Food Tour, Dilupakan Negeri Sendiri Jadi Bidadari di Negeri Orang

Saat negara tetangga telah mengembangkan food tourism, Indonesia yang kaya kuliner masih melulu mengandalkan wisata alamnya.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 20 Jun 2016, 16:30 WIB
Diterbitkan 20 Jun 2016, 16:30 WIB
Jakarta Food Adventure
Tour Guide sedang memberikan keterangan kepada para peserta Jakarta Food Adventure jelajah Little Arab di kawasan Cikini.

Liputan6.com, Jakarta Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan etnis dan budaya sehingga menjadikannya kaya akan keragaman kuliner. Namun demikian, saat negara-negara tetangga mengembangkan wisata makanan dan membuka peluang memperkenalkan kulinernya sebagai daya tarik wisata, Indonesia justru dianggap masih melulu mengandalkan wisata alamnya saja.

Hal inilah yang kemudian menggerakan ke-empat orang sahabat, yaitu Ira Lathief, Adji Hadipriawan, Idfi Pancani, dan Indra Diwangkara untuk membentuk komunitas bernama Jakarta Food Adventure (JFA). Resmi berdiri pada 7 Februari 2016, trip organizer yang fokus pada Culinary Tourism ini dianggap satu-satunya travel agent yang serius menggabungkan wisata petualangan dan wisata kuliner.
 
Ira Lathief, salah satu founder JFA kepada Liputan6.com, Senin (20/6/2016) mengatakan, banyak orang menyalahartikan food tour hanya sekadar makan-makan, padahal lebih dari itu, food tour merupakan aktivitas yang juga konsen pada “tour” untuk mengeksplor beragam budaya lokal serta sejarah kulinernya.

Bagi Ira, Indonesia yang kaya akan kuliner seharusnya bisa mengembangkan aktivitas wisata untuk menarik lebih banyak kunjungan turis mancanegara, dan tidak melulu konsen pada garapan wisata alam saja. Mengingat di negara-negara tetangga, seperti di Malaysia, Thailand, dan Vietnam, food tour telah menjadi program unggulan yang digarap serius untuk mendatangkan lebih banyak wisatawan mancanegara.

“saya pernah ikut (food tour) di Kuala Lumpur dan Singapura, sama seperti yang kami lakukan sekarang, bentuknya tur jalan kaki ke banyak tempat, coba-coba beragam makanan lokal sambil dipandu tour guide berpengalaman yang jelasin tentang berbagai makanannya, terus kalau ada local heritage, seperti bangunan tua yang menyangkut sejarah lokal, si tour guide juga jelasin,” ungkap Ira.

Ira mengatakan, meski dirinya mengaku tidak mengetahui apa ukuran keberhasilan suatu negara serius menggarap aktivitas food tourism, namun pengalamannya menjadi tour guide di Indonesia selama 7 tahun menemukan fakta mengejutkan di lapangan. Menurut Ira banyak wisatawan mancanegara yang tidak tahu kuliner Indonesia.

“Turis-turis asing yang saya temui mereka tahu makanan khas di Bangkok, Vietnam, bahkan di Kuala Lumpur, tapi mereka sebagian besar gak tahu makanan-makanan di Indonesia sebelum datang ke sini. Kan saya jadi gemes, padahal makanan Indonesia kurang kaya apalagi, gak kalah beragam-nya dengan Thai food, cuma kurang promosi aja menurutku,” kata Ira.

Sejalan dengan Ira, Raska mahasiswa S2 yang konsen dengan penelitiannya tentang food tourism saat dihubungi Liputan6.com mengatakan, Indonesia belum pada taraf menjadikan kuliner sebagai produk wisata, sifatnya masih hanya sebagai pelengkap saja. Berbeda dengan Thailand yang Perdana Menteri-nya mau menjadikan kuliner sebagai produk wisata.

Gak heran kalau kita ke Bangkok banyak jalan-jalan bertema food tour. Padahal Jakarta, tipikal orangnya, budayanya, taste makanannya, hampir sama kayak Bangkok, tapi tidak digarap dengan serius. Aku sebagai peneliti sih berharap, Jakarta misalnya punya citra yang autentik tentang kulinernya, jadi turis mancanegara tahu banget kalau ke Jakarta mau makan apa dan di mana,” ungkap Raska.

Dirinya juga menjelaskan, setidaknya ada beberapa sebab mengapa kuliner Indonesia, khususnya di Jakarta, belum bisa menjadi produk wisata yang berhasil menarik kunjungan wisata. Kurangnya kepekaan terhadap kekayaan local culture di masyarakat menjadi penyebab utamanya, selain itu dukungan pemerintah juga dianggap masih sangat kurang.

“SDM-nya gak capable, kurang kreatif dan inovatif juga, padahal demand tinggi dan market ada turbulance. Selama ini baru ada JFA, ini harus didukung, dan harus dibuat stimulasi biar yang lain tertarik buat seperti ini. Selama ini JFA yang ikut juga didominasi sama orang lokal, ke depan harus lebih banyak orang bule,” katanya.

Raska dan para pecinta kuliner di Indonesia tentu berharap, pemikiran menomorduakan makanan sebagai produk wisata tidak sampai menjadikan kuliner Indonesia dimanfaatkan negara lain. Jangan sampai wisatawan yang ingin makan kerak telor justru datang ke Bangkok bukan ke Jakarta.  

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya