Liputan6.com, Jakarta - Hukum potong tangan dalam Islam, yang dikenal sebagai "hudud" dalam istilah syariah, adalah hukuman yang dijatuhkan atas tindak pencurian yang memenuhi syarat- syarat tertentu.
Ketentuan ini didasarkan pada ayat Al-Quran dalam Surah Al-Maidah (5:38) yang menyatakan: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Advertisement
Hukum potong tangan ini dimaksudkan untuk menjaga keamanan harta benda dan mencegah tindak pencurian dalam masyarakat. Lalu sejak masa Nabi Muhammad SAW, sudah ada berapa jumlah orang yang mendapat hukuman tersebut? Apakah jumlahnya banyak atau sedikit?
Advertisement
Untuk diketahui, penerapan hukum potong tangan tidaklah sederhana dan membutuhkan pemenuhan sejumlah syarat yang sangat ketat.
Beberapa kondisi yang harus terpenuhi antara lain, barang yang dicuri memiliki nilai minimal tertentu, pencurian dilakukan dengan niat jahat (bukan karena kebutuhan mendesak seperti kelaparan), dan barang tersebut diambil dari tempat yang aman atau dijaga.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Proses Pembuktian Kasus Pencurian untuk Potong Tangan Tidak Gampang
Selain itu, proses pembuktian harus sangat jelas, dengan saksi-saksi yang terpercaya atau pengakuan dari pelaku. Hal ini menunjukkan bahwa syariah sangat berhati-hati dalam menerapkan hukuman hudud, memastikan bahwa hukuman tersebut tidak dijatuhkan secara sewenang-wenang.
Dalam praktiknya, penerapan hukum potong tangan sangat jarang terjadi, terutama di zaman modern. Banyak negara Muslim yang tidak menerapkan hukum ini secara literal, melainkan lebih memilih pendekatan yang lebih kontekstual dan mempertimbangkan kondisi sosial serta hak asasi manusia.
Sebaliknya, penekanan lebih besar diberikan pada upaya preventif, seperti pendidikan, pemberantasan kemiskinan, dan reformasi sistem hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan sejak awal. Hal ini mencerminkan dinamika dan adaptasi hukum Islam dalam menghadapi tantangan dan kebutuhan zaman.
Menukil Islami.co, hukum semacam ini ditakuti, dianggap hukum kuno yang bertentangan dengan semangat Hak Asasi Manusia dan hukum modern. Sebab itu, tak heran bila penerapan hudud ditolak dibanyak negara muslim.
Stigma negatif terhadap hukum Islam sangatlah jauh dari kebenaran. Semangat hukum Islam adalah memberi rahmat, kemaslahatan, dan kebaikan untuk manusia. Bukan untuk menyakiti dan memberi kemudaratan.
Advertisement
Jumlah Hukuman Potong Tangan, Tidak Sampai 10
Prof Quraish Shihab dalam sebuah diskusi menolak anggapan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang mengerikan. Sekalipun benar di dalam Islam ada hukuman semacam potongan tangan, cambuk, dan rajam, tetapi syaratnya sangatlah banyak.
“Ada syarat bagi barang yang dicuri, ada syarat pada siapa yang dicuri barangnya. Kalau orang mencuri barang anda, katakanlah di lobi, itu tidak dipotong tangannya. Karena itu bukan tempat penyimpanan barang. Jadi harus ditempatkan di tempat yang aman. Kalau ada pencuri, mencuri barang curian, juga tidak dipotong tangannya. Jadi ada banyak syarat yang harus dipenuhi sampai hukuman potong tangan diputuskan,” kata Prof Quraish Shihab.
Ia menegaskan, sepanjang sejarah Islam, khususnya 400 tahun setelah masa Nabi, hanya ada enam orang yang dipotong tangannya. Karena saking beratnya persyaratannya.
Begitu pula dengan perzinaan. Ketika hukum rajam benar- benar diterapkan, kemungkinan tidak ada yang berani menuduh orang berzina.
Mereka baru dijatuhi sanksi hukum setelah ada kesaksian dari empat orang saksi, dan keempat saksi itu benar-benar melihat secara langsung seperti pedang masuk dalam sarungnya. Kalau hanya tiga orang yang melihat, sanksi tidak bisa dijatuhi, dan orang yang menuduh itu diberikan sanksi.
Bahkan dulu ada orang yang mengaku berzina kepada Nabi, dan meminta Nabi untuk menghukuminya. Nabi tidak mau dan bersikap seolah-olah tidak mendengar. Ia baru dijatuhi hukuman, setelah datang berkali-kali meminta hukuman kepada Nabi SAW.
Nabi tidak memberikan hukuman, karena orang tersebut sudah insyaf. Sebab tujuan hukum itu adalah menginsyafkan orang yang salah, mendidik orang yang salah, bukan untuk menyakiti.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul