Liputan6.com, Jakarta - Letak Indonesia yang berada dalam zona risiko rawan bencana membutuhkan kewaspadaan dari sektor pariwisata untuk menyiapkan mitigasi sebagai antisipasi. Namun kesadaran masyarakat akan risiko bencana saat berwisata juga perlu menjadi perhatian.
PLT Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari mengatakan, pengelolaan risiko bencana di kawasan wisata sudah semestinya dilakukan, namun ternyata BNPB pun tidak bisa sepenuhnya berharap masyarakat sadar risiko bencana. Terlebih biasanya orang yang datang berwisata masyarakat luar dan bukan penduduk yang biasa tinggal dan hidup di lokasi wisata setempat.
Advertisement
Baca Juga
“Awareness kita bicara kerentanan secara tidak langsung, ini kerentanan orang terhadap bencana karena memang dia tidak hidup di lokasi wisata,” ujar Muhari melalui sambungan telepon kepada Liputan6.com, Rabu 2 November 2022.
Ia kemudian mencontohkan beberapa kasus yang pernah terjadi seperti saat kejadian tsunami di Serang, Banten beberapa tahun silam. Dari sekitar 420 korban setengahnya bukanlah orang Banten tapi Jakarta dan warga pendatang.
Hal itu lantaran, memang kebanyakan wisatawan ketika datang ke sebuah lokasi jika terjadi bencana tidak tahu dan tidak paham harus berbuat apa. Sehingga perlu bentuk antisipasi kerentanan tidak langsung untuk warga pendatang. "Bagi penduduk Jakarta tidak ada potensi tsunami, namun kita lupa kalau suatu kali ke Bali maka akan ada risiko bencana," kata Muhari.
Muhari menyebut, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memasang mode peringatan dengan bahasa yang mudah dimengerti, BNPB pun sudah memakai rambu-rambu tsunami, dibuat sesimpel mungkin dan directif. "Kita tidak bisa mengharapkan orang yang tidak biasa hidup di situ mengerti, jadi mau tidak mau dipasang rambu evakuasi, petunjuk tempat evakuasi, papan pengumuman, harus ada tanda-tanda peringatan daerah rawan tsunami atau rawan tanah longsor. Apakah ini akan membuat wisatawan tidak nyaman? Justru karena ada rambu-rambu itu akan memberikan pemberitahuan lebih dini," jelasnya.
Mitigasi Bencana di DSP
Lebih lanjut, Muhari mengatakan salah satu tempat yang sudah jadi kawasan percontohan mitigasi bencana di daerah wisata adalah Labuan Bajo sebagai kawasan wisata Destinasi Super Prioritas (DSP). DSP ini menurutnya memiliki penanganan berbeda, di dalamnya pemerintah sudah membangun fasilitas terintegrasi hingga rumah sakit standar internasional yang bisa menerima asuransi perjalanan dan biasanya penting bagi pelancong dari Eropa maupun Amerika.
"Labuan Bajo merupakan pilot project pemerintah dalam mitigasi bencana di daerah wisata yang diharapkan bisa menjadi contoh untuk diterapkan juga di 10 wisata prioritas lainnya," sebut Muhari.
Sekadar informasi pada 2015, pemerintah untuk pertama kali mencetuskan pengembangan pariwisata yang lebih terfokus yaitu kepada 10 destinasi wisata prioritas Indonesia di luar Bali. Sepuluh destinasi wisata prioritas di luar Bali itu antara lain Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur, Kepulauan Seribu di Jakarta, Borobudur di Jawa Tengah, Labuan Bajo di NTT, Mandalika di NTB, Danau Toba di Sumatera Utara, Wakatobi di Sulawesi Utara, Tanjung Lesung di Banten, Morotai di Maluku Utara, dan Tanjung Kelayang di Kepulauan Bangka Belitung.
Dari kesepuluh destinasi ini, lima di antaranya merupakan destinasi super prioritas dan salah satunya Labuan Bajo. Fokus pembangunan dilakukan agar 5 DSP ini bisa memiliki kualitas kelas dunia, seperti halnya Bali. Pembangunan DSP meliputi pengembangan infrastruktur aksesibilitas, amenitas, hingga jaringan telekomunikasi. Termasuk pengembangan produk wisata, perbaikan ekosistem ekonomi kreatif, hingga persiapan sumber daya manusia (SDM) di setiap lokasi.
Meskipun DSP ditangani berbeda, bukan berarti daerah wisata lain tidak diperhatikan. Seperti Gunung Rinjani misalnya yang sudah termasuk kawasan Geopark, namun melihat lokasi dan akses untuk menjangkaunya tersebut akan berbeda penanganan. Muhari mengatakan pembangunan infrastruktur untuk mitigasi bencana di kawasan wisata juga memerlukan waktu dan proses, tetapi kedepannya diharapkan akan merata.
Advertisement
Kajian Risiko Bencana
Lebih jauh Muhari mengatakan BNPB tidak akan bisa selalu berharap masyarakat Indonesia melek bencana. Secara psikologis pun ketika bencana terjadi warga pendatang akan panik dan membutuhkan sistem penanganan dari pihak pengelola wisata.
"Sehingga kita buat kajian risiko bencana, dengan mengajak seluruh stakeholder dilibatkan mulai dari PHRI, Kemenparekraf, pengelola pariwisata, sudah terlibat sejak awal dan mereka ikut dalam proses pembuatannya," jelasnya.
Pembuatan kajian risiko bencana ini berlangsung 8 bulan hingga 1 tahun. BNPB sendiri telah membuat peta risiko bencana, seperti peta gerakan tanah, peta evakuasi, hingga peta banjir. Sementara dalam 10 tahun terakhir dia menyebut bencana di Indonesia terjadi 3 ribu hingga 4 ribu kali dengan 90 persen bencananya kategori banjir seperti banjir bandang.
Adapun secara kawasan, Muhari menyebut terdapat 7 provinsi di Indonesia yang sering terjadi bencana dalam 10 tahun terakhir adalah Pulau Sumatera di Aceh dan Sumatera Barat, Pulau Jawa di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, kemudian Kalimantan di Kalimantan Selatan, Pulau Sulawesi di Sulawesi Selatan. "Untuk frekuensi kabupaten yang paling tinggi terjadi bencana Jawa Barat yaitu Bogor, Cilacap dan Banjarnegara, paling sering tanah longsor dan banjir," sebutnya lagi.
Mitigasi Bencana di Pemuteran Bali
Salah satu desa wisata yang masuk dalam kategori mandiri adalah Pemuteran, Bali Utara. Potensi wisata di Pemuteran yang terkenal adalah pelestarian terumbu karang berbasis masyarakat dengan Teknologi Biorock. Tiap tahunnya terdapat Event Pemuteran Bay Festival yang juga masuk 100 kalender event di Indonesia atau CoE Indonesia, kegiatan ini mempersembahkan selebrasi budaya dengan semangat komunitas dengan berlandaskan ecotourism.
Desa Pemuteran merupakan lokasi yang strategis, saat trekking wisatawan akan disuguhkan pemandangan yang memanjakan mata. Pantai Pemuteran merupakan salah satu tujuan favorit karena di dalamnya terdapat berbagai struktur trumbu karang yang unik dan menarik, dimana trumbu karang ini sudah mendapatkan bebagai penghargaan baik nasional maupun international.
Mengenai mitigasi bencana di Pemuteran Bali, Wawan Ode, Ketua Pokdarwis Pemuteran Bali mengatakan secara mandiri pihak tour leader maupun pemandu sudah dilengkapi keterampilan dalam mengatasi kejadian bencana. "Karena desa kita dekat pantai, ada titik evakuasi dan kami sudah belajar bagaimana untuk penyelamatan wisatawan yang kemungkinan tenggelam," ungkap Wawan, melalui sambungan telepon, Kamis 3 November 2022.
Wawan menyebut, secara individual pelaku pariwisata sudah dapat menangani kejadian bencana, biasanya pihak dinas pariwisata setempat juga melakukan sosialisasi. Namun memang masyarakat di Pemuteran Bali yang belum pernah mengalami kejadian bencana memercayai desanya aman. Sebab menurut Wawan masyarakat menjaga lingkungannya dan menerapkan ecotourism.
Tentunya desa wisata Pemuteran juga juga memerlukan koordinasi dengan stakeholder lainnya seperti BNPB daerah, dinas pariwisata, bahkan hotel dan restoran di sekitar lokasi wisata. Dalam wawancara terpisah, Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran mengungkapkan karena merupakan sebuah bisnis, pihak hotel dan restoran biasanya sudah memiliki standar dalam penanganan risiko bencana.
Biasanya karyawan hotel juga sudah dilengkapi keterampilan dalam mengarahkan tamu hotel ketika ada kejadian bencana. Bagaimana mengevakuasi tamu agar tidak kebingungan saat terjadi bencana, di mana titik kumpul, dan cara membawa tamu yang aman.
"Hal itu bagian dari perizinan untuk hotel dan restoran, termasuk standar karyawan, lingkungan, pembuangan limbah, penanganan kebakaran, sudah dilengkapi prosedur dan merupakan kewajiban," kata Maulana kepada Liputan6.com, Rabu 2 November 2022.
Advertisement