Hukum Bayar Utang Puasa Ramadan yang Belum Ditunaikan

Seorang muslim wajib membayar utang puasa Ramadan yang sempat ditinggalkan.

oleh Komarudin diperbarui 01 Apr 2021, 18:03 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2021, 18:03 WIB
Ilustrasi membayar utang puasa
Ilustrasi membayar utang puasa (dok.unsplash/Kevin Susanto)

Liputan6.com, Jakarta - Sebelum Ramadan tiba dalam beberapa hari lagi, sejumlah orang berusaha membayar utang puasa karena sempat meninggalkan puasa saat Ramadan sebelumnya.

Ada dua kondisi orang meninggalkan puasa. Pertama, meninggalkan karena sebab khusus, seperti lanjut usia, sakit, musafir, haid, nifas, dan seterusnya. Kedua, mereka meninggalkan puasa karena malas, lesu, dan tidak mau.

"Kedua kondisi ini sama-sama mempunyai kewajiban yang sama, yaitu sama-sama wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, bedanya yang satu tidak berdosa, namun yang satunya berdosa, ini akibat meninggalkan puasa hanya karena malas," kata lulusan Hukum Islam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta, Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc., M.Ag., secara tertulis kepada Liputan6.com, Rabu, 31 Maret 2021.

Mengganti puasa yang dimaksud sesuai dengan kondisi badan. Jika masih sehat, maka caranya mengganti wajib dengan puasa di hari lain, selain Ramadan. Kata Saiyid, tentu dengan sejumlah hari puasa yang dia tinggalkan.

"Namun, jika alasan meninggalkan puasa karena lanjut usia atau karena sakit menahun yang tidak ada kemungkinan sembuh, maka cara menggantikannya cukup dengan membayarakan fidiah, memberi makan fakir-miskin, minimal satu mud, per hari yang dia tinggalkan. Hitungan satu mud itu setara dengan seperempat zakat fitrah, ini ukuran minimal jika dilebihkan pastinya akan lebih baik," imbuh Saiyid.

Saiyid menukil pendapat Imam Al-Kasani dalam mazhab Hanafi yang menyebutkan bahwa "ketika seseorang menunda mengqadha puasa sampai mau ke Ramadan berikutnya, maka tidak wajib fidiah baginya."

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pendapat Mayoritas Ulama

Ilustrasi puasa Ramadan
Ilustrasi puasa Ramadan (dok.unsplash/ Rumman Amin)

Sedangkan mayoritas ulama menilai bahwa selain tetap diwajibkan bagi mereka membayar utang puasanya, mereka juga dikenakan kewajiban tambahan membayar fidiah, berupa memberi makan orang miskin sejumlah hari yang ia tinggalkan, satu mud atau seperempat dari besaran zakat fitrah.

"Pedapat mayoritas ulama ini diyakini juga sebagai pendapat sahabat Ibnu Umar ra Ibnu Abbas ra dan Abu Hurairah ra, demikian tegas As-Syaukani dalam kitabnya Nail al-Authar," ungkap lulusan Ilmu Tafsir dari Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta.

Jika pada akhirnya orang yang hendak membayar utang puasanya meninggal dunia, kata Saiyid, maka dalam hal ini ada dua pendapat besar para ulama.

Pertama, cukup dibayarkan fidiah minimal satu mud per hari yang ditingalkan. Kedua, ahli waris membayarkan utang puasanya dengan cara berpuasa atas nama almarhum atau almarhumah.

Kedua pendapat ini banyak dipakai oleh masyarakat muslim dunia, keduanya memiliki dasar yang kuat dari hadis-hadis Rasulullah SAW.

“Siapa saja yang wafat dan ia mempunyai utang puasa, hendaklah orang miskin diberi makan pada setiap hari utang puasanya” (HR. Tirmidzi). Dari Aisyah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa meninggal dunia dan masih meninggalkan hutang puasa, maka ahli warisnya diwajibkan berpuasa untuk menggantikan kewajiban puasanya” yang dijelaskan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim," tandas Saiyid.

Aman Berpuasa Saat Pandemi Covid-19

Infografis Aman Berpuasa Saat Pandemi Covid-19
Infografis Aman Berpuasa Saat Pandemi Covid-19 (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya