Hukum Selamatan Sambut Kepulangan Jemaah Haji, Bagaimana Pandangan Islam?

Di Jawa dan sejumlah daerah lain, ada tradisi tasyakuran menyambut kepulangan jemaah haji. Dalam bahasa Jawa, disebut dengan slametan, atau disebut pula dengan selamatan. Apa hukum dan bagaimana pandangannya dalam Islam?

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Jul 2023, 01:00 WIB
Diterbitkan 06 Jul 2023, 01:00 WIB
Tangis Haru Sambut Kepulangan 100 Jemaah Haji Kloter 20 Asal Kota Batu
Peluk haru meyambut rombongan jemaah haji kloter 20 asal Kota Batu yang tiba di Masjid Sultan Agung Kota Batu pada Sabtu, 30 Juli 2020 

Liputan6.com, Jakarta - Ribuan jemaah haji Indonesia tiba di tanah air usai rangkaian ibadah haji 2023. Secara bertahap, jemaah haji akan tiba di kampung halamannya masing-masing.

Di berbagai daerah terdapat tradisi menyambut kepulangan jemaah haji. Biasanya, penyambutan ini seuntai senada dengan adat dan tradisi di masing-masing daerah.

Di Jawa dan sejumlah daerah lain, ada tradisi tasyakuran. Dalam bahasa Jawa, disebut dengan slametan, atau disebut pula dengan selamatan.

Keluarga biasanya mengadakan tasyakuran kepulangan jemaah haji. Mereka bersyukur dan berdoa agar jemaah haji mendapat keberkahan dari ibadah hajinya dan senantiasa diberi kesehatan.

Lantas bagaimana pandangan Islam mengenai selamatan atau tasyakuran? Bagaimana hukum tasyakuran menyambut kepulangan jemaah haji? 

 

Simak Video Pilihan Ini:

Hukum Tasyakuran Sambut Jemaah Haji

Kementerian Agama (Kemenag) menyatakan operasional Haji 1443 H/2022 M berakhir dengan kepulangan jemaah Indonesia yang tergabung dalam kloter 43 embarkasi Solo (SOC 43) Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Kemenag)
Kementerian Agama (Kemenag) menyatakan operasional Haji 1443 H/2022 M berakhir dengan kepulangan jemaah Indonesia yang tergabung dalam kloter 43 embarkasi Solo (SOC 43) Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Kemenag)

Mengutip laman NU Jatim, tradisi menyambut kedatangan orang telah bepergian jauh dibenarkan dalam Islam, termasuk dalam rangka menyambut kepulangan jamaah haji ke rumah. Imam Nawawi mengatakan, praktik ini hukumnya sunnah dan menyebutnya sebagai naqi’ah, yaitu hidangan yang dipersembahkan untuk menyambut kedatangan seseorang.

Berikut penjelasan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab (4/400) menjelaskan:

يستحب النقيعة، وهي طعام يُعمل لقدوم المسافر ، ويطلق على ما يَعمله المسافر القادم ، وعلى ما يعمله غيرُه له

Artinya: Disunnahkan untuk mengadakan naqi’ah, yaitu hidangan makanan yang digelar sepulang safar. Baik yang menyediakan makanan itu orang yang baru pulang safar atau disediakan orang lain.

An-Nawawi mendasari penjelasannya itu dari hadis Nabi berikut:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما قدم المدينة من سفره نحر جزوراً أو بقرةً ” رواه البخاري

Dalam hadits lain riwayat Imam Bukhari dari Abdullah bin Ja’far juga disebutkan.

 كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّيَ بِنَا .فَتُلُقِّيَ بِي وَبِالْحَسَنِ أَوْ بِالْحُسَيْنِ . قَالَ : فَحَمَلَ أَحَدَنَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَالْآخَرَ خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلْنَا الْمَدِينَةَ

Artinya: Jika Nabi SAW pulang dari safar, kami menyambutnya. Beliau menghampiriku, Hasan, dan Husain, lalu beliau menggendong salah satu di antara kami di depan, dan yang lain mengikuti di belakang beliau, hingga kami masuk kota Madinah. (HR Muslim).

Tim Rembulan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya