Liputan6.com, Jakarta Selepas puasa Ramadhan sebulan penuh dan merayakan hari Idul Fitri 1 Syawal, umat Islam dianjurkan untuk puasa Syawal. Hal ini mengacu pada hadits shahih riwayat Imam Muslim:
“Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan enam hari dari Syawal, maka seperti pahala berpuasa setahun.”
Baca Juga
Dengan demikian, status hukum puasa Syawal adalah sunnah bagi orang yang tak memiliki tanggungan puasa wajib, baik qadha puasa Ramadhan atau puasa nazar.
Advertisement
Bagi mereka yang punya utang puasa Ramadhan karena uzur (misalnya sakit, perjalanan jauh, atau lainnya), status hukum berubah menjadi makruh. Namun, bagi mereka yang tak berpuasa Ramadhan karena kesengajaan, tanpa uzur, status hukum menjadi haram.
Sebaiknya, tunaikanlah dulu puasa wajib, tulis NU. Baru kemudian puasa sunnah Syawal. Mereka yang berpuasa wajib di bulan Syawal tetap memperoleh keutamaan puasa Syawal meski pahalanya tak sebesar yang disebutkan hadits di atas.
Sebagian ulama berpendapat, bila luput menunaikan puasa sunnah Syawal di bulan Syawal karena halangan tertentu, seseorang boleh mengqadha puasa enam hari puasa Syawal pada enam hari di bulan lain (Al-Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, I: 654).
Kapan seseorang bisa puasa Syawal?
Idealnya tentu saja enam hari berturut-turut persis setelah hari raya Idul Fitri, yakni tanggal 2-7 Syawal. Tetapi orang yang berpuasa di luar tanggal itu, sekalipun tidak berurutan, tetap mendapat keutamaan puasa Syawal seakan puasa wajib setahun penuh.
Oleh karena itu, seseorang diperkenankan menentukan puasa Syawal, misalnya tiap hari Senin dan Kamis, melewati tanggal 13, 14, 15, dan seterusnya selama masih berada di bulan Syawal. Seandainya seseorang berniat puasa Senin-Kamis atau puasa Ayyamul Bidl (13,14, 15 setiap bulan Hijriah), ia tetap mendapatkan keutamaan puasa Syawal sebab tujuan dari perintah puasa rawatib itu adalah pelaksanaan puasanya itu sendiri terlepas apa pun niat puasanya (Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj).
Advertisement
Niat Puasa Syawal
Niat puasa Syawal—sebagaimana puasa sunnah lainnya—tak mesti dilakukan di malam hari atau sebelum terbit fajar.
Mereka yang malam harinya tak berniat, tapi mendadak di pagi atau siang hari ingin mengamalkan puasa Syawal, diperbolehkan baginya berniat sejak ia berkehendak puasa sunnah saat itu juga.
Tentu saja dengan catatan, sejauh yang bersangkutan belum makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak subuh. Niat tersebut cukup digetarkan di dalam hati bahwa ia bersengaja akan menunaikan puasa sunnah Syawal.
Tanpa mengucapkan niat secara lisan, puasa sudah sah. Untuk memantapkan, ulama menganjurkan melafalkannya sebagai berikut:
Untuk niat malam hari:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ (Aku berniat puasa sunnah Syawal esok hari karena Allah ta’ala).
Untuk niat siang hari:
نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ (Aku berniat puasa sunah Syawal hari ini karena Allah ta’ala).
Bolehkah membatalkan puasa Syawal?
Boleh. Rasulullah sendiri pernah menegur sahabatnya saat bertamu dan disuguhi makanan tapi ia menolak karena ia sedang berpuasa sunnah. Nabi pun memintanya membatalkan dan mengqadhanya di lain hari (lihat hadits riwayat ad-Daruquthni dan al-Baihaqi).
Para ulama akhirnya merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunnah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunnah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalus surur) tuan rumah adalah sunnah karena perintah Nabi saw dalam hadits tersebut.
Bahkan dalam kondisi seperti ini dikatakan, pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, III: 36). Bila ada indikasi kuat puasa kita tak mengganggu perasaan orang lain atau tak menimbulkan kendala-kendala untuk sesuatu yang juga penting, sebaiknya puasa dituntaskan hingga maghrib. Bila yang terjadi sebaliknya, maka boleh dibatalkan karena masih ada alternatif hari lain untuk menunaikannya.
Advertisement
Keutamaan Puasa Syawal
Momentum Ramadhan yang positif tersebut hendaknya dapat dipertahankan di bulan-bulan setelahnya. Sungguh sangat beruntung orang yang menganggap seluruh hari-harinya sebagai Ramadhan.
Oleh sebab itu, setelah jeda satu hari pada tanggal 1 Syawal, agama menganjurkan untuk berpuasa selama enam hari di bulan Syawal.
Menurut mazhab Syafi’i, berpuasa enam hari Syawal hukumnya sunnah. Nabi menyebut pahala orang yang berpuasa di bulan Ramadhan dan disambung dengan enam hari bulan Syawal seperti pahala berpuasa selama setahun. Nabi bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعُهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan enam hari dari Syawal, maka seperti pahala berpuasa setahun” (HR. Muslim).
Hadits tersebut dapat dipahami secara utuh dengan menggabungkan riwayat lain. Disebutkan dalam hadits riwayat al-Nasa’i bahwa pahala berpuasa Ramadhan sebanding dengan berpuasa selama sepuluh bulan, dengan perhitungan per hari puasa pahalanya sebanding dengan 10 berpuasa.
Hal ini sebagaimana rumus yang populer dalam hadits Nabi bahwa pahala satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali. Sedangkan puasa enam hari Syawal pahalanya sebanding dengan 60 hari (dua bulan). Dengan demikian, gabungan puasa Ramadhan dan enam hari Syawal pahalanya genap satu tahun (10 bulan + 2 bulan). Syekh Khatib al-Syarbini menjelaskan:
وَرَوَى النَّسَائِيُّ خَبَرَ «صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ، فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ» أَيْ كَصِيَامِهَا فَرْضًا، وَإِلَّا فَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِرَمَضَانَ وَسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ؛ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا.
“Imam al-Nasa’i meriwayatkan hadits; pahala puasa bulan Ramadhan sebanding dengan berpuasa sepuluh bulan, pahala berpuasa enam hari Syawal sebanding dengan berpuasa dua bulan, maka yang demikian itu adalah puasa satu tahun.
Maksudnya seperti berpuasa wajib selama setahun, sebab jika tidak demikian maka tidak terkhusus dengan Ramadhan dan enam hari Syawal, sebab satu kebaikan dilipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat” (Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 184). Dalam referensi yang lain disebutkan: قال أصحابنا وهذا صحيح في الحساب؛ لأن الحسنة بعشر أمثالها، وصوم شهر رمضان يقوم مقام ثلاثمائة يوم، وهو عشرة أشهر، فإذا صام ستة أيام بعده قامت مقام ستين يوماً، وذلك شهران، وذلك كله عدد أيام السنة.
“Para pengikut kami berkata; yang demikian ini benar dalam hitungan matematika. Sebab satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali. Puasa Ramadhan sebanding dengan berpuasa selama 300 hari (sepuluh bulan). Maka bila seseorang berpuasa enam hari setelahnya, sebanding dengan berpuasa 60 hari (dua bulan).
Demikian ini adalah hitungan hari selama setahun” (Syekh al-‘Umrani, al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafi’i, juz 3, hal. 548). Pahala puasa Syawal yang sebanding dengan pahala berpuasa dua bulan maksudnya adalah dua bulan puasa wajib. Sebab, jika tidak dipahami demikian maka tidak ada arti khusus dalam penyebutan puasa Syawal dalam hadits Nabi. Misalnya bila dipahami bahwa enam hari puasa Syawal sebanding dengan dua bulan puasa Sunnah, ini tidak ada yang spesial karena semua pahala kebaikan memang demikian, pahalanya dilipatgandakan menjadi sepuluh kali.
Dengan demikian, konteks perbandingan pahala tersebut harus dipahami dengan puasa wajib agar berbeda antara puasa Syawal dengan lainnya. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
والمراد ثواب الفرض وإلا لم يكن لخصوصية ستة شوال معنى؛ إذ من صام مع رمضان ستة غيرها يحصل له ثواب الدهر لما تقرر فلا تتميز تلك إلا بذلك
“Yang dikehendaki adalah pahala puasa fardlu, jika tidak demikian, maka tidak ada makna pengkhususan Syawal dalam hadits Nabi, karena orang yang berpuasa beserta Ramadalan, selama enam hari maka mendapat pahala puasa setahun seperti keterangan yang sudah ditetapkan, maka pahala puasa enam hari Syawal tidak dapat dianggap spesial kecuali dengan penafsiran tersebut (sebanding dengan pahala puasa fardlu dua bulan)”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, hal. 456). Walhasil, orang yang berpuasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, pahalanya seperti orang yang berpuasa wajib selama setahun.