Cerita Mahasiswa Indonesia Puasa Ramadan 16 Jam di Turki

Mahasiswa Indonesia di Turki menjalani puasa lebih panjang dibanding di Tanah Air.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Mei 2021, 23:59 WIB
Diterbitkan 11 Mei 2021, 23:44 WIB
Para mahasiswa Indonesia di Turki
Para mahasiswa Indonesia di Turki

Liputan6.com, Jakarta - Turki adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim seperti halnya Indonesia. Atmosfer puasa Ramadan juga sangat terasa di Turki. Aktivitas warga tak lagi sama dengan kegiatan sehari-hari di luar bulan suci.

Secara umum budaya puasa di Turki berbeda dengan di Indonesia. Di Turki tak ada aksi warga membangunkan sahur, anak-anak menyulut petasan, apalagi ketupat dan opor sayur saat Lebaran.

Perbedaan lain terletak pada lama puasa. Jika di Indonesia masa puasa sehari sekitar 13 jam, di Turki bisa mencapai 16 jam. Waktu Shubuh sekitar pukul 04.0 waktu setempat, waktu Maghrib alias buka puasa sekitar pukul 20.00.

Tahun ini adalah kali kedua saya menjalankan ibadah puasa di negara yang dijuluki negeri dua benua ini. Dua masa puasa di Turki saya jalani di musim semi dan juga di tengah kondisi pandemi.

Turki masih menjadi negara dengan peringkat ke-5 teratas total kasus Covid-19 terbanyak di dunia. Pemerintah setempat memberlakukan aturan pembatasan sosial dan menutup hampir semua toko dari 29 April 2020 sampai 17 Mei 2020.

Toko yang masih diizinkan untuk beroperasi adalah toko makanan siap saji dan juga toko yang menjual bahan makanan. Namun pada hari Minggu juga akan tutup.

Saya tinggal di sebuah apartemen di kota Bursa bersama tiga teman sesama mahasiswa dari Indonesia. Bursa berjarak sekitar 480 kilometer dari ibu kota Turki, Ankara, butuh sekitar 5 jam perjalanan dengan mobil.

Berbeda dengan mahasiswa yang tinggal di asrama, kami yang tinggal di luar asrama biasa menyiapkan menu sahur dan berbuka dengan cara memasak sendiri.

Saat sahur, biasanya kami memanasi makanan sisa berbuka atau memasak makanan instan seperti mie atau nasi goreng untuk mempersingkat waktu. Waktu imsak sekitar jam 4 pagi, akan terus bertambah pagi setiap harinya.

Kami biasa ke masjid untuk menunaikan ibadah Shalat Shubuh berjamaah. Dalam kondisi pandemi, shalat wajib berjamaah di masjid masih boleh. Syaratnya jamaah harus mematuhi prokol kesehatan, salah satunya mengenakan masker meskipun sedang shalat.

Hari-hari kami menjalani puasa kebanyakan hanya di rumah saja. Selain karena aturan yang membatasi kegiatan di luar rumah, juga karena kegiatan perkuliahan masih dilakukan secar virtual.

Pertama kali melakukan kegiatan ini tentu saja membuat kami merasa bosan. Namun lama-kelamaan kami terbiasa melalui hari dengan kegiatan yang hanya berfokus di dalam rumah saja.

Variasinya, selain pergi ke masjid saat adzan berkumandang, jika ada jam kosong kami akan keluar beberapa saat untuk mengambil uang di mesin ATM terdekat dan juga membeli berbagai bahan makanan untuk dimasak saat berbuka.

Sepulang menunaikan Shalat Ashar berjamaah, biasanya kami akan berbelanja ke toko bahan makanan terdekat lalu mempersiapkan masakan. Kami menerapkan sistem giliran memasak.

Semua anggota rumah baik yang bisa memasak atau tidak, akan mendapat giliran memasak. Tentu saja masakan kami tidak lebih enak dari terong balado buatan ibu di rumah. Namun, kenikmatan kan bukan hanya soal rasa.

Kami berbuka puasa sekitar pukul 20.00 malam, dan waktu tersebut akan terus bertambah malam setiap harinya. Selain berbuka puasa seadanya di rumah, sesekali juga kami ikut berbuka puasa di rumah teman sesama mahasiswa Indonesia. Tentu saja kami akan memilih berbuka di rumah teman kami yang pandai memasak.

Pertimbangan kami berikutnya adalah menumpang di rumah yang ukurannya lebih besar, dan tanpa mengundang teman yang lainnya. Hal tersebut dilakukan supaya menghindari keramaian yang berlebihan dan tetap tidak melanggar protokol kesehatan.

Selain itu, teman-teman Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Bursa juga mengadakan berbuka puasa secara virtual. Kami berbuka dengan menyiapkan masakan sendiri di rumah masing-masing, dan memakannya bersama saat adzan Maghrib berkumandang.

Bulan Ramadan kurang lengkap rasanya tanpa melaksanakan Shalat Tarawih. Meskipun kita diperbolehkan untuk melaksanakan shalat wajib berjamaah di masjid, tidak begitu dengan Shalat Tarawih. Karena itu kami melaksanakan di rumah saja.

Karena azan Isya berkumandang hampir jam 22.00 malam, Shalat Tarawih kami selesaikan sampai hampir pukul 23.00. Selanjutnya kami akan tidur sekitar empat jam atau bertadarus sampai waktu sahur tiba.

Ramadan tahun ini segera berlalu, menyisakan pengalaman yang berkesan. Semoga pandemi ini juga cepat berlalu sehingga kita bisa menjalani hari seperti biasa dan dapat menjalankan ibadah lebih maksimal. Salam hangat dari Turki.

Bayu Adji Nugraha, mahasiswa Bursa Uludag Universitesi Turkey

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya