Studi Terbaru soal Dampak Lingkungan dari 57 Ribu Produk yang Dijual di Supermarket

Sebuah studi baru oleh para ilmuwan yang dirilis Senin, 8 Agustus 2022, menunjukkan keripik dan minuman manis juga memiliki dampak lingkungan yang sangat rendah.

oleh Putu Elmira diperbarui 21 Agu 2022, 22:02 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2022, 22:02 WIB
Ilustrasi Supermarket
Ilustrasi supermarket yang menjual buah-buahan. (dok. Rob Maxwell/Unsplash.com)

Liputan6.com, Jakarta - Mengonsumsi buah-buahan dan sayuran lebih baik untuk planet Bumi daripada makan daging dan keju. Namun, sebuah studi baru oleh para ilmuwan yang dirilis Senin, 8 Agustus 2022 menunjukkan keripik dan minuman manis juga memiliki dampak lingkungan yang sangat rendah.

Dikutip dari AFP, Kamis (18/8/2022), para ilmuwan menganalisis sekitar 57.000 produk yang dijual di supermarket di Inggris dan Irlandia, dalam sebuah penelitian besar yang diterbitkan oleh jurnal ilmiah PNAS. Para peneliti berharap riset mereka memungkinkan konsumen untuk berbelanja lebih berkelanjutan tanpa mengorbankan apa pun untuk kesehatan mereka.

Pihaknya juga membandingkan hasilnya dengan kualitas gizi makanan ini. Mereka menemukan bahwa konsentrat jus, soda, atau jus buah lainnya adalah salah satu produk yang dijual dengan dampak lingkungan paling rendah karena sebagian besar terdiri dari air, tetapi kualitas nutrisinya buruk.

Para peneliti percaya bahwa secara umum, semakin berkelanjutan suatu makanan, semakin baik dari sudut pandang nutrisi. Studi ini mengonfirmasi apa yang telah dikembangkan oleh laporan sebelumnya dengan menganalisis bahan tunggal, seperti buah-buahan atau daging merah.

Kebaruan dari laporan terbaru adalah bahwa analisisnya berkaitan dengan produk yang terdiri dari beberapa bahan, seperti saus, makanan siap saji, dan lainnya. Tugas itu diperumit oleh fakta bahwa jumlah setiap bahan dianggap sebagai rahasia dagang.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Dampak pada Lingkungan

Ilustrasi daging
Ilustrasi daging (dok.unsplash/ Changyoung Koh)

Peneliti berkompromi dengan tidak mengungkapkan rincian yang nyata. Hanya sekitar tiga persen dari lebih dari 57.000 produk yang dijual oleh delapan pengecer makanan yang komposisinya diungkapkan sepenuhnya. Para ilmuwan menanggapi dengan mengembangkan algoritme berdasarkan beberapa informasi yang diketahui untuk mengevaluasi produk yang hilang, di Inggris dan Irlandia, bahan-bahan dicantumkan dalam urutan jumlah yang digunakan.

Empat faktor dipertimbangkan dalam menilai dampak lingkungan, yakni emisi gas rumah kaca, penggunaan sumber daya air yang terbatas, penggunaan lahan, dan eutrofikasi, yaitu ketika saluran air diperkaya dengan mineral dan nutrisi, sebagian besar dari pupuk. Roti, sereal tertentu, dan makanan siap saji atau makanan penutup, berdampak lingkungan yang relatif rendah atau sedang.

Di sisi lain, ikan, keju dan daging -terutama daging merah- memiliki dampak yang tinggi. "Mengganti daging, susu, dan telur dengan alternatif nabati dapat memiliki manfaat lingkungan dan kesehatan yang besar," catat studi tersebut.

Tetapi, transisi "lebih kecil" juga dapat membantu, misalnya lasagna daging sapi, dengan dampak lingkungan yang tinggi, dapat diganti dengan lasagna ayam atau babi, atau vegetarian. Para peneliti berharap di masa depan, lebih mengetahui proporsi dan asal bahan yang berbeda akan membantu untuk menentukan lebih tepat dampaknya terhadap lingkungan.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Dampak Perubahan Iklim

Ilustrasi Perubahan Iklim
Ilustrasi perubahan iklim. (dok. Unsplash.com/Lucas Marcomini/@lucasmarcomini)

Isu lingkungan seperti perubahan iklim dan pemanasan global menjadi dua dari banyak bahasan besar yang kian mengkhawatirkan. Meski berbagai pihak seantero dunia berjuang memeranginya, dampaknya telah nyata terasa saat ini.

Kekhawatiran terkait isu perubahan iklim dan pemanasan global juga melanda anak muda sebagai generasi penerus. Dikutip dari South China Morning Post, Selasa, 26 Juli 2022, salah satunya adalah Faith Hui yang berusia 15 tahun yang menghabiskan musim panas di Hong Kong dengan memikirkan masa depan. Bukan karier masa depannya, tapi masa depan planet ini.

"Saya khawatir tentang perubahan iklim karena saya merasa apa pun yang kita lakukan sekarang, tindakan kita akan berdampak pada apa pun yang akan terjadi di masa depan. Situasinya sudah buruk, jika kita tidak menghentikannya, atau mengurangi dampaknya, saya mengkhawatirkan generasi mendatang," katanya.

Keprihatinan Faith digaungkan oleh anak-anak muda di seluruh dunia. Studi skala besar pertama tentang kecemasan iklim pada anak-anak dan remaja secara global menemukan bahwa 84 persen khawatir tentang dampak perubahan iklim.

Kecemasan Iklim

Ilustrasi perubahan iklim
Ilustrasi perubahan iklim (AFP)

Dalam sebuah laporan penelitian yang diterbitkan di The Lancet pada Desember 2021, 45 persen mengatakan kecemasan dan tekanan iklim memengaruhi kehidupan dan fungsi sehari-hari mereka. Hampir setengah dari mereka yang mengatakan mereka berbicara dengan orang lain tentang perubahan iklim merasa diabaikan. Hal itu pula yang dirasakan Faith.

"Saya benar-benar merasa beberapa orang mengabaikan apa yang saya katakan, mereka tidak dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Perubahan iklim terjadi sedikit demi sedikit, jadi mereka berkata, 'Tidak apa-apa, saya tidak melihat apa pun terjadi sekarang'," katanya.

American Psychological Association pertama kali mendefinisikan eco-anxiety pada 2017 sebagai "ketakutan kronis akan malapetaka lingkungan". Sejak itu, gelombang panas, kebakaran hutan, dan bencana alam lainnya yang terkait dengan perubahan iklim telah menjadikan "kecemasan iklim" sebagai istilah rumah tangga.

Linda Aspey, seorang konselor psikoterapi dan pembicara perubahan iklim yang berbasis di Inggris, ingin menekankan bahwa kecemasan iklim bukanlah suatu gangguan. Ia lebih suka istilah "stres iklim, kesedihan atau trauma".

"Ini adalah respons yang valid dan sehat terhadap krisis iklim dan lingkungan, yang menghadirkan ancaman di banyak tingkatan," kata Aspey.

Infografis: 4 Unsur Wisata Ramah Lingkungan atau Berkelanjutan
Infografis: 4 Unsur Wisata Ramah Lingkungan atau Berkelanjutan
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya