Liputan6.com, Jakarta - Istilah sedikit lama-lama menjadi bukit sepertinya masih relevan sampai saat ini, Apakah kehidupan sehari-hari Anda cukup familiar dengan menyeruput kopi kekinian yang bermunculan di berbagai tempat.
Atau mungkin pesan makanan tinggal klik via aplikasi lalu diantar walaupun jauh dari rumah maupun kantor, pesan transportasi online untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya?
Advertisement
Baca Juga
Mungkin saja itu adalah Latte Factor Anda! Istilah yang mengacu kepada pengeluaran kecil tidak penting yang bisa ditiadakan namun rutin dilakukan sehari-hari ini diperkenalkan oleh David Bach, salah seorang pakar keuangan yang terkenal dengan rangkaian seri bukunya.
Latte Factor bukan hanya tentang kopi yang kini semua orang berlomba-lomba untuk berjualan di setiap sudut kota, namun juga berbagai pengeluaran lainnya yang tidak disadari seperti membeli air mineral kemasan, belanja cemilan, biaya transfer antar bank hingga biaya top-up uang elektronik.
Latte factor memang lebih banyak menjangkiti kaum milenial, generasi yang sudah terbiasa dengan kecanggihan teknologi lalu diikuti semakin mudahnya berbagai akses kebutuhan hidup melalui gadget menjadikan mereka lebih gampang mengeluarkan uang hanya untuk eksistensi di media sosial, ikut-ikutan tren atau memuaskan nafsu belanja yang disesali kemudian.
"Latte Factor bisa muncul dengan mudah hanya karena kebiasaan, tekanan sosial sampai kontrol diri yang lemah. Tanpa disadari latte factor menggerogoti penghasilan hingga sulit untuk menabung apalagi berinvestasi," terang Johanna Gani, Managing Partner Grant Thornton Indonesia.
Lalu adakah kaitan dengan rendahnya minat kaum milenial untuk membeli properti? Sebagai bagian dari investasi jangka panjang, properti sepertinya belum tertanam dalam pola pikir maupun mindset generasi milenial bahwa tidak hanya berfungsi sebagai instrumen investasi namun juga kebutuhan pokok.
Dengan banyaknya latte factor hingga faktor lainnya seperti tren traveling dengan tujuan eksplorasi berbagai tempat selagi muda semakin menjauhkan generasi milenial dari motif memiliki rumah.
Berdasarkan house price to annual income ratio atau harga rumah berbanding pendapatan per tahun, harga properti yang sebaiknya dibeli maksimal tiga kali dari penghasilan tahunan.
Anda bisa memulai dengan catat pengeluaran harian sejak mulai beraktivitas dan telusuri apa saja pengeluaran yang tidak penting. Lalu, lakukan efisiensi dan mulai fokus pada kebutuhan pokok untuk membentuk kondisi finansial yang lebih stabil.
Kalau pengeluaran untuk latte factor ini bisa dikontrol dan diminimalisir, tentu ada potensi dana yang bisa ditabung untuk Down Payment properti impian atau diinvestasikan di instrumen lainnya.