Kopi Soe, Bisnis Sampingan yang Berkembang Jadi 150 Kedai di Indonesia

Kopi Soe mengandalkan ciri khas jadul agar mendapat kesan Indonesia banget untuk penikmatnya. Meski kopi jadi andalan, menu non-kopi justru yang lagi kencang.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 12 Nov 2019, 14:03 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2019, 14:03 WIB
Kopi Soe, Bisnis Sampingan yang Kini Jadi 150 Kedai di Indonesia
Kopi Soe mengandalkan ciri khas jadul agar mendapat kesan Indonesia banget untuk penikmatnya. Meski kopi jadi andalan, menu non-kopi justru yang lagi kencang. (dok. Kopi Soe/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta - Bisnis kopi susu lokal di Indonesia melesat sejak dua tahun terakhir. Banyak nama bermunculan dengan identitas beragam. Salah satu yang menarik perhatian adalah Kopi Soe.

Buka pertama kali sejak awal 2018, Silvya Surya menjadikannya sebagai bisnis sampingan lantaran masih bekerja sebagai pegawai kantoran. Mantan pengarah gaya itu berkongsi dengan dua rekannya yang salah satunya kini menjadi suaminya.

Agar memiliki ciri khas, Kopi Soe menghadirkan konsep jadul, termasuk menggunaan ejaan lama dalam penamaan menu dan promosi produk di media sosial. Saat ini, terdapat 22 pilihan menu yang tak seluruhnya berbahan dasar kopi.

"Dilihat persentasenya bisa 50:50. Sebagian kopi, setengahnya non-kopi. Kopi Soe pengen dapetin semua market itu, yang enggak suka kopi bisa minum, yang doyan kopi bisa milih Kopi Soe agar jadi gaya hidup," kata Silvya kepada Liputan6.com di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menu terpopuler kedai kopi itu justru menu non-kopi, yakni varian Roegal. Bahan dasarnya hanya susu putih, sirup rasa rhum, dan biskuit Marie Regal. Sylvia meyakinkan rhum yang dipakai hanyalah sirup. Itu pun sudah bersertifikat halal sehingga kaum muslim tak perlu khawatir mengonsumsinya.

Varian tersebut kemudian berkembang dengan pilihan tambahan satu shot espresso atau cokelat tergantung pilihan. "Yang merasa ada pahit, itu mungkin sugesti ya. Padahal, aslinya rasanya manis. Kan sirup," ujarnya.

Ia menerangkan ide menu tersebut berasal dari masa kecilnya yang kerap menyantap susu dan biskuit marie sebelum berangkat sekolah. Perasaan nostalgia itulah yang diharapkan didapat para penikmat menu tersebut.

"Kita branding-nya memang pengen Indonesia banget. Soe itu sesuatu yang jadul. Beberapa menu kita dibuat agar ketika minum, lo bisa nostalgia kaya dulu," celotehnya.

Begitu pula dengan biji kopi yang dipakai, seluruhnya produk Nusantara. Yang sekarang dipakai dari Mandailing dan Toraja. Bijinya campuran arabika dan robusta.

"Aku sendiri basically suka kopi. Tapi enggak sampai jadi barista, hanya memang suka meracik-racik gitu," tuturnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Andalkan Kemitraan

Kopi Soe, Bisnis Sampingan yang Berkembang Jadi 150 Kedai di Indonesia
Kopi Soe mengandalkan ciri khas jadul agar mendapat kesan Indonesia banget untuk penikmatnya. Meski kopi jadi andalan, menu non-kopi justru yang lagi kencang. (dok. Kopi Soe/Dinny Mutiah)

Nyaris dua tahun menggarap bisnis tersebut, ia mengungkapkan Kopi Soe kini memiliki 150 kedai yang menyebar di kota besar dan kecil di Indonesia. Meski persaingan makin kompetitif, bisnis tersebut masih menjanjikan lantaran banyaknya tempat yang belum digarap.

Kopi Soe mengandalkan strategi kemitraan. Pihaknya menyediakan sistem dan bahan-bahan sesuai standar produk yang ditetapkan, sementara mitra menyiapkan lokasi dan sumber daya manusia.

Strategi tersebut cukup jitu. Bila pada Februari 2019 baru ada 10 cabang, hingga akhir tahun ini, Kopi Soe sudah memiliki 150 cabang. Area Jabodetabek masih mendominasi, khususnya Jakarta.

Bahkan, ibu kota menjadi kiblat tren kopi susu di daerah. Sekitar 30 kedai kopi yang sudah dibuka hingga awal Oktober 2019. Berikutnya, perkembangan yang paling kencang ada di Surabaya.

"Yang punyaku sendiri itu cuma dua, sisanya kemitraan," kata dia sembari menyebut Menteng dan Palmerah sebagai flagship store-nya.

Di wilayah Sumatera, KopiSoe sudah membuka cabang di Jambi, Palembang, Lampung, dan Medan. Sementara, Makassar menjadi market terbaik di Sulawesi, meski Palu juga cukup menjanjikan. Begitu pula dengan Bali.

"Kotanya memang belum pulih, tapi surprisingly udah rame. Dia sengaja bangun kedai kopi sebagai tempat refreshing, karena mal di sana udah enggak ada. Jadi, kalau mau masuk ke sana, ini saat yang tepat," jelasnya.

Di Kalimantan, kedai kopi bahkan merambah sampai ke kota-kota kecil seperti Bontang dan Batulicin. "Di Batulicin itu bahkan ojol aja belum ada. Tapi, dia pede dengan market kopi susu di sana," kata dia.

Sylvia berharap pada tahun depan bisa membuka 200 cabang Kopi Soe. Ia bahkan sudah ancang-ancang untuk memperluasnya ke luar Indonesia, khususnya Asia Tenggara, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia.

Kampanye Ramah Lingkungan

Ilustrasi sedotan plastik (iStock)
Ilustrasi sedotan plastik (iStock)

Selain mengekspansi jumlah kedai, Sylvia mulai ancang-ancang untuk mengampanyekan bisnis yang ramah lingkungan. Salah satunya adalah menyediakan sedotan yang tak berbahan plastik.

"Bali kita diomelin kalau sampai nyediain sedotan plastik. Pernah ada yang ngepos (di medsos)," ujarnya.

Bali sudah menerapkan bebas plastik sebagai peraturan daerahnya. Sementara di tempat lain, ia berusaha menggalakkan kampanye serupa dengan menyediakan sedotan yang ramah lingkungan.

Ia juga sedang menghubungi sejumlah vendor untuk kantong plastik daur ulang. Rencananya, kampanye tersebut akan digalakkan pada tahun depan.

"Kita plannya dari sekarang," ucap Sylvia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya