Cerpen: Aku Bebas

Berikut cerpen pilihan Liputan6.com, Minggu (15/5/2016), "Aku Bebas" karya Nefri Inge.

oleh Liputan6 diperbarui 15 Mei 2016, 08:02 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2016, 08:02 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi cerpen

Liputan6.com, Jakarta Waktu menunjukkan pukul lima pagi. Sudah sebulan ini aku, Kikan, terbiasa bangun sepagi ini. Entah karena apa, ragaku terlalu rajin untuk membelalakkan mata sedini ini. Bangun terlalu pagi juga membuat otakku menjadi galau, sudah bisa bekerja tapi tidak tahu apa yang bisa dikerjakan. Ingin rasanya salat Subuh dan Dhuha, namun tidak bisa. Datang bulan yang hadir dalam jeda tiga minggu pun seakan menyita waktu ibadahku.

Hanya ponsel pintar yang bisa mengoperasikan otakku lebih bermanfaat, walau mataku menolak sayu untuk dihadapkan dengan layar kemilau yang terus menebarkan penyakit rabunku. Kubaca postingan teman-teman di media sosial, tentang keluhan semalam diguyur hujan, tentang kisah asmara yang terlalu sadis diumbar, tentang aksi komunitas bergaya necis yang menjadikan malam minggu hiruk-pikuk, tentang pernikahan yang menjadi momok bahagia, tentang temanku yang menanti kelahiran si buah hatinya dan tentang postingan info Post Partum Depression (PPD) atau disebut Baby Blues.

Usai membaca ulasan dan komen dari para netizen, imajiku langsung melayang. Teringat sepuluh tahun lalu, keenggananku untuk membina rumah tangga pun terkuak. Pernikahan yang menurutku hanyalah sebuah kekangan hidup bagi seorang wanita, bahkan hingga sekarang. Entah berapa ratus alasan dari otakku untuk membantah doktrin ini, tapi sisi kecil hati terus berontak, berontak, dan mengatakan bahwa itu akan terjadi.

Rasa kalutku serta merta menjalar di setiap jengkal nadi, ketakutan yang menyergap langsung menjadikan Minggu pagiku kelam. Over Paranoid-ku pun kumat dengan segala komat kamit kacau yang menyeracau di hatiku. Mulutku hanya diam, diam tanpa kata, tapi hatiku terus berkata ingin segera lari dari tahun ini.

“Bu.. Ibu.... Bantu aku, Bu...,” tulisku di aplikasi pesan singkat yang kukirim ke Ibu Erma, orang tua angkat, sahabat, saudara dan motivatorku.

Satu menit.. Dua menit.. Sepuluh menit.. Tiga puluh menit.. Satu jam.. tidak ada respons apa pun dari pesan yang kukirim. Mungkin Minggu pagi menjadi hari paling berbahagia bagi para pekerja, tidak ada kekangan apa pun. Ponsel pun menjadi kebutuhan urutan sekian saat libur datang. Tapi aku butuh jawaban cepat, lebih cepat daripada hembusan oksigen yang masuk ke rongga paru-paruku.

Enam bulan lalu, saat aku dan Adi bertemu setelah sekian lama menghilang. Tidak ada yang penting dari pertemuan kami ini. Sama seperti lainnya, pertemuan dengan teman lelaki yang sudah bertahun-tahun menghilang tak membuatku merasa ada yang spesial. Aku punya banyak teman lelaki dan semua terlalu mengasyikkan untukku tinggalkan. Sama seperti kehadirannya, tidak ada bedanya dengan teman lelakiku lainnya.

Aku dan dia sama, sama-sama punya rasa humor yang tinggi dan tingkah laku yang tak terkendali. Kebiasaanku pun terus bertahan hingga sekarang, menjadikan perantara asmara antara dia dan temanku yang selalu mengidamkan kekasih hati. Satu bulan pun berlalu, komunikasi Adi dan temanku pun tak berjalan mulus, tak menemukan satu getaran untuk mengukuhkan hubungan mereka menjadi keseriusan.

Namun, seperti ada bom waktu yang meledak di depan mataku. Tanpa kusadari, sejak pertama kali kami saling bercengkrama ya sepuluh tahun lalu, dia memendam hasrat berbeda terhadapku. Entah hanya suatu kenyamanan yang didapatnya atau perasaan dari dalam hatinya, Adi menyatakan keseriusannya untuk meminangku.

Usiaku yang sebentar lagi menginjak 30 tahun, tuntutan dari keluarga agar aku segera mencari pendamping, finansial pas-pasan yang membuatku harus mencari penopang agar bisa melengkapi hasrat duniawiku, mungkin itu beberapa alasanku menerima pinangannya.
Hingga bulan ini, kedua kalinya Adi membawa orang tuanya di hadapanku, di depan orang tua dan keluargaku untuk serius membawaku ke kehidupan baru. Jadwal pernikahan pun sudah diputuskan dan kami berdua harus berjibaku mengumpulkan pundi-pundi uang untuk mempersiapkan itu tanpa dibantu orang tua.

Tapi, ada yang tidak diketahui Adi, tentang ketakutan luar biasaku akan sebuah pernikahan. Sebuah kekangan yang terus menjadi harga mati dari hubungan serius ini. Kendati dikejar usia yang melemparku ke sebuah realita, namun nalarku tetap saja tak bergeming. Ketakutan luar biasa yang kualami lebih parah daripada ketakutan saat nyawaku berada beberapa inci dari sebilah pisau tajam berkarat.

“Kamu serius mau menikah? Wow.. ini berita yang buatku shock,” ujar Nuri yang ditulisnya di pesan singkat seusai kuproklamirkan tentang pernikahanku padanya.
“Iya,” jawabku singkat.
“Serius?” tanyanya lagi untuk meyakinkan.
“Iya,” kembali jawabku melesu.

Nuri termasuk teman yang baik, walau dia tak begitu memahami keadaanku yang sebenarnya. Nuri dengan tangan terbuka membantu semua kebutuhanku jelang pernikahan. Tapi, aku tidak terlalu butuh itu semua. Yang aku butuhkan saat ini adalah tamparan bahwa aku hidup di dunia nyata, bukan di dunia fantasiku.

Waktu seakan terlalu lama untuk bergeser, sedangkan ketakutanku sudah berada di ubun-ubun. Ada apa dengan pagi ini? Seakan menikmati detik demi detik penyiksaan batinku. Aku ingin siang ini segera datang, agar matahari segera mencairkan semua ketakutan yang memelukku erat saat ini.

Adi pun tak berada di sini, di sampingku. Dia masih berkutat dengan pekerjaannya di ibu kota, yang memisahkan terlalu jauh jarak kami. Aku ingin menyusulnya ke sana, menceritakan semua kegundahanku, mengeluarkan semua perasaanku selama ini. Bukan hanya di surat, bukan di pesan dinding media sosial, bukan juga di tulisan seperti ini. Aku ingin mengutarakan kepadanya, bahwa ketakutanku melebihi dari apa pun, bahkan kebahagiaanku sudah mendapatkan sosok sempurna seperti dia.

Aku ingin melewati lautan hanya untuk memeluk dia dan berkata, mari ke duniaku, ke fantasiku saja. Kita tinggalkan dunia fana ini, kita hidup di imajiku saja, tanpa ada ketakutan yang membuat hidupku mencekam.

Namun bagiku, tak mungkin Adi akan memaklumi tekanan batin ini, memaklumi keegoisanku yang konyol, memaklumi pola pikirku yang aneh. Mungkin aku akan ditinggalkan, sepi sendiri seperti aku kehilangan Ayah dan Kakakku di saat aku beranjak dewasa dan bertingkah nakal.

Di tengah kekalutan yang memuncak, telepon gengggamku berdering. Nama Adi muncul di layar ponsel. Ada rasa enggan luar biasa untuk merespon teleponnya, tapi hatiku sedikit luluh karena sepagi ini dia sudah menghubungiku.

“Hallo sayang, lagi ngapain?” tanya Adi membuka percakapan.

“Lagi angkat telepon,” jawabku ketus.

“Masih marah ya, karena kemarin seharian susah ngubungin aku,” tanyanya kembali memecah kekakuanku.

“Kamu kemana saja kemarin, sama siapa aja? Kenapa susah banget ngubungin kamu, apa kamu enggak mau aku ganggu,” deretan pertanyaan yang menyudutkannya pun kulontarkan satu persatu.

“Kemarin baterai ponselku habis, powerbank rusak dan aku enggak bawa charger. Lagi ada acara tempat Oom di Cileunyi, terus aku ke kantor. Di kantor ketiduran, ponsel juga mati. Jam delapan malam baru kebangun dan langsung pulang ke mess. Baru di mess, ponsel bisa dicharger, aku lanjut tidur karena ngantuk sekali. Aku enggak ngapa-ngapain kok,” penjelasan Adi yang panjang lebar disaat emosiku memuncak.

“Alasan saja,” ketusku singkat.

“Kamu ini aneh, sudah kujelaskan masih tidak percaya,” Adi menimpali dengan candaannya.

Emosiku pun tak terkendali setelah mendengar kata “aneh” itu. Tanpa basa-basi, sambungan telepon langsung kuputus. Ponsel kumatikan, sinyal selular di ponsel satu lagi juga kuredamkan. Hanya ada komunikasi via aplikasi pesan instan yang terhubung melalui sinyal Wi-Fi saja yang tersisa.

Entah mengapa, semua seakan terkumpul jadi satu di pagi ini. Kekesalanku, kemarahanku, ketakutanku, kegelisahanku, paranoidku, semuanya bergumpal, mengalir perlahan dan menyesak di dinding urat-uratku. Otakku pun terasa bergetar pelan, menandakan ada yang tidak beres didalam isinya.

“Aku sudah jujur sama kamu, sepertinya kamu sengaja seperti ini. Apa karena kamu berhubungan dengan mantanmu lagi,” pesan singkat Adi yang kubaca semakin membuatku kesetanan.

“Kamu yang salah, tapi kamu menyudutkanku dengan tuduhan yang tidak-tidak,” luapan emosiku seakan meruntuhkan perasaanku padanya. Ah, sunggu terlalu dia, tega-teganya dia menuduhku seperti itu. Menghina kesetiaanku yang sudah kutancapkan begitu dalam.

Mataku langsung memerah, ingin rasanya aku menangis sejadi-jadinya atau berlari sekencang-kencangnya ke hamparan savana di gunung sana. Tapi sekarang aku hanya berlari-lari dalam rangkaian kata-kata ini untuk melepas ketakutanku.

Kemarahanku padanya sebenarnya hanya kamuflase semata untuk meluapkan semua ketakutanku. Aku bingung bagaimana menjelaskan kepadanya tentang diriku yang tidak dia ketahui. Kerjaan yang padat, jadwal pernikahan yang semakin dekat, pundi-pundi uang yang masih jauh dari target serta tanggung jawabnya terhadapku, calon istrinya, seakan menjadi beban yang berat yang harus ditanggungnya. Aku pun tak mau membebani dia lagi dengan lelucon ini.

Pukul 10.00 WIB, tepatnya embun pagi sudah terusir pasrah oleh pancaran sinar matahari, sedikit demi sedikit memasuki kamarku melalui celah ventilasi, nurnya mulai menghangatkan ruangan ini yang terlalu lembab untuk ditiduri.

Hidup dalam kebebasan sesuka hatiku menjadi kebutuhan primer, melebihi dari kebutuhan untuk makan, mandi dan berinteraksi. Aku bisa bebas berkelana dan kemana saja tanpa ada satupun orang yang bisa menghalauku. Masa lalu orang tuaku yang sedikit kelam membuatku mampu kuat dan bertahan di tengah orang-orang asing yang menggerumuniku.

Kejayaan dalam hidupku bukan saat aku bisa memboyong sepeda motor baru dengan harga belasan juta, bukan juga bisa membawa orang tuaku masuk ke ruangan baru yang megah dan bisa ditinggali kapan saja. Atau bisa memamerkan kilauan emas dan berlian sebagai bentuk kesuksesan dalam hidupku. Bukan, bukan itu yang aku inginkan.

Kesuksesanku adalah bagaimana aku bisa menikmati senja di sore hari di tempat orang tidak bisa menikmatinya. Pagi di bawah kaki gunung dengan aroma dedaunan yang khas yang tak banyak orang kantoran bisa menghirupnya, langkah kaki gentar yang terus melaju di tengah hutan yang mana hanya aku dan segelintir orang yang bisa melakukannya, hirupan sisa oksigen di bawah tekanan air laut yang keras dan menyenangkan itulah yang menjadi kebahagiaanku saat orang lain berkutat dengan kesibukannya.

Tapi, dengan sebuah ikatan yang serius. Aku akan menjadi orang lain yang monoton, dominan dan kaku. Aku akan kembali ke masa dimana aku hanya menjadi bagian dari drama finansial yang menyeramkan, kisah menyedihkan dibawah atap rumah mertua, atau tuduhan-tuduhan keji yang akan terus terngiang di telingaku.

Masih terlalu segar dalam ingatanku, saat aku baru menjadi Anak Baru Gede (ABG), berubah jubah dari seragam merah putih ke seragam biru putih. Di masa-masa itu, aku melihat pertikaian orang tuaku yang membuatku ketakutan. Mereka saling menghujat didepan anak-anaknya, didepanku, didengar oleh telingaku yang masih terlalu asing mendengar itu, diserap otakku yang menjadi dipaksa untuk mengunyahnya, diolah hatiku yang terlalu lugu untuk mengerti semuanya.

Keenam buah hati yang sudah tumbuh menjadi sosok yang menggemaskan pun seakan terabaikan oleh mereka. Jiwaku seakan terguncang, berpuluh tahun ketegangan itu terus terjadi, dari aku yang hanya bisa baca tulis hingga aku yang sudah mengenal bagaimana cara bersetubuh. Hiruk pikuk yang mereka ciptakan dibawah atap rumah ini, menjadikanku pribadi yang tertutup, pendiam, beringas dan tak percaya bahwa bahagia dunia itu ada dalam satu ikatan rumah tangga.

Mentalku pun semakin terusik oleh lingkunganku. Sebagai anak dari keluarga broken home, aku menjadi siswa yang karut marut di sekolah. Dandananku yang kusut, bau, selalu datang terlambat, menjadi bulan-bulanan guru saat tak mengerjakan tugas hingga sasaran teman-teman sekelas yang membenci keberadaanku.

Selama tiga tahun duduk di bangku SMP, hinaan dan cacian menjadi sarapanku setiap hari. Mereka menyebutku najis, kucel, jarang mandi, anak bodoh dan umpatan lainnya. Apa yang terjadi di sekolah, hanya aku pendam sendirian. Dengan siapa aku harus bercerita? Orang tuaku? Oh.. kesempatan itu mungkin jadi mukjizat yang terjadi di hidupku. Mustahil!

Tumpukan kemarahan dan hinaan itu semakin membuatku mendendam, sungguh pendendam. Aku menjadi gadis remaja yang bengal, hisapan rokok pun menjadi kepulan hari-hariku, lintingan marijuana menjadi teman yang sangat berkesan, sesekali aroma alkohol membawaku ke alam bawah sadar yang sangat kunikmati.

Ah.. Adi, aku hanya tak mau berada di kungkungan hidup seperti ini lagi, hanya kebebasan yang membuatku bisa hidup sampai sekarang. Tanpa pernikahan pun, aku bisa menjadi diriku sendiri, aku tak mau hubungan itu kembali jadi boomerang bagi hidupku, seperti orang tuaku dulu.

Saat ini, hari ini, aku memilih untuk bebas, bebas sebebas-bebasnya, tanpa ada kamu, mereka atau cerita dunia yang membuat alam fantasiku hancur.. Diiringi lagu Nirvana, seperti Kurt Cobain yang memilih kebebasannya sendiri, aku pun begitu. Memilih untuk bebas, melepaskan, tanpa ada aliran darah lagi, tanpa ada hembusan nafas lagi, tanpa ada lengkung senyuman lagi, tanpa ada satu patah kata lagi.. Aku bebas. (*)

Nefri Ryu, penulis, traveler, penyuka karya RL Stein dan Risa Saraswati.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya