Liputan6.com, Jakarta Tradisi lebaran syawalan merupakan salah satu warisan budaya yang tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai bagian integral dari kemeriahan Lebaran, tradisi lebaran syawalan telah menjadi momen sakral yang menggabungkan nilai-nilai keagamaan dengan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Baca Juga
Advertisement
Dalam pelaksanaannya, tradisi lebaran syawalan memiliki keunikan tersendiri di setiap daerah, namun tetap memegang erat esensi utamanya sebagai wadah silaturahmi dan momen saling memaafkan. Di beberapa wilayah, tradisi lebaran syawalan dirayakan dengan jamuan makan kupat luar, sementara di daerah lain seperti Pekalongan, perayaan ditandai dengan hadirnya lopis raksasa yang menjadi simbol kebersamaan dan keberkahan.
Memasuki tahun 2024, tradisi lebaran syawalan tetap menjadi momentum yang dinantikan masyarakat sebagai sarana mempererat tali persaudaraan dan membersihkan diri dari segala kesalahan. Kegiatan ini biasanya berlangsung selama seminggu penuh setelah Salat Idul Fitri hingga Lebaran Ketupat, menjadikannya rangkaian panjang yang penuh makna dalam kalender sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia.
Lebih jelasnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber informasi lengkapnya, pada Jumat (14/2).
Makna dan Filosofi Tradisi Syawalan dalam Islam
Tradisi syawalan memiliki makna yang mendalam dalam ajaran Islam dan kehidupan sosial masyarakat. Secara harfiah, syawalan merupakan momentum maaf-memaafkan yang dilaksanakan pada masa Lebaran, namun filosofinya jauh lebih dalam dari sekadar sebuah ritual tahunan.
Dalam perspektif Islam, syawalan menjadi manifestasi dari ajaran tentang pentingnya saling memaafkan dan mempererat tali silaturahmi. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dzar al-Ghifari RA:
عَنْ أَبِي ذَرِّ الْغِفَارِى رضي الله تعالى عنه انه قال سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله عليه الصلاة والسلام يَقُوْلُ مَنْ مَشَى لِزِيَارَةِ وَالِدَيْهِ كَتَبَ اللهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ مِائَةَ حَسَنَةٍ وَمَحَاعَنْهُ مِائَةَ سَيِّئَةٍ وَرَفَعَ لَهُ مِائَةَ دَرَجَةٍ
Artinya: "Dari Abi Dzar al-Ghifari RA, ia berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda: 'Barangsiapa berjalan untuk berkunjung kepada kedua orang tua maka Allah SWT menulis dalam setiap langkah itu seratus kebaikan, dan menghapus seratus keburukan, dan mengangkat seratus derajat.'"
Lebih dari sekadar tradisi, syawalan merupakan wujud nyata dari akulturasi budaya Jawa dengan nilai-nilai Islam. Para ulama dan kyai berhasil mengintegrasikan konsep maaf-memaafkan dalam Islam dengan tradisi lokal seperti sungkeman, menciptakan harmoni antara ajaran agama dan kearifan lokal yang telah mengakar dalam masyarakat.
Advertisement
Keragaman Tradisi Syawalan di Berbagai Daerah
Tradisi Syawalan di Indonesia sangat beragam, mencerminkan kekayaan budaya lokal. Salah satu tradisi yang paling umum adalah bermaaf-maafan. Setelah salat Idul Fitri, masyarakat berkumpul untuk saling meminta maaf, membersihkan hati dari kesalahan yang mungkin terjadi. Tradisi ini merupakan inti dari Syawalan, mengingatkan pentingnya membersihkan hati dan memulai lembaran baru.
Selain itu, ada tradisi berbagi uang atau THR (Tunjangan Hari Raya). Mirip dengan tradisi angpao saat Imlek, anggota keluarga yang lebih tua atau mampu memberikan uang kepada anggota keluarga yang lebih muda. Ini merupakan bentuk berbagi rezeki dan kebahagiaan, memperkuat ikatan keluarga.
Makan bersama juga menjadi tradisi yang umum. Masyarakat membawa makanan dari rumah dan menyantapnya bersama-sama di satu tempat, memperkuat rasa kebersamaan dan keakraban antar warga. Makan ketupat menjadi ciri khas Syawalan. Ketupat, yang melambangkan persatuan dan kesucian, menjadi makanan utama dalam perayaan ini. Di beberapa daerah, ada tradisi berebut ketupat atau upacara khusus yang melibatkan ketupat.
Di Yogyakarta dan Solo, terdapat Grebeg Syawal, sebuah upacara adat berupa arak-arakan gunungan berisi hasil bumi yang kemudian diperebutkan masyarakat sebagai simbol berkah. Di Cirebon, Grebeg Syawal berupa ziarah ke makam leluhur keraton. Di Jawa Tengah, ada tradisi Sesaji Rewanda, persembahan makanan kepada kera di sekitar Goa Kreo, yang dipercaya sebagai petilasan Sunan Kalijaga, menunjukkan perpaduan tradisi Jawa dan nilai-nilai keagamaan.
Di Kendal, terdapat tradisi Bodho Kupat/Ketupat, yang melibatkan pembuatan dan pertukaran ketupat, serta doa bersama. Ada juga tradisi berebut apem, sejenis kue tradisional. Setiap daerah memiliki keunikan tersendiri dalam merayakan Syawalan, menunjukkan kekayaan budaya dan kearifan lokal Indonesia. Detail tradisi Syawalan dapat bervariasi antar daerah, menambah kekayaan budaya Indonesia.
Tata Cara dan Pelaksanaan Tradisi Syawalan
Pelaksanaan tradisi syawalan memiliki rangkaian kegiatan yang terstruktur dan penuh makna. Dimulai setelah pelaksanaan Salat Idul Fitri, tradisi ini berlangsung selama tujuh hari hingga puncaknya pada Lebaran Ketupat. Setiap tahapan dalam pelaksanaan syawalan memiliki nilai filosofis yang mendalam dan mencerminkan kearifan lokal masyarakat Indonesia.
Tahapan pertama dimulai dengan sungkeman, sebuah tradisi sakral dalam masyarakat Jawa di mana anak-anak memohon maaf dan berkat dari orang tua mereka. Prosesi ini dilakukan dengan penuh khidmat, di mana anak akan berlutut dan mencium tangan orang tua sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan atas jasa-jasa mereka.
Setelah sungkeman, masyarakat melanjutkan dengan tradisi bersilaturahmi ke rumah-rumah tetangga dan kerabat. Kunjungan ini tidak sekadar formalitas, tetapi menjadi momentum untuk mempererat tali persaudaraan dan membersihkan hati dari segala kesalahan masa lalu. Dalam kunjungan ini, biasanya disajikan hidangan khas seperti ketupat dan opor ayam yang menjadi simbol keberkahan dan kebersamaan.
Puncak perayaan syawalan di beberapa daerah ditandai dengan tradisi-tradisi unik seperti Lopis Raksasa di Pekalongan atau Ritual Sesaji Rewanda di Gunungpati, Semarang. Tradisi-tradisi ini tidak hanya menjadi atraksi wisata, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur tentang kebersamaan dan rasa syukur kepada Allah SWT.
Advertisement
Nilai-nilai Sosial dan Spiritual dalam Tradisi Syawalan
Tradisi syawalan mengandung berbagai nilai sosial dan spiritual yang sangat relevan dengan kehidupan bermasyarakat. Dalam dimensi sosial, tradisi ini menjadi sarana efektif untuk membangun dan memperkuat kohesi sosial melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Dari sisi spiritual, syawalan menjadi momentum untuk membersihkan diri dan jiwa dari segala kesalahan. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW tentang pentingnya menjaga silaturahmi dan berbuat baik kepada sesama. Sebagaimana disebutkan dalam lanjutan hadits sebelumnya:
فَإِذَا جَلَسَ بَيْنَ يَدَ يْهِمَا وَتَكَلَّمَ مَعَهُ بِطَيبِ الكَلامِ أَعْطَاهُ اللهُ تعالى يَوْمَ الْقِيَامَةِ نُوْرًا يَسْعَى بِهِ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِذَا خَرَجَ مِنْ عِنْدِهِمَا خَرَجَ مَغْفُوْرًا لَهُ
Artinya: "Dan ketika seseorang itu duduk di hadapan kedua orang tua dan ia berkata dengan perkataan yang lembut maka Allah SWT akan memberi sinar cahaya di hari kiamat di sekitarnya, kemudian ketika ia keluar dari tempat kedua orang tua itu maka ia keluar dengan memperoleh ampunan."
Nilai-nilai seperti saling memaafkan, berbagi kebahagiaan, dan menghormati orang tua menjadi pondasi kuat dalam tradisi syawalan. Tradisi ini juga mengajarkan pentingnya kedermawanan melalui berbagi THR dan makanan kepada sesama, mencerminkan spirit berbagi dalam ajaran Islam.
Peran Syawalan dalam Memperkuat Persatuan Masyarakat
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tradisi syawalan memainkan peran penting sebagai perekat sosial yang memperkuat persatuan masyarakat. Di era modern ini, syawalan telah berkembang menjadi tradisi yang melampaui sekat-sekat agama dan budaya, menjadi momentum bersama untuk mempererat tali persaudaraan antarwarga.
Keberadaan tradisi syawalan di berbagai daerah dengan keunikannya masing-masing menunjukkan bagaimana kearifan lokal dapat memperkaya khazanah budaya nasional. Dari Yogyakarta hingga Pekalongan, dari Semarang hingga berbagai wilayah di Pulau Jawa, setiap daerah memberikan warna tersendiri dalam merayakan syawalan tanpa menghilangkan esensi dasarnya sebagai momentum spiritual dan sosial.
Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, tradisi syawalan tetap bertahan dan bahkan berkembang menjadi atraksi wisata budaya yang menarik. Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai tradisional masih relevan dan dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman, sekaligus menjadi benteng pertahanan identitas budaya lokal di tengah gempuran budaya global.
Lebih dari sekadar tradisi tahunan, syawalan telah menjadi manifestasi dari semangat gotong royong dan kerukunan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Melalui tradisi ini, nilai-nilai luhur seperti toleransi, saling menghormati, dan kebersamaan terus dipupuk dan diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikannya warisan budaya yang tak ternilai bagi bangsa Indonesia.
Advertisement
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)