Liputan6.com, Jakarta Cincin tunangan diketahui menjadi lambang janji antara kedua manusia, untuk masuk ke jenjang pernikahan. Kedua calon mempelai yang akan menikah biasanya melakukan pertunangan, atau lamaran, yang biasanya memiliki budaya bertukar cincin.
Baca Juga
Advertisement
Ketika melihat sejarah, cincin pertunangan bisa dilihat berasal dari budaya di Roma abad-13. Seperti dilansir dari Womansday.com, Senin (5/9/2016), penganut agama Kristen mulai menjalani ritual ini sejak Paus Innocent III menyatakan adanya jeda waktu tunggu antara pertunangan dan pernikahan. Cincin tunangan menjadi salah satu lambang yang dipakai melingkari jari manis, terbuat dari besi atau emas.
Kebiasaan memakai di jari manis tangan kiri, merupakan kebudayaan dari Yunani dan Romawi. Tangan kiri dilewati oleh nadi vena khusus, yaitu Vena Amoris, yang mengalir langsung dari jari manis ke jantung.
Sedangkan batu berlian adalah tambahan modifikasi seiring perkembangan zaman. Archduke Maximillian adalah orang dari Austria yang tercatat pertama menyediakan cincin tunangan dengan kilau batu di tahun 1477. Namun tren batu berkilau ini tidak populer di kalangan bukan bangsawan. Orang biasa mulai menyukai cincin pertunangan dengan bebatuan berlian pada era 1930-an, ketika dipromosikan besar-besaran oleh De Beers.
Menurut the Atlantik, De Beers memanipulasi penawaran dan permintaan, setelah tambang berlian besar ditemukan di Afrika Selatan pada akhir abad 19. Dengan mengatakan bahwa berlian adalah benda langka dan sangat berharga, benda ini menjadi investasi yang dapat melambung tinggi. Dengan begitu, memakai cincin tunangan dengan batu berlian juga menjadi simbol status kekayaan seseorang.