6 Fakta Menarik Masjid Assalafiyah, Peninggalan Pangeran Jayakarta di Masa Penjajahan Belanda

Masjid Assalafiyah yang terletak di Jatinegara Kaum, Klender, Jakarta Timur, merupakan salah satu masjid bersejarah di Jakarta.

oleh Dyra Daniera diperbarui 04 Apr 2023, 18:00 WIB
Diterbitkan 04 Apr 2023, 18:00 WIB
Masjid Assalafiyah
Masjid Assalafiyah Jatinegara Kaum. (Dok. Liputan6.com/Dyra Daniera)

Liputan6.com, Jakarta - Masjid Assalafiyah yang terletak di Jatinegara, Jakarta Timur, merupakan salah satu masjid bersejarah di Jakarta. Pasalnya, masjid ini didirikan oleh Pangeran Jayakarta, tokoh nasional yang berjasa melawan pemerintah kolonial Belanda dan VOC. Makam Pangeran Jayakarta pun berada persis di sebelah masjid. 

Dalam acara Wisata Religi bersama Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta, Minggu, 3 April 2023, Raden Haji Manaf, Ketua DKM Masjid Jami Assalafiyah, menceritakan sejarah masjid tersebut. Berikut enam fakta menarik Masjid Assalafiyah yang dirangkum oleh Liputan6.com.

1. Masjid Dibangun pada 1620 M 

Masjid Assalafiyah atau dikenal sebagai Masjid Jatinegara Kaum memiliki sejarah yang panjang. "Dibangun oleh Pangeran Jayakarta pada 1620 M,” ujar Raden Haji Manaf, Ketua DKM Masjid Jami Assalafiyah.

Masjid Assalafiyah awalnya didirikan untuk mengumpulkan jawara dan ulama untuk melawan penjajah Belanda dan menyebarkan agama Islam di wilayah Sunda Kelapa. Terletak di Jalan Jatinegara Kaum Nomor 49, Jakarta Timur, masjid ini memiliki luas bangunan 450 m² dan lahan seluas ± 7.000 m².

Kawasan Jatinegara dulunya adalah hutan belantara yang dihuni oleh keturunan keluarga Pangeran Achmad Djakerta dan menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi. Setelah pemerintahan di Jatinegara diresmikan, orang-orang dari Banten secara berangsur-angsur mulai berdatangan ke wilayah ini.

Nama Jatinegara sendiri memiliki arti "negara sejati" yang dapat diartikan sebagai deklarasi bahwa Jatinegara menggantikan Jayakarta yang telah habis terbakar. Pangeran Achmad Djaketra, nama lain Pangeran Jayakarta bersama pengikutnya membantu melawan penjajah Belanda.

Ia bekerja sama dengan Pangeran Sageri dan Pangeran Sanghiyang. Saat berperang, mereka tidak kembali ke Banten tetapi menyingkir ke sebelah timur Jayakarta dan membangun pemerintahan baru di kawasan Jatinegara yang dikenal sebagai Jatinegara Kaum.

2. Bersebelahan dengan Makam Pangeran Jayakarta

Masjid Assalafiyah
Makam Pangeran Jayakarta "Achmad Djaketra" yang berdampingan dengan Masjid Assalafiyah. (Dok. Liputan6.com/Dyra Daniera)

Masjid Jami Assalafiyah merupakan bagian dari kompleks makam Pangeran Jayakarta dan keluarganya. Pangeran Jayakarta adalah utusan dari Kesultanan Banten dan memiliki peran penting dalam sejarah Jakarta. 

"Hanya keturunan pangeran Jayakarta dan raden-raden yang dimakamkan di sini," ujar Raden Haji Manaf. Menurutnya, kata ‘Raden’ diambil dari kata ‘ruhdin’ atau ‘roh-adi-an’. Roh berarti ruh atau suksma, sementara adi berarti besar, luhur, mulia. 

Terdapat sebuah batu besar di depan makam yang memunggungi dua buah tombak dan sebuah perisai bertuliskan Jayakarta. Prasasti itu dibuat pada 2003 dan merupakan persembahan dari mantan Panglima TNI Djoko Santoso saat menjabat sebagai Pangdam Jaya.

Makam Pangeran Jayakarta menjadi tempat favorit para pejabat berziarah, bahkan terlihat foto Presiden Jokowi dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat yang datang ke sana. Meskipun begitu, banyak pejabat lain yang juga datang ke sana namun tidak ingin gambarnya diabadikan di bangunan kompleks makam.

Asal-usul Pangeran Jayakarta masih menjadi misteri karena ada sumber yang menyebutkan bahwa Pangeran Jayakarta adalah nama lain dari Pangeran Achmad Jakerta, putra Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten. Namun ada juga yang menganggap Pangeran Jayakarta adalah Pangeran Jayawikarta.

3. Saksi Perjuangan Melawan Belanda dan Siarkan Agama Islam 

Pangeran Jayakarta adalah salah satu pahlawan Indonesia yang memiliki andil besar dalam perjuangan mengusir Belanda dari Ibukota. "Masjid ini awalnya adalah benteng pertahanan melawan Belanda," ungkap Raden Haji Manaf. 

Sekitar tahun 1619, terjadi pertempuran yang melibatkan prajurit Pangeran Jayakarta dengan serdadu Pemerintah Hindia Belanda. Waktu itu pertempuran dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jaan Pieter Zoon Coen di daerah Mangga Dua, Jakarta Pusat.

Meskipun pasukan Pangeran Jayakarta mengalami kekalahan dalam pertempuran, namun Pangeran Jayakarta berhasil meloloskan diri dengan melepas jubah dan sorbannya, kemudian membuangnya ke dalam sebuah sumur tua. Serdadu Belanda yang melihat jubah Pangeran Jayakarta di dalam sumur, mengira bahwa Pangeran Jayakarta telah meninggal dan kemudian menimbun sumur tersebut.

Setelah kejadian tersebut, Pangeran Jayakarta hijrah ke Jakarta Timur dan mendirikan Masjid Assalafiyah di daerah Jatinegara. Tujuan dibangunnya masjid ini adalah menyebarkan dakwah Islam sekaligus menggalang kekuatan untuk menghadapi pasukan Belanda di Sunda Kelapa. Pengikut Pangeran Jayakarta lalu menyebar ke beberapa daerah lainnya, seperti anaknya Pangeran Senapati yang pergi ke Cibarusah, Kabupaten Bekasi dan menetap serta menyebarkan agama Islam di sana.

4. Arti Nama Masjid Assalafiyah

Masjid Assalafiyah
Tampak depan Masjid Assalafiyah Jatinegara Kaum. (Dok. Liputan6.com/Dyra Daniera)

Assalafiyah berarti terdahulu atau pendahulu, yang merujuk kepada tiga generasi terbaik umat Muslim, yaitu sahabat, Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in. Ketiga generasi inilah dianggap sebagai contoh terbaik dalam menjalankan syariat Islam. Sedangkan "yah" berarti pengikut, sehingga artinya "Pengikut Para Pendahulu Yang Saleh."

Nama As-Salafiyah diberikan oleh Gubernur DKI Jakarta Dr. Soemarno pada tahun 1961 bertepatan dengan peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad. Sementara itu, Raden Haji Manaf mengungkapkan bahwa makna nama daerah "Jatinegara Kaum", tempat masjid itu berada, adalah negara kekerabatan yang sejati. "Kata "Jati" berarti sejati, "Negara" berarti bangsa, dan "Kaum" berarti kekerabatan"," jelasnya.

Masjid Jami Assalafiyah sendiri adalah tempat peribadatan umat muslim yang memiliki dinding asli pada sisi utara, barat, dan selatan. Sisi timur dirombak untuk perluasan masjid. Atap masjid yang asli berbentuk limasan tunggal dengan hiasan mustaka berbahan tanah liat bakar. 

Ruang tambahan beratap limasan tumpang tiga dengan ujung atap pertama berbentuk melengkung ke atas seperti pada bangunan rumah Tionghoa. Mimbar berbentuk kursi dengan tiga anak tangga berukuran 2,60x1,50x2,40 meter, dan terletak di sisi barat.

5. Masjid Jadi Situs Cagar Budaya 

Masjid Assalafiyah telah direnovasi beberapa kali. Renovasi pertama kali dilakukan pada tahun 1700 M oleh Pangeran Sugeri, putra Sultan Fatah (Sultan Banten). "Kemudian tahun 80-an pada masa Soeharto, gedung-gedungnya dikembangkan,” ujar Raden Haji Manaf. 

Akan tetapi, beberapa bagian masjid ini dibiarkan sama seperti awal dibangun dan tidak diubah sama sekali. Salah satunya adalah empat pilar masjid yang dibuat dari kayu jati asli, yang disebut sebagai ‘Saka Guru’. Saka Guru dalam arsitektur Jawa berfungsi menyangga seluruh atap dan bangunan. ‘Saka’ berarti ‘tiang’, dan ‘Guru’ berarti Utama. "Empat tiang ini dibawa para wali. Wali kan ‘guru’," ujar Raden Haji Manaf. 

Selain itu, mimbar masjid yang terbuat dari kayu juga masih asli seperti awal dibangun. Masjid ini memiliki sebuah menara berbentuk segi empat dengan ukuran 3,50x3,50x11,50 meter, yang terletak di sudut timur laut. Pada keempat sisi menara terdapat ventilasi berbentuk empat persegi panjang, terdiri atas dua baris memanjang arah utara-selatan, yang masing-masing baris berjumlah tiga.

Masjid Assalafiyah merupakan bangunan cagar budaya yang ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 475 Tahun 1993. Kelestarian masjid ini menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah DKI Jakarta, terutama dalam hal pembangunan maupun perbaikan masjid dan makam Pangeran Jayakarta.

6. Program Masjid Selama Ramadhan

Masjid Assalafiyah
Masjid Assalafiyah Jatinegara Kaum. (Dok. Liputan6.com/Dyra Daniera)

Menyambut bulan suci Ramadhan, Masjid Assalafiyah mengadakan beberapa acara yang dapat diikuti masyarakat. "Ada kegiatan pengajian, baca Al-Qur’an, tausiah-tausiah agama tentang Ramadhan, taraweh berjamaah, Qiyamul Lail, buka puasa bersama, sama itiqaf," ujar Raden Haji Manaf kepada Liputan6.com.

Di samping itu, bagi-bagi buka puasa juga dilakukan setiap hari sebagai bentuk kepedulian sosial. "Banyak lah yang dateng kalau mau buka puasa. Ada ratusan. Siapa aja yang mau singgah sini," ungkap Manaf. 

Masjid Assalafiyah Jatinegara memiliki kapasitas untuk menampung 5000 jamaah. Salat berjamaah di Masjid ini dipimpin oleh berbagai imam dan makmum yang mencapai sekitar 1000 orang. "Kalau sekarang-sekarang ini agak kendor, ada sampai 500an," jelas Manaf.

Terkait dengan salat Idul Fitri di Masjid Assalafiyah, sudah ada khotib dan imam yang akan memimpin. Khutbah akan disampaikan oleh K.H. Ghozali Abdul Wahab dan imamnya adalah Raden Haji Manaf.

Infografis: Masjid-Masjid Besar di Indonesia
Infografis: Masjid-Masjid Besar di Indonesia. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya