Liputan6.com, Jakarta - Adalah Tomomi Shimizu, seniman asal Jepang yang vokal dalam menyuarakan pembelaan terhadap nasib Muslim Uighur. Dorongan ini ditunjukkan lewat karya manga yang dirilis, beberapa waktu lalu.
Melansir dari Says, Selasa (31/12/2019), manga ini mengisahkan seorang perempuan Muslim Uighur, Mihrigul Tursun, yang menyebut dirinya disiksa dan mendapat perlakuan tak menyenangkan di Tiongkok.
Viral di media sosial, manga tersebut sudah dilihat lebih dri 3,3 juta kali situs Tomomi. Sementara, kicauannya di Twitter sudah di-retweet dan like sebanyak jutaan kali sejak Agustus 2019.
Advertisement
Baca Juga
Manga berjudul "What has happened to me: A testimony of a Uighur woman" ini telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, termasuk Bahasa Inggris dan Mandarin. Manga tersebut menceritakan kisah Mihrihul yang menuturkan bahwa satu dari ketiga putranya meninggal secara ganjil, sementara dirinya ditahan di salah satu kamp di Xianjiang dalam tiga waktu berbeda antara 2015 dan 2017.
Kendati manga ini dibuat tanpa pertemuan keduanya, seniman Jepang tersebut mengaku sangat tersentuh pada cerita Mihrihul dan berpikir apa yang bisa dilakukannya untuk mengungap kekejian ini ke tengah audiens lebih luas.
"Saya mau melihat ini (problemaika Muslim Uighur) sebagai sebuah isu yang sangat relevan dengan Jepang, yakni mereka juga seharusnya menjalani hidup normal, sama seperti kita," katanya dalam wawancara dengan Washington Post pada awal Desember.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Suarakan Nasib Muslim Uighur Lewat Manga
Manga jadi bukti keresahan Tomomi Shimizu bahwa jarak keadilan masyarakat Uighur dengan publik pada umumnya makin jauh. "Saya rasa saya harus membuat cerita tentang ini dan saya berusaha membuanya sesederhana dan semudah ungkin untuk dipahami," ucapnya.
Ia menyebut, memberitahu cerita para Muslim Uighur lewat manga adalah misinya dalam berkarya. Sebenarnya ini bukanlah manga pertamanya menyoroti isu ketidakadilan yang mendera Muslim Uighur.
Pada Mei 2019, Tomoni sudah lebih dulu mempublikasi manga bertajuk "No one will say the name of that country" yang mendeskrispikan bagaimana pihak Tiongkok menghancurkan masjid-masjid.
Juga, menyoroti status warga negara, menghilangnya para lelaki muda, bagamana keluarga dipisahkan satu sama lain, juga kasus ditangkapnya seorang perempuan yang menyebut tanahnya sebagai East Turkestan.
Advertisement