Cerita Akhir Pekan: Kisah Pengelola Wisata Memitigasi Bencana

Menjalankan mitigasi bencana menjadi salah satu elemen penting di destinasi wisata, terutama yang terletak di lokasi rawan bencana

oleh Putu Elmira diperbarui 05 Nov 2022, 10:01 WIB
Diterbitkan 05 Nov 2022, 10:01 WIB
Gunung RInjani
Gunung Rinjani (Foto: Liputan6.com/Andi Jatmiko)

Liputan6.com, Jakarta - Menerapkan mitigasi bencana menjadi salah satu elemen penting di destinasi wisata, terutama yang terletak di lokasi rawan bencana. Upaya menekan faktor risiko ini diterapkan salah satunya di spot wisata pendakian dan non-pendakian di sekitar Gunung Rinjani.

Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR), Dwi Pangestu, menyebut ada banyak sekali potensi bahaya yang mungkin terjadi dengan pendakian sebagai wisata utama di Gunung Rinjani, seperti erupsi. Selain itu, ada pula bahaya fisik di destinasi wisata, mulai dari longsor hingga cuaca ekstrem.

[bacajuga:Baca Juga](5108317 5117000 5111261)

Potensi bahaya lain dalam pendakian adalah banyak jurang di kiri-kanan dan bahaya biologi dari satwa liar. Bahkan, dari tumbuhan-tumbuhan yang ada di sekitar Gunung Rinjani, seperti jelateng, ketika terkena daun ini saat lewat, dapat menyebabkan gatal-gatal.

"Kalau sekarang, terkait cuaca sudah mulai musim penghujan, yang pertama, di bulan lalu kita sudah menutup tiga destinasi bukan pendakian terutama yang air terjun," kata Dwi saat dihubungi Liputan6.com, Selasa, 1 November 2022.

Dwi menjelaskan, di sekitar Gunung Rinjani, ada 21 destinasi non-pendakian dan enam jalur pendakian. Berkaitan dengan air terjun, pihaknya mengkhawatirkan terjadinya air bah dan telah menutup tiga air terjun, yakni Air Terjun Mangku Sakti, Air Terjun Mayung Polak, dan Air Terjun Jeruk Manis, terhitung mulai 8 Oktober 2022 hingga 31 Maret 2023.

"Untuk jalur lainnya, terutama pendakian, banyak melakukan imbauan karena sebelum mendaki ada briefing dan imbauan untuk mematuhi SOP pendakian. Banyak aturan yang harus dipatuhi, peralatan harus sesuai syarat, logistik, juga memerhatikan cuaca," lanjutnya.

Tutup Tiap Awal Tahun

Lombok
Perjalanan menuju Gunung Rinjani di Pulau Lombok. (Liputan6.com/Sunariyah)

Dwi mengungkap, tim di lapangan turut memonitor secara langsung ketika volume air meningkat sampai koordinasi melalui grup pesan singkat dengan BMKG. Ia juga menyebut, setiap yang mendaki harus mematuhi aturan yang tertera di aplikasi Rinjani.

"(Mitigasi erupsi) untuk Gunung Barujari (anak Gunung Rinjani) kita fokus memonitor dan bekerja sama dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terkait vulkanologi di Sembalun," jelasnya.

Selanjutnya, ketika tim BTNGR mendapat informasi erupsi, mereka akan langsung berkoordinasi dengan pihak terkait dan memantau melalui CCTV yang ada di empat titik, termasuk di danau. "Melihat pantauan real time setiap hari di kantor, terutama salah satunya buat erupsi," tuturnya.

"Tujuan CCTV, selain buat monitoring pengunjung, juga kita kaitan dengan keanekaragaman hayati, sampah, termasuk potensi bahaya erupsi, dan status," lanjut Dwi.

Setiap tahunnya, pihak BTNGR menutup jalur pendakian Gunung Rinjani dari Januari hingga Maret. Hal tersebut dilakukan sebagai pertimbangan karena adanya cuaca ekstrem, yakni curah hujan yang cukup tinggi.

Pemulihan Ekosistem

Gunung Rinjani
Meski tidak sepopuler jalur pendakian Senaru dan Senalun, Torean oleh masyarakat lokal kerap digunakan “jalan singkat” untuk langsung sampai ke Danau Segara Anak. Foto: Andi Jatmiko/ Liputan6.com.

Ketika memasuki musim kemarau di April, jalur pendakian kembali dibuka. "Kemarin dua minggu lebih awal buka di Maret karena kondisi cuaca memungkinkan, curah hujan berkurang, dan kedua, ada kaitan MotoGP Mandalika mendorong untuk wisatawan bukan hanya ke Mandalika, tapi mampir ke Rinjani," tambahnya.

Penutupan selama tiga bulan sendiri juga difungsikan sebagai bentuk pemulihan ekosistem. Pemulihan ini membiarkan alam tak terganggu dan secara alami memulihkan kondisinya tanpa adanya banyak pendaki atau pengunjung di sekitar destinasi.

Dwi turut mengatakan pihaknya juga menggelar pelatihan pengembangan ekowisata untuk pelaku wisata di Senaru dan di jalur pendakian sekitar Rinjani. Pihaknya mengundang peserta dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).

"Kaitan salah satu materi yang disampaikan meminimalkan potensi risiko ketika ada kecelakaan sudah bisa mengidentifikasi dan mengurangi risiko. Guide porter juga untuk bisa memijat ketika ada yang keseleo. Ada teknik-teknik terkait rescue diajarkan di situ," tutup Dwi.

Ekowisata Sungai Mudal

Ekowisata Taman Sungai Mudal
Ekowisata Taman Sungai Mudal. (dok. Ekowisata Taman Sungai Mudal)

Mitigasi bencana lainnya datang dari Sungai Mudal. Ketua Pengelola Ekowisata Taman Sungai Mudal Mudiheriyanto menyebut, di destinasi wisata ini, kendalanya terkait debit air yang meningkat karena hujan deras. Bila hal tersebut terjadi, pihaknya langsung bertindak.

"Terutama kru untuk mengimbau seandainya hujan deras dan lain sebagainya mengimbau pengunjung untuk tidak main di air, kita evakuasi untuk tidak berenang dan amankan ke tempat aman," jelas Mudi saat dihubungi Liputan6.com, Rabu, 2 November 2022.

Saat debit air meningkat dan air menjadi keruh, pihaknya otomatis akan menghentikan aktivitas wisata. Sistem darurat diberlakukan untuk keamanan dan kenyamanan bersama.

"Soalnya kalau debit air besar, airnya keruh dan sangat besar, risikonya agak tinggi, lebih baik tutup. Pengunjung kita amankan ke beberapa pendopo yang sudah kita siapkan," tambahnya.

Meminimalkan risiko bencana dipantau dari kondisi cuaca kemudian mengimbau pada pengunjung di lokasi atau di parkiran. Ketika gerimis, pihaknya memilih menutup destinasi wisata lebih awal.

"Penjaga dari kolam atas sampai kolam bawah itu kita ada komunikasi lewat HT (handy talky) kalau debit air meningkat komunikasi ke penjaga kolam bawah, walau pengunjung agak banyak dan hujan deras kita langsung evakuasi," kata Mudi.

Ia menegaskan, "Yang ditakutkan kalau debit air meningkat dan air keruh berenang di kolam itu, walau kedalaman sudah dikasih tahu, tapi namanya juga alam takutnya ada ranting atau kena duri, itu yang kita takutkan."

Mudi mengungkap, menekan potensi bencana dilakukan karena cuaca tidak dapat diprediksi. "Tahu-tahu bisa hujan dan airnya sangat deras, terutama kita minta kerja samanya pada pengunjung untuk selalu waspada karena walau sudah ada (ramalan cuaca) BMKG, namanya alam tidak bisa kita prediksi. Jadi, saling kerja sama antara pengelola dan pengunjung," tutupnya.

Infografis Risiko Bencana di Daerah Wisata
Infografis Risiko Bencana di Daerah Wisata. (Dok: Liputan6.com)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya