Imam Besar Istiqlal: Dalam Alquran Tecerminkan Pancasila

Dari ayat itu, Allah ingin menunjukkan bahwa manusia di dunia tidak homogen, tetapi heterogen.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 09 Jun 2017, 17:10 WIB
Diterbitkan 09 Jun 2017, 17:10 WIB
Ahmad Romadoni/Liputan6.com
Imam besar Istiglal KH Nasaruddin Umar (Ahmad Romadoni/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Belakangan muncul desakan mengubah Indonesia menjadi negara khilafah, bahkan negara Islam. Hal ini sangat bertentangan dengan ideologi bangsa, yakni Pancasila.

Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar menjelaskan, tidak mungkin membangun sebuah masyarakat yang homogen. Hal itu bahkan sudah tertuang pada Alquran Surat An Nahl ayat 93, yang artinya: Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.

"Dalam ilmu balaghah, bahasa Arab kata-kata 'lau' itu 99,9 persen itu enggak bakalan terjadi, katakanlah mustahil terjadi. Jadi, kita tidak mungkin menciptakan masyarakat yang homogen di muka bumi ini," kata Nasaruddin Umar dalam tausiah di kawasan Widya Chandra, Jakara, Senin, 5 Juni 2016.

Dari ayat itu, lanjut dia, Allah ingin menunjukkan bahwa manusia di dunia tidak homogen, tetapi sebaliknya: heterogen. Namun, masyarakat heterogen dan beragam itu juga butuh bingkai pemersatu.

"Yang terjadi adalah masyarakat heterogen. Dan heterogen itu juga butuh bingkai dan itulah Pancasila. Yang dicerminkan dalam Alquran. Quran tidak pernah mencerminkan perlunya ada persatuan dalam pengertian homogenitas masyarakat," ujar dia.

Berbeda bila dalam Alquran Allah menggunakan kata idza. Kalau yang digunakan kata itu, berarti mutlak harus dilaksanakan. Seluruh umat manusia di dunia ini harus berjuang menjadi satu umat saja.

"Ya, tapi Allah menggunakan 'lau' bukan 'idza'. Kalau sebaliknya 'idza' wajib, tuh. Dan itu pasti harus dilakukan. Tapi kalau Allah menggunakan 'in' itu fifty-fifty, ada kemungkinan boleh ada kemungkinan tidak boleh," Nasaruddin Umar menjelaskan.

 

 

 

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya