Liputan6.com, Semarang - Bukan hanya Batavia atau Jakarta yang dikenal sebagai wilayah rawan banjir. Pesisir utara Jawa juga dikenal wilayah langganan banjir sejak zaman kolonial.
Tercatat, banjir besar pernah hampir menenggelamkan Pemalang, Jawa Tengah (Jateng) pada abad ke-19. Dikutip dari berbagai sumber, tercatat banjir menerjang daerah yang berdekatan dengan sungai dan bendungan, serta daerah pesisir yang ketinggian tanahnya relatif rendah.
Curah hujan yang kadang tinggi dan rendah dari daerah lainnya menjadi faktor yang membuat daerah Pemalang mudah diterjang banjir. Banjir besar pertama terjadi bencana pada Februari tahun 1886.
Advertisement
Baca Juga
Tercatat dalam De Nieuwe Vorstenlanden, banjir bandang menerjang Pemalang, merendam sawah, perkebunan tebu, Jalan Pos (postweg), dan merusak tanggul di beberapa sungai. Terjangan banjir turut menjangkau Comal, yang terletak di sebelah barat Pekalongan.
Dilaporkan bahwa tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut, tetapi menyebabkan permukiman dan lahan perkebunan warga terendam. Banjir besar juga terjadi pada tahun 1908, jalur trem Semarang - Cirebon (Stoomtram Maatschappij) hancur.
Mobilitas pemerintah Hindia Belanda dan pengangkutan komoditas perkebunan yang mengandalkan moda transportasi trem pun menjadi terhambat. Banjir pada masa itu terjadi pula hingga ke Brebes selama berhari-hari.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Seperti Lautan
Pada Februari 1918, luapan Sungai Rambut merendam daratan Suradadi dan Pemalang. Daerah itu terlihat seperti laut, banyak rumah hancur, penduduk melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi, dan jalur trem rusak parah.
Banjir seringkali terjadi di daerah yang berdekatan dengan hilir sungai, atau berdekatan dengan Laut Jawa. Pada tahun 1930, Belanda terpaksa mengeluarkan anggaran hingga 18.756 gulden.
Dana tersebut diberikan untuk pemerintah kolonial di Karesidenan Pekalongan, di mana Regent Pemalang untuk melakukan pembenahan kota yang porak poranda usai bencana. Kesadaran pemerintah kolonial terhadap bencana banjir di Pemalang juga terlihat pada tahun 1937.
Mereka mengeluarkan anggaran sebanyak 3.000 gulden untuk memperbaiki Bendung Nambo yang rusak akibat terjangan banjir. Sayangnya, perbaikan dimulai pada akhir musim kemarau.
Para buruh bekerja siang malam karena hanya memiliki waktu yang sangat singkat untuk perbaikan sebelum musim hujan tiba.
Advertisement