Liputan6.com, Bangka Bangka adalah kota yang kaya akan budaya. Event Bangka Culture Wave 2019 menjadi ajang untuk melestarikan budaya-budaya tersebut, termasuk Cheng Beng atau tradisi ziarah kubur warga Tionghoa. BCW 2019 digelar 2-7 April, di De’Locomotief, Pantai Wisata Tongaci, Sungailiat, Bangka Belitung.
Event Bangka Culture Wave sendiri diilhami dari dari tradisi Cheng Beng. Menjelang Cheng Beng seluruh warga Bangka diperantauan pulang kampung. Durasinya lumayan lama. Momentum ini lalu dikembangkan hingga lahir BCW.
Belakangan, BCW menjadi media ‘hiburan’ para perantau saat berada di kampung halaman. “Setiap Ceng Beng, Sungailiat juga Bangka selalu ramai. Mereka yang ada di perantauan pasti pulang. Selain melakukan beragam rangkaian tradisi jelang Cheng Beng, mereka bisa berkumpul di BCW 2019. Selain bergembira, mereka bisa bertemu teman dan kolega lama. Kegembiraan juga dibagikan bersama para pengunjung lainnya,” ungkap Humas BCW 2019 Yusak, Selasa (2/4).
Advertisement
Warna toleransi dan kebersamaan kuat terasa di BCW 2019. Semua latar belakang budaya lokal hingga dunia pun berkumpul. Beragam suku bangsa hingga agama juga membaur menjadi satu. Saling berbagi inspirasi melalui karya seni hingga workshop.
“Keberagaman dan toleransi di Bangka Belitung memang sangat tinggi. Inilah fenomena menarik dari BCW dan Cheng Beng,” kata Yusak.
Inspirasi besar ditiupkan dari momentum ini. Hari Ceng Beng akan jatuh setiap 5 April. Sejarah menarik dimiliki tradisi Cheng Beng. Dengan daya tariknya, BCW 2019 menampilkannya konten Cheng Beng dari konsep Collosal Theatrical.
Membulatkan sisi history, Ceng Beng diadopsi dari dialek Hokkian. Menjadi salah satu istilah dalam astronomi Tiongkok. Acuannya 24 formasi matahari dengan sinar paling terang. Saat Cheng Beng, keluarga Tionghoa biasanya datang ke makam leluhurnya. Mereka lalu membersihkan makam dan sembahyang sembari membawa beragam buah, kue, hingga bunga.
Cheng Beng atau ziarah kubur ini kali pertama muncul pada era Dinasti Han (202 SM hingga 220 M). Tradisi ini familiar juga di zaman Dinasti Tang (618-907 M). Yang unik, setiap makam yang dibersihkan diberi tanda kertas.
“Sejarah panjang dimiliki Ceng Beng. Intinya, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur,” papar Yusak lagi.
Cheng Beng terus berkembang di era Dinasti Ming (1368-1644 M) dengan pendiri Zhu Yuan Zhang. Kaisar Zhu sangat menghormati orang tuanya. Zhu lalu memerintahkan warga membersihkan makam leluhur.
Tidak lupa, makam yang sudah dibersihkan diberikan kertas kuning sebagai tanda. Staf Khusus Menteri Bidang Multikultural Kemenpar Esthy Reko Astuti menjelaskan, Cheng Beng menjadi sebuah fenomena.
“Penghormatan masyarakat Tionghoa kepada leluhur memang luar biasa. Rangkaian Cheng Beng ini juga panjang. Ada beberapa tradisi yang harus dilakukan. Hal ini tentu menambah warna tradisi juga budaya nusantara. Tradisi Cheng Beng pun selalu menarik untuk dikaji,” terang Esthy.
Berkembang juga di Bangka juga Sungailiat, warga juga selalu membersihkan makam leluhur sebelum 5 April. Mereka membersihkan makam, mencuci dinding makam, hingga dicat ulang. Terutama untuk tulisan dalam makam. Warnanya identik merah sebagai simbol keberuntungan. Ada juga cat warna kuning sebagai simbol kemakmuran. Bila makam bersih baru disembahyangi pada 5 April.
“Rangkaian Cheng Beng ini cukup panjang. Setiap rangkaian ada makna dan filosofi kebaikan yang bisa dipelajari. Tradisi ini semakin memperkaya khasanah nusantara. Dengan warna terbaik ini, Indonesia adalah destinasi wisata terbaik. Bukan hanya kegembiraan, tapi ada nilai edukasi yang luar biasa,” jelas Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kemenpar Rizki Handayani.
Rangkaian panjang dimiliki tradisi Cheng Beng. Setelah pembersihan makam, ada sesaji yang wajib disiapkan. Ada 2 unsur yang disiapkan dalam sesaji, yaitu laut dan darat. Keduanya menggambarkan air dan tanah sebagai simbol kehidupan. Untuk sesaji unsur laut diantaranya, kepiting, udang, dan cumi-cumi. Warna darat diwakili oleh ayam dan buah jeruk.
“Cheng Beng ini menjadi simbol keteguhan. Buktinya, tradisi ini bisa dilestarikan hingga saat ini. Bahkan Ceng Beng ini juga bisa dilihat fenomenanya di Indonsia, khususnya Bangka. Tradisi Cheng Beng bahkan memunculkan kreativitas hingga muncul event besar seperti BCW,” ujar Asdep Bidang Pengembangan Pemasaran I Regional I Kemenpar Dessy Ruhati.
Bila semua rangkaian dilewati, Cheng Beng masuk acara inti. Masyarakat Tionghoa di Bangka melakukan sembahyang Ceng Beng. Beragam doa dipanjatkan. Selain kebaikan bagi leluhur, doa kebahagiaan hidup pun ditebar bagi keluraga yang hidup.
Kabid Pengembangan Pemasaran Area II Asdep Pengembangan Pemasaran I Regional I Kemenpar Trindiana M Tikupasang mengatakan, Cheng Beng menginspirasi.
“Ada banyak kebaikan yang diajarkan dari tradisi Ceng Beng. Semua bisa dipelajari sembari menikmati BCW 2019. Warna budaya di BCW 2019 sangat kental. Semua budaya berdampingan di sini, bahkan dari mancanegara sekalipun. Silahkan berkumpul di BCW 2019 sembari menjalani rangkaian tradisi Cheng Beng ini. Semoga ada banyak kebaikan yang ditebar,” jelas Trindiana.
Berkumpul bersama keluarga jadi rangkaian Cheng Beng berikutnya. Usai melakukan ziarah sembahyang kubur, banyak keluarga yang berkumpul. Dan, BCW 2019 menjadi venue terbaiknya.
Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya mengatakan, Cheng Beng dan BCW menjadi kesatuan potensial yang menguatkan industri pariwisata. Sebab, BCW 2019 selalu menawarkan konten yang sangat menarik.
“Cheng Beng dan BCW ini kekayaan yang dimiliki oleh Bangka termasuk Sungailiat. Potensi ini bisa jadi magnet terbaik untuk menggerakan pariwisata di sana. Dengan begitu, akan ada banyak value yang bisa dinikmati oleh masyarakat di sana. BCW memiliki fungsi strategis, sebab dari sini ada branding hingga advertising yang efektif untuk menarik wisatawan dalam jumlah lebih besar lagi,” pungkasnya.