Liputan6.com, Jakarta Meski tak duduk di front row (barisan depan) pada sebuah fashion show, Anda yang mencintai fashion tentu akan tetap menikmati prosesi pertunjukan rancangan-rancangan desainer. Lepas dari apa yang ditampilkan, tahukah Anda bagaimana kisah di balik koleksi tersebut dari hanya berupa konsep hingga akhirnya tampil dibawakan oleh para model di runway?
Baca Juga
Dilansir dari wallstreetjournal.com Minggu (20/4/2014), sutradara Frederic Tcheng, yang tahun-tahun sebelumnya menggarap film dokumenter fashion `Diana Vreeland: The Eye Has to Travel` dan `Valentino: The Last Emperor`, kini membuat sebuah film dokumenter tentang Creative Director dari Christian Dior, Raf Simons, yang berjudul `Dior and I`.
Advertisement
Pada tahun 2012 Raf Simons ditunjuk untuk menggantikan posisi John Galliano yang diberhentikan karena kasus anti-semitisme. Dalam film berdurasi 89 menit itu diceritakan bagaimana Raf yang baru bergabung dengan label asal Prancis tersebut hanya memiliki waktu 8 minggu untuk mengerjakan koleksi haute couture.
Tekanan ini dianggap sangat besar dikarenakan beberapa faktor. Pertama, Raf sebelumnya tak pernah membuat koleksi couture sedangkan untuk seorang couturier, dibutuhkan waktu sekitar 4-6 bulan untuk membuat sebuah koleksi.
Selain itu, momen bergantinya pemimpin Christian Dior membawa tuntutan bagi adanya perubahan mendasar dari wajah label fashion ekskulisf ini. Ketiga bahwa perubahan tersebut harus tetap dapat memuaskan para loyalis label tersebut.
“Kita tak dapat berkata tidak pada klien,” ucap staf Dior kepada Raf. Raf membalasnya dengan mengatakan “Ya, tapi kamu juga tak bisa berkata tidak pada saya”. Kondisi tekanan yang intens ini semakin jelas tergambar saat adanya suara dari Christian Dior pada salah satu scene.
Premis-premis dari film yang tayang perdana pada pembukaan Tribeca Film Festival, Kamis 17 April 2014 ini menguji bagaimana relasi antara Raf Simons dengan pendiri label Christian Dior. Diceritakan bahwa Raf bukanlah pengikut New Look (sebuah model busana yang dipopulerkan oleh desainer Christian Dior). “Untuk saya masa lalu tidak romantis. Masa depanlah yang romantis,” ucap Raf Simons di film tersebut.
Dalam film tersebut dapat dilihat bahwa Raf tidak membuat sketsa dalam merancang, bahwa menyukai kata `Sublim` dan bahwa dirinya merasa secara tak fair dilihat sebagai seorang desainer minimalis karena koleksi-koleksinya yang memang minimalis saat masih bekerja di label Jil Sander. Raf berusaha koleksinya di label Christian Dior dapat mematahkan anggapan itu.
Untuk koleksi debutnya pada Christian Dior, Raf memimpin 105 penjahit untuk membuat 54 tampilan. Salah seorang penjahit itu ada yang sudah bekerja selama 44 tahun pada label Christian Dior. Saat hari fashion show tiba, Raf harus menghadapi ketakutannya untuk tampil di catwalk memberikan penghormatan.
Raf menangis tepat saat fashion show akan dimulai dan saat model terakhir membawakan karyanya. Akhir fashion show ini diisi dengan kejadian yang sudah terduga, yakni para penonton serta aktris Jennifer Lawrence selaku ambassador Christian Dior memberi tepuk tangan tanpa benar-benar tahu hal apa yang terjadi untuk mewujudkan semua itu.
Raf Simons yang akan menerima The International Award dari Council of Fashion Designers of America pada bulan Juni 2014 tak menghadiri pemutaran perdana film ini. “Menurut saya, ia telah melihat film ini sendirian beberapa kali. Ia adalah seseorang yang sangat private dan ingin tetap seperti itu. Sulit baginya untuk menonton film ini bersama orang-orang lain karena film ini sangat personal,” ucap sutradara Frederic Tcheng.