Liputan6.com, Washington DC - Banyak keluarga Muslim Amerika Serikat, khususnya yang bermukim di Kota Washington DC dan sekitarnya, kerap bersantap sahur dengan semangkuk panekuk di restoran IHOP selama menjalankan ibadah berpuasa di bulan suci Ramadan.Â
Ini bukan karena panekuk adalah salah satu makanan terpopuler di AS, melainkan bahwa restoran IHOP adalah satu-satunya penyaji hidangan "yang bisa dikatakan halal", yang buka hingga waktu sahur, demikian sebagaimana dikutip dari Religionnews.com pada Rabu (1/5/2019).
Selama bertahun-tahun, IHOP telah menjadi rujukan bagi banyak Muslim di Washington DC dan sekitarnya untuk mendapatkan hidangan sahur yang bergizi, dan tentunya terhindar dari bahan baku non-halal.
Advertisement
Baca Juga
Inilah yang kemudian mendasari munculnya kampanye Dine After Dark sejak tahun lalu, yang berusaha mendesak industri restoran, tidak hanya di ibu kota AS melainkan di wilayah lainnya, untuk menambah jam operasional saat bulan suci Ramadan, menjadi hingga waktu sahur.
Menurut penggagasnya, Katherine Ashworth Brandt, yang merupakan mantan ajudan Kongres AS, kampanye tersebut akan menguntungkan dua belah pihak, pengusaha restoran dan konsumen.
Brandt mencatat bahwa terjadi peningkatan populasi komunitas Muslim di area mteropolitan Washington DC, yang berarti meningkat pula kebutuhan akan makanan halal.
"Banyak restoran di DC yang menyajikan menu-menu sehat, di mana mayoritas juga berarti halal, sehingga menjadi rujukan bagi penduduk Muslim untuk bersantap. Memperpanjang jam operasional berarti juga membuka peluang bisnis bagi mereka yang membutuhkan makanan layak dan bergizi di kala sahur," jelas Brandt.
Tanpa disangka, gagasan kampanye ini disambut dengan cukup baik oleh pelaku industri restoran di ibu kota AS dan sekitarnya, di mana untuk tahun kedua ini, jumlah partisipannya melonjak melebihi 20 titik.
Para pemilik restoran yang berpartisipasi dalam Dine After Dark akan buka sekitar pukuk 04.00 pagi waktu setempat untuk melayani sahur. Ada pula sebagian lainnya yang menambah jam operasional hingga pukul 22.00, untuk melayani buka puasa, yang untuk bulan suci Ramadan kali ini, berkisar setiap pukul 19.30 waktu Pantai Timur AS.
Â
Membandingkan dengan Kebisaan Restoran China
Brandt membandingkan Dine After Dark dengan tradisi restoran masakan China yang tetap buka pada hari Natal, sehingga kerap menjaring banyak konsumen yang "kebingungan mencari makan di luar".
"Sayangnya, kebanyakan restoran China tidak menjamin hidangan yang aman bagi Muslim," ujar Brandt.
Melalui inisiatif Dine After Dark, masih menurut Brantd, akan memberi kemudahan bagi Muslim dalam "mengurus perut" selama berlangsungnya bulan suci Ramadhan.
"Ada banyak pilihan untuk bersantap, dan ini juga bagus untuk bisnis restoran," lanjutnya berpromosi.
Brandt mencontohkan bahwa di Kota Dearborn, Negara Bagian Michigan, dan beberapa kota lain yang memiliki populasi Muslim besar, sudah ada segelintir kecil restoran yang menyadari potensi terkait.
"Mereka membuka jam operasional khususu bagi Muslim, namun sangat sedikit jumlahnya, sehingga kerap kali kewalahan dalam melayani permintaan konsumen untuk sahur dan buka puasa," jelas Brandt.
"Inisiatif ini berusaha menjembatani kebutuhan Muslim dengan mengadvokasi peluang bisnis kepada para pengusaha restoran, sehingga terdapat manfaat timbal balik dari kedua belah pihak," lanjutnya.
Advertisement
Dimulai Sejak Desember 2017
Sementara itu, sekitar tiga persen opulasi Washington adalah Muslim, menurut Lembaga Penelitian Agama Publik.
Namun, jumlah tersebut akan bertambah besar ketika digabungkan dengan dua kota satelitnya Richmond dan Baltimore, yang memiliki beberapa komunitas Muslim paling aktif di AS.
"Saya pikir langkah pertama (untuk menggalakkan kampanye) adalah membuat pemilik bisnis menyadari bahwa ada pasar untuk ini," kata Brandt.
Gagasan untuk membuat kampanye Dine After Dark pertama kali dieksekusi pada Desember 2017, ketikra Brandt membaca berita tentang sebuah SMA di Brooklyn yang hendak merayakan pesta dansa di bulan Ramadhan.
Hal tersebut dirasa keberatan oleh siswa Muslim yang cukup banyak jumlahnay di sekolah itu. Bahkan, ratusan orang turun mengajukan petisi untuk mengubah tanggal, namun pemerintah lokal menolaknya.
"Terus terang itu benar-benar membuatku tersinggung," kata Brandt. "Saya rasa tidak ada satu pun SMA yang akan menjadwalkan pesta dansa selama liburan besar Kristen atau Yahudi. Rasanya sangat tidak adil (bagi Muslim)."