan meminta maaf atas pernyataannya. Ia menegaskan bahwa tidak ada niat untuk merendahkan masyarakat, namun ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam menggunakan istilah-istilah tertentu di masa mendatang.
Respons ini mendapat tanggapan beragam. Sebagian masyarakat menghargai permintaan maaf tersebut, namun ada pula yang menganggap bahwa kasus ini menunjukkan perlunya pelatihan komunikasi lebih lanjut bagi pejabat publik.
Penggunaan Istilah di Luar Indonesia
Di beberapa negara lain, istilah serupa dengan “rakyat jelata” juga digunakan, seperti “commoner” dalam bahasa Inggris. Istilah ini secara harfiah berarti rakyat biasa dan memiliki makna yang serupa dengan konteks di Indonesia.
Namun, penggunaan istilah ini di negara-negara Barat lebih netral dan tidak memiliki konotasi merendahkan. Ini menunjukkan bagaimana konteks budaya dapat memengaruhi persepsi terhadap sebuah kata atau frasa.
Dalam konteks komunikasi publik, para ahli menyarankan penggunaan istilah yang lebih inklusif dan netral, seperti “masyarakat umum” atau “warga negara.” Pemilihan kata yang lebih sensitif dapat membantu menghindari kesalahpahaman dan menjaga hubungan baik antara pemerintah dan masyarakat.
Advertisement
1. Apa arti sebenarnya dari rakyat jelata?
Menurut KBBI, “rakyat jelata” berarti rakyat biasa atau masyarakat dari lapisan bawah. Istilah ini secara historis digunakan untuk membedakan antara bangsawan dan masyarakat umum.
2. Mengapa istilah rakyat jelata menjadi kontroversial?
Kontroversi muncul karena istilah ini dianggap memiliki konotasi yang merendahkan, terutama jika digunakan dalam konteks komunikasi publik yang formal.
Advertisement
3. Bagaimana penggunaan istilah ini di negara lain?
Di negara-negara Barat, istilah serupa seperti “commoner” memiliki makna netral dan tidak dianggap merendahkan, berbeda dengan persepsi di Indonesia.
4. Apa istilah pengganti yang lebih baik untuk rakyat jelata?
Istilah seperti “masyarakat umum,” “warga biasa,” atau “rakyat biasa” dianggap lebih netral dan sensitif untuk digunakan dalam komunikasi formal.
Advertisement