Liputan6.com, Jakarta Scroll media sosial, nongkrong di warung kopi, dan diskusi tentang fashion hijab terkini. Begitulah keseharian yang masih melekat pada empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Mereka sekilas tak berbeda dari mahasiswa generasi Z lainnya. Di sela obrolan dengan Liputan6.com Selasa (7/1/2025) tentang dunia selebgram, mereka menyimpan mimpi besar untuk Indonesia yang lebih demokratis.
Baca Juga
Di satu ruang di Gedung Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, empat mahasiswa penggugat Presidential Threshold menceritakan perjalanan pengajuan judicial review. Mereka adalah Tsalis Khoirul Fatna (Nana), Rizki Maulana Syafei (Arsel), Faisal Nasirul Haq, dan Enika Maya Oktavia. Sayangnya, pada kesempatan ini, hanya tiga dari empat pemohon yang dapat kami temui, sedangkan Enika Maya Oktavia tidak dapat bergabung karena beberapa hal.
Advertisement
Semuanya bermula dari sebuah kompetisi debat nasional yang diselenggarakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 2023. Mereka yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Kelompok Pemerhati Konstitusi (KPK) UIN Sunan Kalijaga berhasil menjadi juara.
Selama sebelas bulan berikutnya, keempat mahasiswa angkatan 2021 ini menjalani perjuangan panjang mengajukan dan mengawal judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Tanpa pengacara, dan hanya berbekal bantuan alumni KPK, mereka menjadi pemohon ke-33 yang akhirnya berhasil mengubah ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang selama ini tak tergoyahkan.
Ketika putusan akhirnya dibacakan, reaksi mereka beragam namun sama-sama penuh keharuan. "Waktu itu saya bersidang dari luar Jogja, di Jawa Timur bersama keluarga besar. Saya sangat terkejut dan hanya bisa bersyukur kepada Allah," ungkap Faisal.
Empat Anak Muda, Satu Mimpi Besar
Mereka datang dari latar belakang yang berbeda-beda, namun dipersatukan oleh mimpi yang sama di Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Rizki Maulana Syafei, mahasiswa asal Tasikmalaya yang sedang fokus menyelesaikan skripsi, membawa inspirasi dari mendiang ayahnya yang pernah kuliah di jurusan hukum namun tak sempat menyelesaikannya. Faisal Nasirul Haq, yang tinggal di Kasihan Bantul, tumbuh dalam keluarga dengan latar belakang fiqih dan bahasa Arab.
Sementara Tsalis Khoirul Fatna (Nana) dari Magelang membawa perspektif segar dengan kekagumannya pada aktivis muda seperti Greta Thunberg. Di balik perjuangan konstitusional mereka, tersimpan kegemaran-kegemaran yang khas anak muda.
"Waktu itu masih ingat sekali, setelah sidang kedua karena sidang perbaikan permohonan, kami benar-benar terpisah-pisah kemudian menyesuaikan juga dengan jadwal KKN," kenang Nana, menggambarkan bagaimana mereka menyeimbangkan perjuangan dengan kewajiban kuliah.
Faisal, yang mengaku hobi membaca The Adventures of Tintin sejak kecil, melihat perjuangan mereka sebagai bentuk pengabdian yang lebih besar. "Saya dinasihati oleh ibu saya bahwa apa yang kamu lakukan ini akan berdampak pada masyarakat, bangsa, dan tentu jika digabungkan hasilnya akan pesat," ungkapnya, menjelaskan motivasi di balik keterlibatannya.
Sementara Rizki memiliki cara unik memadukan aktivisme dengan gaya hidup anak muda. "Kadang ketika kita berbicara terkait hal-hal diskusi yang terkait isu hukum, isu politik, kadang kita juga kayak misalnya kemarin tuh ada kan tren anak muda itu yang berpakaian skena, kemudian kita mencoba di dalam diskusi itu, gimana sih skena mazhab Islam," ceritanya dengan antusias, menunjukkan bagaimana mereka mengkontekstualisasi isu-isu serius dengan cara yang relevan bagi generasi mereka.
Di luar aktivitas akademik, mereka punya kegemaran masing-masing yang mencerminkan keberagaman minat generasi Z. Nana lebih suka mendengarkan podcast dan membaca novel seperti Totto-chan yang sudah dibacanya berkali-kali. Rizki gemar menghabiskan waktu di warung kopi, berdiskusi sambil mengerjakan call paper. Faisal senang mendalami buku-buku perjuangan, mulai dari karya Marx hingga kisah-kisah investigasi.
Advertisement
Perjuangan di Balik Kesederhanaan
Di balik pencapaian bersejarah mereka, tersimpan kisah perjuangan finansial yang jarang terungkap ke publik. Rizki, yang kehilangan ayahnya di usia belasan tahun, harus berjuang ekstra keras menyeimbangkan kuliah dengan mencari nafkah.
"Saya sempat terputus beberapa biaya dan mengharuskan saya kerja kuliah sambil kerja dengan membuka kedai dimsum pada waktu semester 3, 4, 5," ungkapnya. Nominal uang saku yang ia terima pun tidak menentu, kadang Rp300.000, tergantung kondisi keluarga.
Kehidupan Faisal tidak kalah sederhana dengan uang saku Rp500.000 per bulan. Meski begitu, ia tetap bersyukur dan fokus pada perjuangannya. Sementara Nana mengandalkan kiriman Rp1,5 juta per bulan untuk memenuhi semua kebutuhan.
"Itu udah semuanya mulai dari kos, kemudian bensin, makan. Ya kalau misal ada pengen apa itu jadi itu sih udah semuanya," jelasnya dengan terbuka.
Keterbatasan finansial tidak menghalangi mereka mencari cara untuk tetap produktif. Rizki, misalnya, memanfaatkan berbagai kesempatan untuk menambah pemasukan. "Alhamdulillah saya selalu bisa mengikuti call paper, jadi ada beberapa uang dari prestasi-prestasi yang bisa saya gunakan. Saya juga sering buka jasa," ceritanya, menggambarkan bagaimana ia bertahan.
Yang menarik, dukungan keluarga mereka lebih banyak berbentuk doa dan semangat dibanding materi. "Orang tua saya kan backgroundnya Nahdliyin," cerita Nana. "Jadi selalu kalaupun ada anak-anaknya yang lagi sidang, maksudnya entah itu ujian atau sidang apapun, pasti langsung di-Fatihah-in, pokoknya dikirim Al-Fatihah,” tuturnya. Dukungan spiritual ini menjadi kekuatan tersendiri bagi mereka.
Melampaui Stereotipe Gen Z
Media sosial memang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. "Mungkin kalau untuk sekarang ya scroll-scroll juga iya," kata Nana mengakui dengan jujur. "Tapi mungkin gimana caranya kita scroll itu tetap dapat benefit dapat ilmu. Jadi mungkin kalau aku lebih sering dengerin podcast daripada membaca buku." Pengakuan yang menunjukkan bagaimana generasi Z bisa memanfaatkan teknologi untuk pengembangan diri.
Di tengah stereotipe tentang Gen Z yang dianggap apatis dan superfisial, mereka justru menunjukkan kedalaman berpikir yang mengagumkan. "Kami harus mawas diri juga, hati-hati, karena kami tidak terafiliasi dari apapun. Kami berdiri sendiri sebagai pemohon perjuangan akademik dan advokasi konstitusional," tegas Rizki, menjelaskan bagaimana mereka menjaga integritas perjuangan mereka.
Faisal, yang mengidolakan hakim Artidjo Alkotsar, memiliki pandangan yang dalam tentang hukum yang melampaui usianya. "Saya ingin dikenang sebagai pejuang dan juga seorang intelektual yang paripurna," ungkapnya, menunjukkan visi yang jauh dari stereotipe Gen Z yang sering dianggap hanya memikirkan kehidupan instant.
Nana, yang terinspirasi oleh aktivis muda global Greta Thunberg, memiliki visi untuk membuat perubahan yang lebih luas. "Karena mungkin saya tertampar sendiri juga ya, gara-gara orang tua saya saja belum tahu apa itu presidential threshold, mungkin nanti ke depannya mungkin saya akan lebih menyuarakan agar teman-teman dan juga lingkungan sekitar saya lebih melek hukum dan juga lebih melek politik."
Perubahan yang mereka bawa tidak hanya pada level konstitusional, tapi juga mengubah persepsi tentang kapasitas generasi muda. "Kalau kekhawatiran akan kebanyakan calon presiden, di putusan Mahkamah sendiri sudah ada rambu-rambu bagaimana caranya nanti untuk DPR atau pembuat undang-undang dalam menghapuskan presidential threshold agar tidak terjadi problematika lain," jelas Nana, menunjukkan pemahaman mendalam mereka tentang implikasi putusan yang mereka perjuangkan.
Advertisement
Arah Baru untuk Demokrasi Indonesia
Bagi mereka, penghapusan presidential threshold bukan sekadar perubahan teknis dalam sistem pemilu, tapi langkah awal menuju demokrasi yang lebih inklusif. "Harapannya tentunya nantinya bakal banyak calon presiden dan wakil presiden yang lebih beragam, tidak hanya itu-itu saja," tutur Rizki kepada Liputan6.com.
Lebih lanjut Rizki menjelaskan "Kemudian nanti kita juga akan mengenal bahwasanya negara Indonesia itu merupakan negara majemuk dari berbagai suku, ras, agama."
Nana memiliki visi yang lebih spesifik tentang kepemimpinan masa depan. "Kalau sekarang mungkin belum ada capres cawapres yang perempuan, apalagi yang sekarang juga belum ada capres cawapres yang sensitif dengan isu-isu, seperti isu lingkungan, kesetaraan gender," ujarnya. "Itu menurut kami pribadi masih belum banyak yang pertama di situ."
Faisal melihat perubahan ini sebagai pintu terbuka bagi regenerasi kepemimpinan nasional. "Yang jelas dan pasti adalah ini membuka seluas-luasnya bagi putra putri terbaik bangsa kita, untuk lebih aktif berpartisipasi dalam pemilihan Presiden dan wakil presiden," tegasnya dengan optimisme.
Perubahan yang mereka perjuangkan juga diharapkan bisa mengubah cara partai politik beroperasi. "Nantinya partai politik tidak akan berfokus terhadap hal-hal yang administratif," Rizki menambahkan.
"Justru nanti akan menyiapkan kader-kadernya karena dalam fungsi partai politik itu ada kaderisasi. Nanti partai politik akan memikirkan ke hal-hal yang substansi bagaimana nanti kadernya bisa menjadi calon yang lebih punya kapabilitas, bisa menjadi aspirasi masyarakat dari berbagai elemen."
Kekhawatiran tentang banyaknya calon presiden yang mungkin muncul, menurut Nana, sudah diantisipasi dalam putusan MK. "Di putusan MK sendiri sudah ada rambu-rambu gimana caranya nanti untuk DPR atau pembuat undang-undang dalam menghapuskan presidential threshold, agar tidak terjadi problematika-problematika lain."
"Pelajaran penting dari proses ini," Rizki merefleksikan, "kami berhasil mengubah peta perpolitikan Indonesia yang selama ini diinginkan rakyat. Ini juga membuktikan bahwa wakil rakyat di dewan ternyata belum mampu memenuhi keinginan rakyat." Sebuah pencapaian yang membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari inisiatif anak-anak muda yang berani bermimpi.
Inspirasi untuk Generasi Muda
"Lakukan hal baik jangan menunggu kalian menjadi baik," pesan Nana untuk generasi muda. Faisal mengajak untuk peduli pada kondisi masyarakat dan kebangsaan. Rizki menekankan pentingnya ilmu dan pengetahuan sebagai fondasi perubahan.
Kisah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga penggugat aturan ambang batas pencalonan presiden ini membuktikan bahwa anak muda biasa, dengan segala keterbatasan dan karakteristik generasinya, bisa membuat perubahan besar untuk negeri. Dari obrolan santai di warung kopi hingga sidang-sidang serius di Mahkamah Konstitusi, mereka membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal-hal kecil yang dilakukan dengan kesungguhan dan keberanian untuk bermimpi besar.
Advertisement