Liputan6.com, Jakarta Ramadhan selalu menghadirkan kegembiraan. Umat muslim menyambut bulan mulia penuh sukacita ini dengan rasa gembira. Sebab, pada bulan inilah seluruh pahala dijanjikan Allah SWT akan dilipatgandakan. Rasa sukacita itu tentu saja tidak hanya dirasakan oleh orang dewasa saja. Anak-anak pun bergembira ria karena biasanya di bulan Ramadhan, waktu sekolah menjadi sangat pendek. Bahkan, banyak pula yang diliburkan seminggu sejak hari pertama Ramadhan agar lebih konsentrasi menjalani ibadah puasa.
Anak-anak di Jakarta (Betawi) pada tempo dulu utamanya sering sekali bermain di langgar (musala kecil) atau di lapangan untuk menghabiskan waktu dan menunggu waktu berbuka. Tidak hanya mengaji setiap hari atau melaksanakan khataman Qur’an, mereka juga sering memainkan adu beduk, terutama di sore hari. Menurut Ketua Litbang Lembaga Kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, hampir di tiap kampung ada yang orang yang dikenal jago memukul beduk dengan irama yang asyik.
Baca Juga
“Dulu saya sering memperhatikan cara dan gaya Bang Karim, Bang Atam, Bang Amin, Bang Juki, Bang Akub, Bang Dalih, dan abang-abang lainnya dalam aksi nabuh beduk. Kombinasi tabuhan tektek dan ngeter sungguh nikmat didengar. Tapi ada juga cara nabuh beduk lainnya,” ujar Yahya menjelaskan.
Advertisement
Salah satunya, menurut budayawan Betawi ini, adalah tabuhan nabuh beduk khas Bang Atam, yaitu dangdengdang. Tabuhan ini bertempo lambat, tetapi jelas didengar mana nabuh pinggir, nabuh tengah, dan nabuh pukulan dua.
Selain itu, kelebihan para penabuh beduk lainnya adalah stamina yang prima dan adalah durasi menabuh yang panjang. Jika misalnya rata-rata orang Indonesia hanya mampu menabuh selama 15 menit, maka Yahya ingat di kampungnya ada Bang Atam yang sanggup setengah jam menabuh beduk tanpa jeda. Sungguh tenaga yang luar biasa.
Bleduran atau Meriam Sundut
Tak disangkal lagi, bulan puasa bagi anak-anak merupakan bulan yang paling menyenangkan. Meskipun rata-rata anak-anak menahan lapar karena belajar berpuasa, tiap hari dari pagi sampai sore, anak-anak tetap bergembira bermain. Bahkan, sering habis sahur dan salat Subuh, anak-anak tidak tidur lagi dan terus bermain.
Seperti dikutip dari www.kebudayaanbetawi.com, setelah bermain gundu atau kelereng, anak-anak di Betawi main tembak nama. Setelah main tembak nama, main gala asin. Sesudah main gala asin, mereka main lagi kalawadi atau tok kadal. Abis main kalawadi, tak ada capeknya, mereka main benteng.
Sementara menurut Yahya, anak-anak perempuan berbeda lagi permainannya. “Mereka maen samse, lompat karet, congklak, cici putri, wak wak gung, dan lain sebagainya. Semua permainan itu dilakukan bersama-sama sedianya anak yang kumpul. Enggak dipatok harus berjumlah sekian orang, barulah kita dapat bermain. Tidak seperti itu,” ujarnya menjelaskan.
Sementara bleduran sangat khas dimainkan oleh anak-anak di Betawi dan mungkin di daerah lainnya di Nusantara. Ini semacam permainan meriam-meriaman sederhana dengan bilah bambu besar. Di beberapa wilayah, bleduran disebut juga meriam sundut atau meriam karbit.
Advertisement
Asal-usul bleduran
Asal-usul bleduran ini belum diketahui pasti. Yahya mengatakan, “Saya belum tahu kapan persisnya anak-anak Betawi memainkan beleduran atau meriem sundut. Apabila dikaitkan dengan nama meriem atau meriam, yaitu jenis senjata berat yang larasnya besar dan panjang, pelurunya besar, dan sering diberi roda untuk memudahkan memindahkannya, maka masyarakat Betawi sudah mengenal sejak lama satu meriam yang legendaris, yakni Meriam Si Jagur.”
Meriam si Jagur memang sempat menjadi buah bibir di kalangan masyarakat Betawi. Meriam ini juga pernah dipajang di depan Museum Sejarah Jakarta. Konon, ucap Yahya, meriam ini dibawa oleh Portugis dan berada di tanah Betawi sejak tahun 1520-an. Lalu pada masa penjajahan Belanda, meriam menjadi tidak asing lagi, atau berseliweran di depan mata orang Betawi.
“Agaknya tidak berlebihan jika dapatlah dikatakan bahwa meriam ini menginspirasi permainan anak-anak Betawi, meriam sundut atau beleguran atau beleduran,” ucap penerima Anugrah Kebudayaan kategori pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015 ini.
Cara bermain bleduran
Bleduran pada umumnya dilakukan oleh remaja laki-laki hingga dewasa karena memiliki tingkat risiko yang relatif tinggi. Atau, bisa juga oleh anak-anak laki-laki atau remaja tanggung, tetapi tentu dengan pengawasan orang dewasa.
Dikutip dari www. dinaskebudayaan.jakarta.go.id, permainan ini biasanya dilakukan pada malam hari, setelah salat tarawih hingga menjelang sahur pada saat bulan puasa. Cara bermainnya diawali dengan memasukkan bahan peledak ke pangkal bleduran yang dipasang miring sekitar 10-20 cm di atas tanah.
Setelah itu ujung laras bleduran ditutup dengan kain basah agar uap karbit atau minyak tanah tidak keluar. Agar bunyinya nyaring, lubang sundut ditutup dengan jari atau alat penutup lain selama satu hingga lima menit sebelum disundut dengan api.
Tidak hanya itu, untuk dapat bermain bleduran diperlukan beberapa peralatan, yaitu sebatang bambu petung tua berdiameter 10 hingga 17 cm dan panjang sekitar 1 meter dengan beberapa ruas. Ruas pertama sengaja tidak dibuat lubang, sedangkan ruas kedua dan ketiga diberi dua lubang berbentuk laras selebar 10 sentimeter dan 1 sentimeter sebagai tempat untuk menyundut. Kemudian bahan peledak berupa karbit atau minyak tanah.
Setelah bleduran jadi, bagian lubang mesiu disundut dengan karbit atau minyak tanah. Sesaat kemudian, meledaklah cahaya api dari lubang bambu. Karena permainannya agak berbahaya, maka biasanya dibutuhkan tanah lapang yang cukup luas untuk bermain bleduran.
Nah, bagaimana, apa kamu pernah bermain bleduran?
Advertisement