Liputan6.com, Jakarta Pemberian uang THR Lebaran telah menjadi tradisi yang mengakar dalam masyarakat Indonesia, tidak hanya dalam konteks ketenagakerjaan tetapi juga dalam hubungan kekeluargaan dan sosial. Setiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri, tradisi memberikan uang THR Lebaran menjadi momen yang ditunggu-tunggu, terutama oleh anak-anak dan keluarga.
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Sejarah pemberian uang THR Lebaran di Indonesia memiliki perjalanan panjang yang dimulai sejak tahun 1951, ketika pertama kali diperkenalkan sebagai tunjangan untuk Pamong Pradja (PNS). Perkembangan tradisi uang THR Lebaran kemudian meluas tidak hanya sebagai hak pekerja, tetapi juga menjadi bagian dari budaya berbagi kebahagiaan saat Lebaran.
Dalam konteks modern, uang THR Lebaran memiliki dua dimensi: sebagai kewajiban perusahaan kepada karyawan yang diatur dalam undang-undang, dan sebagai tradisi sosial dalam bentuk pemberian kepada keluarga dan kerabat. Kedua dimensi ini menjadikan uang THR Lebaran sebagai fenomena unik yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan religious masyarakat Indonesia.
Lebih jelasnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber sejarah dan hukum dari uang THR Lebaran, pada Jumat (31/1).
Sejarah Perkembangan THR di Indonesia
Tradisi pemberian THR di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Dimulai pada tahun 1951, ketika Perdana Menteri Soekiman memberikan tunjangan berupa uang persekot kepada Pamong Pradja. Inisiatif ini awalnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai pemerintah, dengan sistem pengembalian melalui pemotongan gaji pada bulan-bulan berikutnya.
Sebuah momentum penting terjadi pada tahun 1952, ketika kaum pekerja dan buruh mengajukan protes atas kebijakan yang hanya menguntungkan Pamong Pradja. Tuntutan mereka untuk mendapatkan perlakuan yang sama akhirnya membuahkan hasil pada tahun 1954, dengan dikeluarkannya surat edaran tentang Hadiah Lebaran oleh Menteri Perburuhan Indonesia.
Perkembangan signifikan terjadi pada tahun 1961, ketika surat edaran yang awalnya bersifat himbauan berubah menjadi peraturan menteri yang mewajibkan perusahaan memberikan Hadiah Lebaran kepada pekerja dengan masa kerja minimal 3 bulan. Istilah "Hadiah Lebaran" kemudian resmi berubah menjadi "Tunjangan Hari Raya" atau THR pada tahun 1994 melalui peraturan Menteri Ketenagakerjaan.
Pembaruan kebijakan terakhir terjadi pada tahun 2016 melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang mengatur pemberian THR dapat diberikan kepada pekerja dengan minimal masa kerja 1 bulan yang dihitung secara proporsional. Peraturan ini semakin memperkuat posisi THR sebagai hak pekerja yang dilindungi undang-undang.
Advertisement
Hukum dan Pandangan Islam tentang THR Lebaran
Dalam perspektif Islam, pemberian THR dapat dikategorikan dalam beberapa konteks hukum yang berbeda tergantung pada situasi dan kondisinya. Sebagai tunjangan dari perusahaan, THR masuk dalam kategori hak pekerja yang wajib dipenuhi sesuai kesepakatan kerja dan peraturan yang berlaku.
Ketika berbicara tentang tradisi memberi "THR" atau angpau Lebaran dalam konteks sosial, hal ini masuk dalam kategori hadiah atau hibah sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam Minhajut Thalibin. Pemberian ini berbeda dengan sedekah karena tujuannya adalah sebagai bentuk penghargaan dan berbagi kebahagiaan, bukan karena faktor kebutuhan penerima.
Mengenai praktik meminta THR, Islam memberikan batasan yang jelas. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, meminta-minta hanya diperbolehkan untuk tiga golongan: orang yang menanggung hutang orang lain, orang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, dan orang yang tertimpa kesengsaraan hidup yang diakui oleh tiga orang berakal dari kaumnya.
Status Kepemilikan THR dalam Konteks Keluarga
Terkait status kepemilikan THR atau angpau Lebaran yang diterima anak-anak, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mengutip penjelasan dari Imam Abu Jafar At-Thahawi dalam Syarah Ma'anil Atsar, sebagian ulama berpendapat bahwa harta hasil usaha anak adalah milik ayahnya, berdasarkan hadits "Kau dan hartamu adalah milik ayahmu."
Namun, kelompok ulama lainnya memiliki pandangan berbeda dengan menyatakan bahwa hasil usaha anak adalah miliknya sendiri. Mereka berpendapat bahwa hadits tersebut tidak seharusnya diartikan sebagai pemberian status kepemilikan hasil usaha anak kepada ayahnya secara mutlak.
Etika dan Adab Terkait THR Lebaran
Dalam tradisi pemberian dan penerimaan THR Lebaran, terdapat sejumlah etika dan adab yang perlu diperhatikan untuk menjaga nilai-nilai keislaman dan sosial. Pemahaman dan penerapan etika ini penting untuk memastikan bahwa praktik pemberian THR tetap sesuai dengan tuntunan agama dan norma sosial yang berlaku.
Etika Bagi Pemberi THR
Pemberian THR harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa prinsip penting:
- Memberikan dengan ikhlas dan niat yang tulus untuk berbagi kebahagiaan di hari raya
- Tidak memamerkan atau mengungkit-ungkit pemberian yang telah diberikan
- Menyesuaikan nominal pemberian dengan kemampuan finansial masing-masing
- Mendahulukan keluarga terdekat sebelum memberi kepada yang lain
- Tidak memberikan dengan tujuan riya' atau mencari pujian
Etika Bagi Penerima THR
Penerima THR juga perlu memperhatikan adab-adab berikut:
- Menerima pemberian dengan rasa syukur dan tidak membanding-bandingkan dengan pemberian orang lain
- Tidak menuntut atau memaksa seseorang untuk memberikan THR
- Mendoakan kebaikan untuk pemberi sebagai bentuk terima kasih
- Menggunakan pemberian tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat
- Tidak merasa rendah diri atau malu ketika menerima THR
Etika Dalam Konteks Keluarga
Dalam lingkup keluarga, pemberian THR memiliki dimensi khusus:
- Orang tua dapat mengajarkan anak-anak untuk tidak terlalu mengharapkan atau menuntut THR
- Mengajarkan anak-anak untuk berterima kasih dan mendoakan pemberi THR
- Memahami bahwa nominal THR yang diterima bisa berbeda-beda
- Mengelola THR yang diterima anak dengan bijak, misalnya mengajarkan untuk menabung sebagian
Etika Dalam Konteks Sosial
Dalam konteks sosial yang lebih luas, beberapa hal yang perlu diperhatikan:
- Tidak membedakan status sosial dalam memberi THR
- Menjaga privasi dan tidak membicarakan nominal THR yang diberikan atau diterima
- Memahami bahwa THR bukan kewajiban sosial melainkan bentuk kebaikan hati
- Menghindari persaingan atau gengsi dalam pemberian THR
- Mempertimbangkan prioritas pemberian THR sesuai dengan kedekatan hubungan
Dengan memperhatikan etika dan adab tersebut, tradisi pemberian THR Lebaran dapat menjadi sarana untuk mempererat silaturahmi dan berbagi kebahagiaan tanpa menimbulkan dampak negatif dalam hubungan sosial dan keluarga.
Advertisement